Darah Daging II (Part 16)

Dukun Millenial
INGAT!! Di dunia ini kita tidak pernah sendirian....
Konten dari Pengguna
15 September 2020 20:03 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dukun Millenial tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi anak kecil menyeramkan, dok: pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi anak kecil menyeramkan, dok: pixabay
ADVERTISEMENT
Karena lelah, Bayu dan Ayah langsung istirahat di kamar yang sebelumnya sudah mang Deni sediakan, sementara malam ini adalah malam di mana tidak pernah terbayang.
ADVERTISEMENT
Apa kebahagiaan bisa sesederhana ini, sekarang aku mengerti arti keluarga sesungguhnya, seperti apa yang dikatakan pak Kiai, soal ketenangan, bukan sekedar harta, warisan dan kekuasaan.
“Vin, belum tidur kamu?,” ucap Ibu sambil masuk ke kamarku.
“Baru saja mau, apa ibu tidak cape setelah perjalan, bukanya tidur,” jawabku.
“Ibu baru selesai mengobrol dengan bi Isoh dan mang Deni, makasih yah Vin, ibu yakin kamu memang terbaik, sudah dewasa, maafkan Ibu. Ada salam dari Eyang di sana katanya begini, untuk orang hebat cobaanya pasti berat, begitu Vin hehe. Ibu bangga punya anak seperti kamu,” ucap Ibu sambil mecium keningku dengan hangat.
Aku hanya tersenyum, bahkan aku tidak merasakan cobaan berat itu, cobaan kemarin lebih ke menakutkan “Darah Daging” dan apa yang mereka inginkan soal kekuasaan dan warisan benar-benar sebegitu mengerikanya, seketika aku ingat kembali hal itu.
ADVERTISEMENT
Aku hanya terbaring, sambil mendengarkan cerita ibu tentang bagiamana sosok kuat ayah menjadi kepala keluarga, tegar dan yakin semuanya akan kembali baik-baik saja. Bahkan keanehan yang ibu ceritakan padaku di rumah Eyang sama mengerikanya dengan apa yang sudah aku alami.
Aku benar-benar berdamai dengan malam ini. Dengan segala ketenangan yang aku rasakan, keluargaku kembali baik-baik saja, walau kebaikan itu ada setelah melewati beberapa ketidakbaikan.
[Cerita ini diadaptasi dari Twitter/qwertyping]
Hari-hari selanjutnya, ayah sibuk mengurus kedatangan barang-barang dari kota J sementara Ibu dan bi Isoh sibuk mengurus urusan sekolah Bayu yang hampir 20 menit dari rumah untuk menuju sekolah barunya Bayu.
Aku dan mang Deni di kebun, hampir setiap hari mempersiapkan segalanya untuk berkebun kembali, walau aku sedikit dibuat kagum oleh ilmu berkebun ayah yang terbilang lebih paham dari pada mang Deni, wajar saja nenek selalu bilang ayahku hebat berkebun.
ADVERTISEMENT
Satu bulan berlalu, setelah kehadiran Ayah, Ibu dan Bayu di rumah ini, rumah jadi bertambah seru, semakin banyak canda tawa yang kita lewati bersama, apalagi Bayu adikku sudah mulai terbiasa dengan keadaan sekarang.
Dan tidak ada lagi kedatangan Darma maupun Yudi ke rumah, walau sesekali ayah selalu bertanya kepada nenek ataupun mang Deni kenapa mereka sampai tidak datang lagi kesini.
Ayah masih saja khawatir dengan keadaan adik-adiknya itu, di balik apa yang mereka lakukan kepada ayah tetap saja kepedulian tidak pernah hilang mungkin dalam hatinya, kepada adiknya itu.
Sampai pada suatu malam ketika semuanya sudah tertidur, mang Deni masuk ke kamarku dan mengajak aku untuk menemaninya ngopi dan merokok di teras belakang, karna besok kebun pisang akan panen.
Ilustrasi kebun pisang, dok: pixabay
“Vin, tidak terasa yah satu bulan lebih hari di mana satu bulan ke belakang di malam itu, sebelum kita gagal panen kebun sayuran, tidak terasa sudah mau panen pisang besok,” ucap mang Deni.
ADVERTISEMENT
“Iyah mang, eh mang boleh tau pas amang dengan ayah datang ke rumah mang Kardi mencari informasi itu apa saja obrolanya mang, aku penasaran,” tanyaku.
“Pak Kiai memang tidak bercerita?, soal bungkusan waktu itu yang menjadi penyebab panen, amang lupa soalnya,” tanya mang Deni.
“Tidak mang, makanya aku tanya, bi Isoh pernah cerita Darma sebelum hari itu datang jam 9 malam ke kebun, apa benar mang Kardi melihatnya?, aku hanya memastikan saja, lagian sudah aku perlahan lupakan setiap keanehan itu,” ucapku yang tidak mengerti kenapa tiba-tiba ingin bertanya soal ini.
“Iyah benar Vin, kang Darma datang menyimpang bungkusan yang kamu gali itu, hanya menyimpanya, awalnya amang kaget kenapa bisa terkubur seperti itu, tapi setelah kata pak Kiai menjelaskan tidak semuanya perlu jawaban akan hal-hal seperti itu, taktunya malah menjadi dendam amang langsung merasa cukup saja, begitu Vin,” jawab mang Deni.
ADVERTISEMENT
Pantas saja mana bisa pikirku dengan tangan kosong mengubur sedalam itu jika tidak ada bantuan mahluk gaib seperti itu mungkin aneh.
“Amang mau bilang makasih, amang belajar banyak dari kejadian dan cobaan ini, terutama pada kamu harus minta maaf. Kadang selalu tidak bercerita sementra amang yang selalu tanya-tanya,” ucap mang Deni karena merasa tidak enak dengan aku tau cerita itu dari istrinya, bi Isoh.
Malam ini aku dan mang Deni hanya bercanda membicaran tingkah lucu Bayu dan ada tiga perempuan yang patut kita jaga Nenek, Ibu dan bi Isoh agar kejadian tidak terulang lagi. Dan sedikit membicarakan ke mana dan kenapa Darma dan Yudi tidak ada berkunjung lagi kesini
Setelah panen sukses pisang sukses dan terbilang bagus, karena ada campur tangan ayah dan mang Deni jadi sangat wajar pak Sobar, tengkulak pisang sangat puas dengan hasil panen kali ini. Lagi-lagi hal sederhana seperti ini yang menjadikan kebahagian itu bemakna lebih.
Ilustrasi panen, dok: pixabay
Bulan ke tujuh aku di sini, dengan segala kondisi yang benar-benar aku mengerti karena mengalami langsung yang terjadi, tujuan kuliahku akan disimpan untuk tahun depan saja 2010 sembari memastikan aku bisa bergantung pada kebun untuk urusan biaya.
ADVERTISEMENT
Ayah sudah mulai bulak-balik menemui temannya satu persatu ke kota, entah untuk memulai kembali lagi bisnis lama yang bangkrut atau memulai sesuatu yang baru lagi.
Tepat sudah 7 bulan aku di rumah ini, sehabis sore pulang bersenang-senang dengan Bayu di kebun, karena sudah menjadi aktivitas dia sehabis pulang sekolah pasti menyusulku.
Sehabis makan malam bersama dengan ayah juga lengkap semuanya, tiba-tiba handphone mang Deni dari arah luar dapur terus berbunyi.
“Angkat Den itu siapa tau penting,” ucap Ayah mengingatkan.
“Palingan tukang pupuk kang besok turun soalnya yah Vin sesuai hitungan,” tanya mang Deni.
“Harusnya memang besok, tapi benar kata ayah mang angkat siapa tau dikirimnya gak jadi pagi malam sore,” ucapku dengan pelan, sambil makan.
ADVERTISEMENT
Tidak lama mang Deni bergegeas keluar dapur, hanya mengucapkan kalimat “iyah dan baik” kemudian mengucapkan kalimat terakhir dengan wajah yang sangat kaget “baik keluarga segera kesana” dan ucapan itu sontak membuat kami semua kaget.
“kang,” ucap mang Deni masih terlihat dengan wajah kaget.
“Kenapa ada apa Den?,” tanya ayah sama kagetnya.
“Darma kecelakaan, sekarang ada di rumah sakit, sekitar jam 5 sore tadi di rumah sakit kota, mobilnya hancur, barusan petugas rumah sakit yang memberi kabar, tabrakannya cukup parah kang,” ucap mang Deni.
“Innalillahi Darma,” sahut nenek terkejut.
Sama denganku, ibu dan bi isoh pasti merasakan kaget yang sama. Tidak lama ayah langsung mengubungi temanya agar menjemput menggunakan mobil ke rumah. Nenek hanya melamun dan air matanya mengikuti setiap lamunan nenek.
ADVERTISEMENT
Bersambung...