Darah Daging II (Part 6)

Dukun Millenial
INGAT!! Di dunia ini kita tidak pernah sendirian....
Konten dari Pengguna
2 September 2020 20:37 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dukun Millenial tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi anak kecil menyeramkan, dok: pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi anak kecil menyeramkan, dok: pixabay
ADVERTISEMENT
Benar kata bi Isoh mang Kardi bisa jadi orang yang paling tau soal kebun, bagaimanapun rumah dia yang paling dekat. Aku bertanya pada bi Isoh, tentang apakah Nenek sudah mengetahui kejadian semalam itu, bi Isoh hanya mengatakan nanti saja biar kakang Ayah aku yang menjelaskan semuanya.
ADVERTISEMENT
Ketika aku bilang, pada bi Isoh bahwa nenek sudah mengetahuinya, bi Isoh hanya senyum dan seperti tidak kaget sama sekali.
“Kamu tau cerita kejadian dulu ketika kakek gagal berkebun sama dengan yang kita alami sekarang?,” tanya bi Isoh.
“Tidak bi?, ayah hanya cerita katanya itu ada hama gitu bi,” jawabku singkat.
“Nanti tanyakan ke Ayah kamu yang sebenarnya yah, tanyakan soal adik-adiknya dan tanyakan juga kenapa Nenek bisa setenang sekarang hehe. Maksud bibi biar jadi pelajaran berharga buat kamu Vin,” ucap bi Isoh sambil berdiri dan segera bergegas kembali ke kamar Nenek.
Waktu Dhuzur baru saja berkumandang, aku hanya tiduran di kamar melihat beberapa tulisan tenang berkebun hasil dari ilmu yang mang Deni berikan.
ADVERTISEMENT
Sejauh ini sudah melewati satu kali panen berhasil dan keduanya gagal dengan cara tidak masuk akal adalah wawasan yang mungkin tidak setiap orang mengalaminya, sebangga itu aku menghargai diri sendiri.
Waktu pada hari ini bergerak seperti biasanya, terasa cepat. “Katanya sehabis Dhuzur pak Kiai akan datang, tapi Ayah dan mang Deni juga sama belum datang juga,” ucapku dalam hati sambil menunggu kedatangan mereka.
Terlihat dari jendela kamar, ternyata Ayah dan mang Deni sedang mengobrol dari tatapanya sangat serius. Ada perasaan tidak enak mengganggu mereka. Tapi setidaknya mereka berdua sudah pulang, pikirku.
[Cerita ini diadaptasi dari Twitter/qwertyping]
“Vin, kata Ayah kamu tuh dipanggil,” ucap bi Isoh di depan pintu kamarku.
Segera aku bangun dan berjalan menuju teras, dengan banyak pertanyaan.
ADVERTISEMENT
“Yah, katanya pak Kiai itu mau dateng siang ini, jadi?,” tanyaku sambil duduk.
“Jadi tapi mungkin malam ini jadinya Vin, barusan Ayah dari rumah mang Kardi, cerita banyak, semoga salah apa yang dikatakan mang Kardi. Walaupun informasi dari mang Kardi dan mamang kamu ini cukup masuk akal tapi ayah masih percaya Darma dan Yudi tidak seperti itu Vin, Deni juga bilang kamu sebegitu marahnya sama adik-adik Ayah, tolong jangan dulu bertindak dan berbicara seperti kemaren pada Yudi yah Vin,” Ucap Ayah dengan serius.
Tapikan Yah!, sudah jelas mereka buta harta!, buta kekuasaan!, pengen semua hak Ayah, semuanya yang dipunya nenek mereka jual dan bilang dijadikan jaminan ke Bank, apa mereka sebodoh itu dalam bisnis?, aku cape yah!. Apalagi usaha ayah gara-gara mereka juga bangkrut, dan mimpi-mimpiku untuk kuliah terampas juga akibat ulah mereka!,” ucapku dengan emosi, hal yang sudah seharusnya keluar dari mulutku
ADVERTISEMENT
“Vin, sudah, mamang juga bisa marah seperti kamu, tapi benar kata Kakang, tahan dulu, semua juga sama emosi kalau ingat kelakuan dan apa yang sudah mereka Darma dan Yudi bicarakan Vin” ucap mang Deni, sambil mengelus pundak aku.
Ilustrasi anak, dok: pixabay
Ayah tidak berbicara lagi, setelah apa yang aku omongkan, mungkin aku salah berbicara tapi ucapanku barusan adalah yang sebenarnya, aku yang merasakan, aku juga yang menghadapi gangguan dengan segala tipu daya makhluk yang tak kasat mata itu.
Suasana siang menuju sore menjadi hening, Ayah hanya menatap kosong ke depan, mang Deni dengan segala ketidakenakanya hanya menghisap beberapa kali rokok yang dia pengang dengan tidak tenang.
“Aku ke kamar dulu Yah, maafkan aku bicara seperti tadi yah,” Segera aku menuju kamar dengan emosi yang masih saja tidak cepat hilang itu.
ADVERTISEMENT
Pikiranku dan juga pikiranya semuanya di dalam rumah ini, sama denganku, tapi mereka selalu anggap semuanya akan baik-baik saja, aku hanya ingin tidur sore ini, untuk membalas tidur malam kemarin yang benar-benar kurang.
***
Magriban Vin, bangun,”
Hahh, iyah bangun ini,” ucapku.
“Ayo magriban dulu, tidur sore tidak baik, cepet, barusan Ibu telepon nanyain kamu, Ayah bilang anak Ibu sekarang udah dewasa udah berani marahin ayah gitu Vin hehe,” ucap Ayah sambil becanda.
Ilustrasi senja, dok: pixabay
“Yah, tapikan benar apa yang aku katakan?,” ucapku sambil bangun.
“Benar dan salah itu yang kamu omongan itu persepsi kamu dengan apa yang telah kamu alami, kebenaran dengan menuduh tanpa bukti walau bersalan kuat, apa gunanya Vin. Bentuknya kan masih tuduhan, walau iyah sesuatu yang bersifat gaib tidak bisa semena-mena logika bisa berjalanan di atas itu, kamu paham yang ayah omongkan?,” tanya ayah.
ADVERTISEMENT
“Untungnya aku adalah anak Ayah, tentu paham yah hehe,” jawabku tersenyum.
Benar kata mang Deni tidak semua tentang “Darah Daging” hal yang buruk, buktinya tidak mungkin aku bertahan sampai hari ini dengan masuk kedalam masalah gila ini, kalau bukan aku anak dari Ayah.
Bersambung...