news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Darah Daging (Part 5)

Dukun Millenial
INGAT!! Di dunia ini kita tidak pernah sendirian....
Konten dari Pengguna
12 Agustus 2020 21:09 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dukun Millenial tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi anak kecil menyeramkan, dok: pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi anak kecil menyeramkan, dok: pixabay
ADVERTISEMENT
“Nak, kamu pasti kebangun karena suara nenek yah?. Gak papa yah kamu juga harus tau biar jadi belajar, jangan seperti paman kamu itu si Yudi,” ucap nenek yang masih emosi.
ADVERTISEMENT
Setelah itu nenek cerita, barusan mang Deni kasih kabar titipan pesan dari Yudi via telepon suruh menyerahkan surat tanah bagian ayahku kepada nenek.
Katanya mau dipijam dulu buat jaminan pinjam uang ke bank, untuk penambahan modal usahanya. Otomatis membuat nenek marah karena itu bagian ayahku.
“Untung semalem ada Kevin, bapaknya Isoh semalem sakit, jadinya amang tidak kesini Vin. Pikir amang nenek tidak akan sendirian ada Kevin ini, karena amang tau kevin kemaren udah datang liat mobil mang Darma di jalan,” ucap mang Deni.
Ucapan mang Deni sangat tenang, tapi ucapanya itu yang membuat aku kaget di pagi ini. Lalu, aku pikir yang semalam berjalan ke dapur mang Deni, dan perempuan yang semalem menyapu itu bi Isoh! berarti salah!.
ADVERTISEMENT
“Kenapa nak, kok jadi melamun gitu?,” tanya Nenek, sambil mengusap kepalaku.
“Tidak apa-apa nek, kayanya masih enak aja tidur, cape abis perjalanan kesini kali yah,” ucapku, memberikan alasan agar tidak curiga.
“Vin, nanti ikut amang. Belajar bertani, berkebun, tadi nenek sudah bilang suruh ngajarin kamu. Lumayan tanah hak ayah kamu itu bisa dijadikan kebun sayuran, hasilnya nanti ikut amang juga ke pasar, belajar, begitu yah nek?,” ucap mang Deni
“Benar Nak, ayah kamu dulu waktu seusia kamu jago banget ikut kakek kamu tuh, makanya nenek gak heran dia paling sukses. Tapi gak tau kenapa tahun ini, segala bangkrut.
[Cerita ini didaptasi dari Twitter/qwertyping]
Nenek udah saranin buat jual tanah hak dia, tapi dia selalu bilang selama nenek masih ada itu belum hak dia,” ucap Nenek, kelihatan bersedih, dan tidak tega dengan kondisi ayah sekarang.
ADVERTISEMENT
Aku hanya mengiyahkan apa yang dikatakan mang Deni dan Nenek, walau pikiranku hanya tentang kejadian semalam, kejadian sebelumnya dan kejadian-kejadian yang mulai tidak masuk di akal, semuanya terjadi setelah kebangkrutan ayah ini.
Setelah mandi pagi, kemudian sarapan, aku dan mang Deni segera menuju perkebunan sayuran milik Nenek. Menurut mang Deni, Nenek biasanya hanya sore saja datang ke kebun, itu juga jarang, hanya kalau ada tengkulak saja untuk transaksi keuangan.
Sementara mang Deni yang mengatur semua petani, stok pupuk dan lainnya saja, memang tidak terlalu banyak pegawai Nenek, hanya orang-orang sekitaran kampung saja, itu juga semua dulunya udah kerja sama almarhum kakek. Memang hal ini aku sudah mengetahui sebelumnya dari cerita ayah.
ADVERTISEMENT
“Mang tanah yang kata nenek hak ayah yang mana gitu?,” tanyaku, sambil berjalan menuju kebun.
Ilustrasi berjalan di hutan, dok: pixabay
“Nah ini yang kita injak tuh tanah ayah kamu Vin, liat bersebelahan langsung sama lahan Nenek. Makanya waktu kemarin-kemarin suruh nenek jual biar nutupin hutang ayah kamu, sudah banyak yang pengen beli,” jawab mang Deni.
“Oh ini enak banget yah mang, luas lagi,” jawabku singkat sambil memperhatikan sekitar dengan detail.
“Makanya mang Yudi, adik ayah kamu ingin pinjam dulu suratnya untuk ke bank, Nenek sampe marah, kaya barusan pas kamu bangun juga Vin,” jawab mang Deni.
Iyahlah pikirku, pasti sudah dibagi-bagi hak warisan dan lain-lain nya oleh Nenek, kenapa mang Yudi sebegitu ambisinya, bukan dia juga pasti sudah punya bagian tersendiri..
ADVERTISEMENT
Sampai di kebun pagi ini ada beberapa petani yang kerja menyirami, kasih pupuk dan lain-lain. Aku belajar hari ini banyak hal dari mang Deni seperti dunia baru setelah dunia sebelumnya gelap.
Sekarang dunia begitu terang, dengan ambisi dan semangat “siapa tau dari hasil belajar ini aku bisa masuk kuliah tahun ini,”
Setelah banyak belajar hal baru hari ini, sore semakin berganti. Dan benar saja, Nenek tidak kesini hanya bi Isoh yang dari kejauhan berjalan.
“Mang itu bi Isoh kan?,” tanyaku.
“Iyah, kamu masih ingat Vin, padahal lama sekali yah gak ketemu,” jawab mang Deni.
“Ingatlah hehe,” jawabku sambil tersenyum.
Tidak lama bi Isoh mendekat dengan membawa makanan untuk aku dan mang Deni (suaminya), setelah mengobrol dengan bi Isoh dan mang Deni, aku baru sadar.
ADVERTISEMENT
Bi Isoh mengunakan jilbab, sementara malam itu yang menyapu sama sekali tidak bahkan rambutnya sangat panjang menutupi paha, di sini aku kembali teringat kejadian malam itu.
“Kenapa Vin, kok ngelamun gitu?, enak engga makananya, maaf di kampung gini-gini aja Vin makananya,” ucap bi Isoh.
“Enak kok bi enak banget, aku lagi ngelamun soal besok rencana sama mamang nih mau mulai suruh orang bersih-bersih lahan Ayah, padahal aku belum izin sama ayah hehe,” jawabku sambil becanda, padahal iyah aku memikirikan hal semalem itu.
Akhirnya sore datang dengan cepat, satu persatu petani kebun mulai pamit pulang, begitu juga dengan mang Deni dan bi Isoh yang mengajaku segera pulang.
Namun aku tolak dan menyuruh mang Deni dan bi Isoh untuk duluan saja karena aku melihat Hp disini sinyalnya lumayan bagus, dan segera aku kirim pesan, yang tidak sempat terkirim malam itu.
ADVERTISEMENT
Pasti Ayah, Ibu dan Bayu masih diperjalanan menuju kota J karena hari ini selang satu hari kesini, mereka semua baru berangkat menuju kota J itu ke rumah Eyang.
Sambil menunggu balasan pesan yang aku kirim ke ibu, sekitar 10 menit lagi menuju waktu solat Magrib. Aku masih duduk di tempat yang sama, menghadap ke arah perkebunan sayuran nenek ini.
Melihat dua tiga kali Hp hanya sekedar mengecek pulsa dan jaringan saja, seketika aku masih melihat salah satu petani, perempuan tua. Di ujung sana, ujung kebun yang masih berjalan, mundar-mandir.
Ilustrasi orangtua di hutan, dok: pixabay
“Rajin sekali ibu itu sampai jam segini masih aja ada di kebun,” ucapku dalam hati.
“Belum pulang bu,” teriaku.
“Udah sore sekali ini... ayo pulang,” teriaku lagi
ADVERTISEMENT
Sama sekali perempuan tua itu tidak merespon teriakanku, pikirku mungkin tanggung sedang mengerjakan sesuatu, lalu aku abaikan. Karena sudah adzan mangrib berkumandang dan balasan pesan dari Ibu tak kunjung ada juga.
Segera aku melangkah, untuk pulang ke rumah. Baru saja beberapa langkah, aku masih kepikiran tentang sosok perempuan tua itu yang masih di kebun. Segera aku menengok ke belakang, dan sudah tidak ada. Pikirku mungkin sudah pergi pulang sama denganku.
Bersambung...