Dendam: Anak Muda Tidak Berdosa (Part 12)

Dukun Millenial
INGAT!! Di dunia ini kita tidak pernah sendirian....
Konten dari Pengguna
12 Januari 2021 19:16 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dukun Millenial tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi dendam, dok: pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi dendam, dok: pixabay
ADVERTISEMENT
“Anjani Ayu, anak muda yang tidak berdosa, perlakuan ibu dan bapaknya Nek Raras dan juga Nek Raraslah yang menyebabkan kematianya tidak wajar. Penyiksaan sebagai Pembantu pada waktu sangat tidak wajar (lama), entah melakukan kesalahan apa sebelas tahun ke belakang dari awal nenek sakit tahun 1988 itu, Ibu dan Bapaknya nek Raras, meninggal juga dengan sakit saling bergantian dan tidak wajar bahkan saya masih ingat tahunnya sebelas tahun ke belakang, tahun 1976 dan Ayu meninggal tahun 1985 tiga tahun sebelum nenek sakit parah seperti sekarang. Bukan waktu yang sebentarkan?, tapi saya selalu percaya pasti ada kesalahan atas semua ketidakwajaran dari semua hal ini, kamu percaya Pur?. Saya berani lagi bicara seperti ini setelah lama dan hanya kepada istri saya dan kamu saja saya bicarakan hal ini,” ucap pak Joni melihat ke arahku.
ADVERTISEMENT
Aku terdiam dengan cerita pak Joni yang bahkan sangat ingat dengan tahunnya itu, mungkin hal itu juga yang bakalan tersimpan baik dalam ingatan pak Joni. Sebuah nama Anjani Ayu, aku merasakan juga kesakitan itu, tidak tahu kenapa aku tiba-tiba meneteskan air mata. Apalagi dengan cerita yang sangat sudah lama itu, tidak terbayang tahun itu jika Ayu benar-benar seperti apa yang di ceritakan pak Joni.
Anehnya angin yang menusuk badanku semakin dingin malam ini, dan semakin berat juga pundaku entah karena apa.
“Iya pak, itu sangat lama dan memang sesuai bi Inah juga bercerita tahun 1997 itu ibunya meninggal dan bi Inah ikut pindah ke sini untuk merawat nek Raras. Terimaksih pak sudah percaya sama Purnama untuk menceritakan kembali, mungkin itu sebuah luka lama, tapi pertangungjawaban akan selalu mengikuti apa lagi soal rasa dan kejadian bersalah, Abah pernah berbicara seperti itu pak dan mohon maaf lagi pak, Abah juga sudah mengetahui hal soal sakit nek Raras, dari cerita Karta,” ucapku penuh rasa ketidakenakan.
ADVERTISEMENT
[Cerita ini diadaptasi dari Twitter/qwertyping]
“Tidak apa-apa Pur tidak selalu kamu minta maaf kepada saya, lagian tidak tahu kenapa juga biasanya saya tidak mau mengingat hal ini kembali, tapi malam ini rasanya mengalir saja dengan kamu, alhmadulillah kalau Abah kamu juga sudah tahu, dan kamu tidak perlu menceritakanya kepada siapa lagi, kecuali abah kamu, saya percaya sama kamu tidak tahu kenapa mengikuti perasaan saja,” ucap pak Joni, perlahan.
Bahkan aku merasa diberikan amanah atas kejadian masa lalu yang baru saja aku ketahui, penasaranku yang besar kepada keluarga dan rumah ini bisa terjawab begitu besarnya, iya mungkin ini bagian aku untuk mengetahuinya dan selalu meminta kepada pencipta untuk selalu diberikan jalan terbaik untuk kondisi seperti ini, dan benar saja untuk urusan apapun sangat mudah baginya yang maha untuk mempermudah keadaan di dunia yang atas ciptaanya juga.
ADVERTISEMENT
Malam ini dengan pak Joni berkahir dengan janji besok akan berkunjung menemui ibu, aku segera berjalan kembali lewat pintu garasi, walapun pak Joni memaksa untuk lewat dalam saja, tetapi aku tolak dengan alasan garasi belum aku kunci.
Memasuki garasi malam ini perasaan menakutkan semakin menjadi, bahkan ketika mengunci garasi posisiku membelakngi mobil, seperti benar-benar ada yang memperhatikan.
“Apa karena obrolan soal Ayu itu dan obrolan yang sangat dalam dengan pak Joni, suasananya jadi seperti ini,” ucapku sambil terburu-buru masuk ke dalam dapur.
Melihat jam sudah hampir tengah malam. Lalu aku mendengar suara seperti orang yang menahan sakit, menggigil. Aku melihat ke arah suara itu, dari kamar bi Inah segera aku membukakan kamar bi Inah dan benar saja bi Inah sedang menggigil dengan badan yang menyamping.
ADVERTISEMENT
“Bi ini purnama... bi,” ucapku membangunkan bi Inah.
“Iya pur. Badan bibi sakit sekali rasanya, tolong ambilkan obat dan air minum, obatnya di laci bibi, bibi lemas pur,” ucap bi Inah.
Ilustrasi menggigil, dok: pixabay
Segera aku dengan cepat mengabil air minum dan obat, tidak lama bi inah meminumnya dan kembali tertidur.
“Kecapean pasti bibi sudah istirahat saja yah,” ucapku dengan perlahan.
Tidak lama aku langsung saja solat malam, dan tidak lupa mendoakan Ayu seperti apa yang dibicarakan pak Joni, benar-benar ketika sedang bersila di mushola, seperti ada angin yang tertiup pelan ke arah pundaku. Sangat dingin sekali. Semakin doa-doa aku panjatkan seperti apa yang Abah bilang, angin itu dan rasa dingin lambat laun menghilang.
ADVERTISEMENT
Segera aku ke kamar, dengan isi pikiranku yang masih soal kejadian dan kekejaman jika memang benar dilakukan oleh kedua bapak dan ibu nek Raras juga Nek Raras sendiri, itu benar-benar di luar pikiranku, sampai sosoknya bisa mempunyai dendam sampai sebegitunya, pasti bukan perlakuan yang biasa. “kasian sekali...” ucapku.
Mata yang biasanya sudah dalam keadaan tertidur lagi jam segini, ini sama sekali belum mau tertidur, dan sekarang selain ketakutan datang lagi kenyataan dari cerita pak Joni yang kembali ada dalam pikiranku.
Baru saja mau tertidur ada suara barang jatuh yang sangat keras di luar kamarku, yang membuat aku terkejut sangat terkejut kaget. Segera aku keluar untuk memastikan, dan anehnya tidak ada apapun, kamar sengaja aku buka dan aku melihat ke arah pintu kamarku sama dengan bi Inah, pikirku takut saja bi Inah perlu apa-apa jadi aku bisa mendengarnya.
ADVERTISEMENT
Bagun pagi ini menuju solat subuh aku melihat bi Inah masih tidur, aku tidak berani membangunkanya, karena pas aku lihat kondisinya pucat sekali. “Kasihan bi Inah benar-benar sakit,” ucapku sambil kembali merapihkan selimutnya.
Tiba-tiba bi Inah memanggilku, ketika aku mau berganti pakaian ke arah kamarku, segera aku temui bi Inah.
“Pur, bikinkan sarapan bubur untuk Raras, itu bahan-bahanya sudah ada dekat kompor, kamu pasti bisa mudah kok, bibi tidak kuat, setelah itu antarkan ke kamar nek Raras dan kamu suapi nek Raras, tunggu sebentar lalu minumkan obatnya yah, bibi lemas sekali,” ucap bi Inah dengan perlahan.
“Tidak apa-apa aku yang buat buburnya bi dan aku yang mengantarkanya?,” ucapku kaget.
“Tidak, sekalian kamu sudah cukup lama di sini, dan bibi juga sudah cerita sedikit kalau purnama sodara Karta yang menggantikan, Karta juga sesekali suka melihat nek Raras Pur, bibi melarang kamu karena takut kamu kenapa-kenapa sama dengan mang Karta itu, maafkan bibi yah,” ucap bi Inah.
ADVERTISEMENT
“Iya bi tidak apa-apa lagian aku juga paham sekarang, dan itu wajar bi. Nanti siangan sebantar pulang mengantarkan bapak, kita ke berobat yah bi,” ucapku.
Segera aku memasak bubur, dan untungnya aku benar-benar bisa memasak ini, karena sering di kampung bikin, jadi tidak terlalu khawatir, yang membuat aku khawatir adalah pertemuan pertama dengan Nek Raras apalagi dengan sakit yang sudah cukup lama dan cerita yang sebelumnya pak Joni ceritakan kepadaku.
Bagaiamana tidak membuat aku kaget, semua yang membuat aku penasaran dan rasa ketakutan juga hal-hal tentang sosok nek Raras, pagi ini aku yang akan mengantarkan makan pagi dan langsung melihat kondisi nek Raras. Benar, akan selalu ada kemudahan untuk niatan yang baik, lagian kondisinya saja ini yang menyeretku secara paksa.
ADVERTISEMENT
Lamunan tentang bagaimana sosok Nek Raras yang akan aku temui, masih saja membuat aku semakin penasaran, bukan karena apa-apa, karena sakit dengan jangka waktu yang sangat panjang itu.
Seolah memang keadaan pagi ini sengaja mengaminkan apa yang ingin aku ketahui, atau mungkin ini sebagian dari pada jawaban dari doa-doa. Selesai membuat makanan untuk nek Raras dan sudah tersimpan rapih di wadah yang biasa bi Inah gunakan, segera aku menemui bi Inah ke kamarnya dan memang sengaja membuatkan makanan juga buat bi Inah.
“Bi sudah siap makananya, aku buatkan juga buat bibi ini kalau tidak enak maaf yah bi,” ucapku, sambil menyimpan di meja kamar bi Inah.
“Pur, kamar nek Raras, kedua setelah melewati kamar bekas De sita dari arah tangga, jangan aneh melihat isi rumah yah Pur, di bawah hanya ada kamar Ibu dan Bapak saja, sisanya kamar untuk tamu menginap dan Mushola saja yang dekat pintu menuju kolam,” ucap bi Inah menjelaskan.
ADVERTISEMENT
“Baik bi, tidak apa-apa, obat untuk nek Raras dimana bi?,” ucapku, karwna memang mengerti bi Inah menjelaskan takutnya aku gimana-gimana, mungkin.
Obat-obatan, dok: pixabay
“Obatnya ada di dekat meja kamar nek Raras sudah rapih apa yang ada di meja itu ambil satu-satu pur yah. Kalau ada darahnya kamu bersihkan dengan tisu yg ada di meja juga yah,” ucap bi Inah dengan perlahan.
Aku kaget dengan darah yg diucapkan bi Inah. Segera aku berjalan keluar kamar bi Inah, dan untuk pertama kalinya setelah satu bulan hanya kurang beberapa hari saja di rumah ini. Sudah ada di depan pintu yang menghubungkan antara dapur dan rumah.
“Bismillahirohmanirohim,” ucapku yang segera membuka pintu dan langkah pertamaku masuk langsung disuguhkan dengan keindahan isi rumah yang begitu mewah sambil melangkah melihat kanan dan kiri isi rumah, ada Televisi yang sangat besar yang baru pertama kali aku lihat, tidak jarang beberapa benda koleksian Bapak dan Ibu yang antik-antik dan guci-guci besar juga ada di dalam isi rumah ini.
ADVERTISEMENT
Sebelum menaiki tangga yang sangat indah dengan goresan kayu ini, banyak sekali foto-foto keluarga Ibu dan Bapak, aku berhenti sebentar, kenapa mataku terarah dan memaksa memperhatikan foto tua dengan bingkai coklat itu
“Oh mungkin ini foto kelurga dari nek Raras, sangat tua sekali fotonya. Apa masih ada keturnan belanda?,” ucapku perlahan, sambil memperhatikan dengan detail sekali. “iya masih ada keuturunan belanda,” karena terlihat beda dari muka dan cara berpakaian.
Segera aku melangkah kaki kembali, dengan dua tangan yang memegangi baki makanan untuk nek Raras, perlahan aku injakan satu persatu pada anak tangga ini.
Bersambung...