news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Dendam: Kesaksian Bi Inah (Part 15)

Dukun Millenial
INGAT!! Di dunia ini kita tidak pernah sendirian....
Konten dari Pengguna
15 Januari 2021 17:23 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dukun Millenial tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi dendam, dok: pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi dendam, dok: pixabay
ADVERTISEMENT
Aku masih diam sama mematungnya dengan bapak, melihat ke arah yang sama pada kursi itu, dan setuju dengan apa yang diucapkan bapak.
ADVERTISEMENT
Tapi untuk sebuah urusan rumah tangga antara suami dan istri aku benar-benar belum memahami sampai sejauh itu. “pantas saja aku mengalami keanehan di garasi ini jika cerita yang sebenarnya seperti itu,” ucapku dalam hati.
“Ayo keluarkan mobilnya Pur,” ucap pak Joni.
Segera aku membukakan semua pintu garasi, dan mengeluarkan mobil bapak, membukakan gerbang, dan tidak lama juga bapak pergi segera aku kembali terdiam di depan garasi rumah ini, segala yang ingin aku ketahui atas nama penasaran benar-benar perlahan semuanya aku ketahui.
Walau aku juga tidak benar-benar mengerti maksud dari apa yang aku alami ini untuk apa dan kenapa aku mengetahui tentang Nek Raras dengan segala sakit dengan luka yang aneh, aku pikir akan membuat semua ini berakhir, kenyataanya tidak.
ADVERTISEMENT
Pertanyaan lainnya muncul, rasa penasaran yang semakin menjadi sekarang diam dalam sistem pikiranku. Apalagi setelah mendengarkan cerita mimpi yang sama dari bi Inah, silsilah keluarga yang detail dari bapak. Bahkan tentang Ayu dengan segala kejadian masa lalunya, adalah keadaan di mana yang sekarang aku rasakan.
Walau bukan dengan waktu yang lama, setelah segala kejadian gangguan, segala yang sudah aku alami dan aku lihat sendiri, sekarang semua pertanyaan itu berkumpul di kepalaku.
[Cerita ini diadaptasi dari Twitter/qwertyping]
Lamunan di meja makan, setelah melanjutkan kembali memasak dan penjelasan cerita tentang kursi di garasi yang bapak jelaskan tentu saja menambah lagi apa yang ingin aku ketahui. Ditambah dengan sakitnya bi Inah hari ini yang tentu menjadi beban untukku.
ADVERTISEMENT
Bahkan setelah makan pagi ini aku hanya menghabiskan waktu mengurus bunga-bunga ibu saja, saking tidak ada lagi yang aku kerjakan. Tidak lama ada teriakan dari suara bi Inah yang meminta air minum, segera aku ambilkan.
Bi Inah sudah duduk di kasur kamarnya.
“Alhamdulillah bibi sedikit baikan Pur, tidak apa-apa bibi lagi nanti yang antarkan makan untuk nek Raras, makasih yah pagi ini udah bantu bibi,” ucap bi Inah, sambil kemudian menimum semua air putih yang aku bawa.
“Alhamdulillah, kata bapak bibi tidak usah masak nanti bapak sama ibu makan di luar pesan bapak begitu bi,” ucapku.
Kemudian perlahan bi Inah berjalan pelan denganku, keluar dari kamarnya dan aku membantu apapun yang akan bi Inah kerjakan hari ini.
ADVERTISEMENT
“Pur, bibi tau kamu banyak mengalami hal aneh di rumah ini, waktu Karta dulu menceritakan nama kamu, sebelum kamu ke sini sudah bibi sarankan jangan karena takutnya yah seperti ini apalagi di usia kamu mungkin belum bisa menerima segala keanehan yang sudah kamu alami,” ucap bi Inah, dengan penuh tidak enak.
“Tidak apa-apa bi niatku, membantu mang Karta adiknya ibu aku di kampung makanya aku insyaallah ikhlas, sisanya pelajaran bi buatku, pengalaman baru,” ucapku perlahan, walau dalam hati berkata “pengalaman pertama dan tidak begitu menyenangkan”.
“Syukurlah kamu berpikirnya seperti itu, oh iya sudah lihat foto-foto yang ada di dinding tangga?, bibi selalu ingat ibu kalau melihat keluarga dari nek Raras,” ucap bi Inah.
ADVERTISEMENT
“Iya bahkan bapak kebetulan menjelaskan itu siapa aja bi dan yah cerita-cerita, lagian bapak orangnya selalu pengen ngobrol yah bi,” jawabku.
Bibi tersenyum dengan kelihatan bahagia dan tidak tahu kenapa padahal apa yang aku ucapkan biasa saja.
“Lewat foto-foto itu bibi bisa mengenang ibu bibi Pur, karena di akhir hidupnya berbakti sama keluarga nek Raras… iya dengan Karta juga begitu, bapak memang selalu begitu,” ucap bi Inah.
Cukup membuatku menganggukan kepala, cara mengenangnya melihat foto keluarga yang dulunya majikan, benar-benar kadang sikap manusia mempunyai cara tersendiri untuk mengenang seseorang.
Siang ini bi Inah yang kembali melakukan aktivitas seperti biasanya, jam 8 malam ini aku kembali melakukan aktivitas biasa menyalakan lampu kolam dan air mancurnya, tidak ada yang berbeda semua berjalan normal-normal saja. Bahkan ketika aku membereskan garasi sama sekali tidak ada yang aneh dan menakutkan seperti sebelumnya kejadian di tempat ini.
ADVERTISEMENT
Selesai melakukan tugas sebelum istirahat itu, aku masih jongkok memperhatika bunga-bunga, tidak tahu kenapa semenjak setiap pagi mengurus bunga ada ketertarikan lebih pada tiap-tiap warnanya dan segala keindahan dari bunga-bunga ini.
Ilustrasi bunga, dok: pixabay
“Pur sini, makan dulu ayo,” ucap bi Inah yang baru saja selesai kembali dari kamar nek Raras seperti biasa mengantarkan makan malam.
Segera aku menuju meja makan dan seperti biasanya makan hanya berdua saja dengan bi Inah, yang sudah aku anggap seperti ibuku sendiri ini.
Satu bulan di sini, dengan kondisi makan yang seperti ini juga, tiba-tiba aku teringat bapak dan ibu di kampung juga Abah yang sudah lama aku tidak memberi kabar.
“Kondisi nek Raras semakin tidak baik Pur, bahkan barusan sudah kembali tidak mau meminum obat makanya bibi lama kan barusan, sama sekali menolak, bahkan darah dari luka-lukanya semakin banyak, hampir sama seperti pagi yang bibi lihat pas kamu yang antar makanan ke kamar nek Raras, tuh di keresek bibi simpan,” ucap bi Inah, sambil menunjuk ke arah keresek.
ADVERTISEMENT
Iya banyak sama seperti aku, ucapku dalam hati.
“Aku berkali-kali bi, bolak-balik dari wajah ke tangan begitu saja, makanya banyak, kapan dokter itu datang lagi bi?,” tanyaku pada bi Inah.
“Sama bibi juga, bahkan barusan nek Raras, setelah melihat ke arah cermin besar di kamarnya itu, kamu tahukan?,” tanya bi Inah.
Deg!, tiba-tiba aku teringat pada kejadian pagi tadi soal sosok wanita yang aku lihat di cermin.
“Iya bi tahu, yang mengarah langsung ke tempat tidur nek Raras, kenapa memangnya bi?,” tanyaku.
“Tidak tahu kenapa, barusan hanya menunduk, dan berkali-kali menunjuk ke arah cermin, bibi lihat tidak ada apa-apa sama sekali,” ucap bi Inah menjelaskan dengan penuh keheranan.
Bagaimana bisa aku melihatnya sosok perempuan itu, ketika nek Raras sama percis dengan sebelumnya aku alami dan bi Inah juga alami.
ADVERTISEMENT
“Kenapa kamu jadi melamun Pur,” ucap bi Inah sambil menepuk lengan aku.
“Hah enggak bi, iya aku juga kepikiran dengan sakitnya dan sudah aku lihat langsung kondisinya bi,” jawabku, berbohong.
Padahal bukan itu yang aku pikirkan malah sosok perempuan yang sudah beberapa kali aku lihat tidak lama telepon dapur berbunyi dan bi Inah langsung berdiri dan mengangkat telepon tersebut, hanya “iyah” dan “baik” yang keluar dari mulut bi Inah, kemudian tidak lama telepon tersebut ditutup kembali.
“Ibu barusan Pur, katanya malam ini pulang ke rumah, baru sebentar lagi akan berangkat dari rumah sodaranya, bareng bapak,” ucap bi Inah.
“Ibu sekalinya enggak ada di rumah lama yah bi, lebih sering di rumah sodaranya yah,” jawabku dengan perlahan.
ADVERTISEMENT
“Iya Pur memang begitu, apalagi kan De Sita memang sudah hampir 2 tahun tinggal di rumah sodara ibu jadi kebanyakan ibu di sana kasihan sudah lama sekali bahkan Ibu tidak pernah lagi melihat kondisinya nek Raras, padahal itu ibunya sendiri, hanya dan selalu percaya sama hal medis saja, mendatangkan dokter dll saja Pur,” ucap bi Inah.
Bahkan aku kaget setelah sesuatu yang baru lagi aku ketahui tentang ibu, yang barusan bi Inah ucapkan.
“Apalagi 2 tahun ke belakang setelah De sita hampir bisa dikatakan sering melihat hal-hal yang tidak masuk akal, bahkan pernah sakit parah yang tidak masuk akal dulu mamang kamu Karta sendiri dulu yang merawat De Sita, b0lakbalik Rumah Sakit. Dan akhirnya dipindahkan ke rumah sodara ibu, begitu Pur,” ucap bi Inah
Ilustrasi anak kecil sakit, dok: pixabay
Bi Inah benar-benar mengetahui jelas dan detail soal keluarga ini, masuk akal karna hampir 8th lebih juga, pasti setiap kejadian yang berkaitan dengan keluarga Pak Joni dan Ibu Sekar ini benar-benar bi Inah menjadi saksinya, dan perjalanannya. Bahkan sebelumnya Ibu nya bi Inah sendirilah (almarhum) yang menjadi saksi dari Ibu nek Raras, benar-benar lintas waktu yang bukan sebentar sekali.
ADVERTISEMENT
Bi Inah menyuruh aku istirahat duluan saja, karena mungkin kondisinya bi Inah sudah semakin membaik bahkan sudah istirahat lebih lama jadinya bi Inah masih sangat segar.
“Nanti kalau ada apa-apa bibi bangunkan kamu Pur, takutnya bapak atau ibu ada urusan sama kamu yah, biasanya juga mobil bapak kalau bekas dipakai bapak suka dimasukan sendiri ke dalam garasi, mobil kesayanganya, maklum,” ucap bi Inah.
Segera aku berjalan menuju kamar, memang setelah tidak ada lagi tugas menyetir mobil bahkan hanya membantu bi Inah saja, jam tidurku belakang ini cepat sekali mengantuk.
Terbaring melihat atap kamar, beberapa pikiran tenang apapun di rumah ini satu persatu silih bergantian hadir dalam otaku, apalagi tentang ibu yang sudah lama tidak melihat nek Raras, ibunya sendiri.
ADVERTISEMENT
Melihat jam di dinding kamar, sudah hampir jam 10 malam. Aku coba pejamkan mata yang memang sepertinya perlahan berdamai dengan pikiranku, tidak seperti biasanya dan tidak seperti awal kedatangan ke sini, setiap hal-hal aneh dan rasa penasaran tiba pasti saja susah untuk terlelap.
Perlahan mata semakin berat dan aku ikuti saja untuk terpejam dengan segala keanehan keluarga ini dan rumah ini juga.
Bersambung...