Dendam: Mimpi Buruk (Part 16)

Dukun Millenial
INGAT!! Di dunia ini kita tidak pernah sendirian....
Konten dari Pengguna
17 Januari 2021 20:41 WIB
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dukun Millenial tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi dendam, dok: pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi dendam, dok: pixabay
ADVERTISEMENT
“Purnama bantu-bantu barang bawaan bapak dan ibu di garasi,” ucap bi Inah.
ADVERTISEMENT
“Baik bibi,” ucapku.
Kenapa bi Inah tidak bicara yang lainya juga, aku segera ke garasi, bapak dan ibu sedang mengangkat satu persatu barangnya dibagian belakang mobil.
“Biar Purnama saja pak, bu yang angkatin,” ucapku.
Tidak ada jawaban sama sekali, bahkan muka-muka mereka terlihat sangat kelelahan terkesan pucat, heranya bapak yang biasanya selalu menyapaku hanya melihat dengan tatapan kelopak mata yang sudah sayu, begitu juga dengan ibu sama halnya dengan bapak.
Tiba-tiba keluarlah wanita dari pintu kedua mobil, dari samping. Memantung hanya melihatku wajahnya sangat dan benar-benar cantik apalagi bagian rambutnya yang sangat indah. Benar-benar wanita yang pertama kali pernah aku lihat dengan kecantikan yang seperti ini.
Rambutnya panjang lurus dan indah dan bagian-bagian dari badanya sangat-sangat membuat aku hanya bisa menelan ludahku saja.
ADVERTISEMENT
“Sodaranya ibu, atau sodaranya bapak mungkin,” ucapku dalam hati.
Bapak dan Ibu berjalan perlahan, dari jalannya bapak tidak seperti biasanya, pelan sekali, benar-benar gambaran orang yang sangat lelah dan sudah sangat cape sekali. Kemudian perempuan yang masih saja mentapku hanya terseyum dengan manis, ketika aku melihat wajahnya sama dengan bapak dan ibu, keindahan matanya baru aku sadari sangat sayu dan jauh lebih pucat, sangat pucat.
[Cerita ini diadaptasi dari Twitter/qwertyping]
Aku hanya membalasnya kemudian dengan senyum kembali.
“Kelelahan pasti,” ucapku dalam hati.
Ibu dan bapak melangkah di ikuti dengan perempuan cantik itu di belakangnya dan kemudian aku, yang dua tanganku membawakan barang-barang yang tidak tahu isinya apa ini. Sampai di dapur bi Inah hanya berdiri mematung, menunduk.
ADVERTISEMENT
“Bi ini kemanakan simpan di mana?,” tanyaku pada bi Inah.
Tanpa jawaban sama sekali hanya menunjuk ke arah pintu yang terhubung dengan ruangan utama rumah ini, tidak lagi aku bertanya, aku menuruti saja, walau banyak keanehan dari sikap yang tidak biasanya dari bi Inah.
Tidak lama ibu dan bapak hanya duduk di kursi yang berhadapan dengan televisi yang besar itu, sama dengan perempuan cantik itu, duduk juga disebelah bapak, bertiga dengan wajah yang tertunduk semuanya, bahkan aku tidak mengerti kenapa ini.
“Maaf pak, bu ini barangnya simpan di mana?,” tanyaku.
Bapak dan ibu juga perempuan itu tidak menjawab sama sekali, aku masih saja berdiri mematung dengan masih bingung juga.
“Ibu... bapak... maaf ini barang bawaanya Purnama simpan di mana yah,” ucapku kedua kalinya bertanya, dengan gemeteran karena takut sekali dengan tatapan dari pada Ibu Sekar.
ADVERTISEMENT
Tanpa omongan sama sekali dari Ibu, Ibu hanya menunjuk ke arah bagian Guci yang sangat besar, segera aku melangkah membelakangi mereka bertiga dan menyimpan barang bawaan bapak dan ibu.
“Ada yang bisa Purnama bantu lagi Ibu,” ucapku semakin ketakutan, karena melihat wajah-wajah mereka yang sedang duduk semakin pucat, apalagi tatapan kosong dengan kepala tagak tanpa bergerak sedikitpun dari mereka bertiga. Bahkan posisi duduknya sama.
Tanpa jawaban sama sekali pertanyaanku, kemudian aku izin untuk pamit.
“Purnama izin pamit ke belakang bu,” ucapku kemudian berjalan kembali ke dapur Dari arah dapur, dengan pintu yang terbuka aku duduk di meja makan, dengan bi Inah yang juga duduk di meja yang sama, bi Inah hanya tertunduk.
ADVERTISEMENT
“Kenapa yah bi ibu bapak begitu dan bibi tahu siapa perempuan itu,” tanyaku.
Beberapa menit aku menunggu bi Inah bicara, sama sekali bi Inah tidak menjawab apa yang aku katakan sebelumnya. Masih saja dengan posisi yang sama.
“Bibi... heh bi,” ucapku sambil menepuk-nepuk bagian lengan bi Inah.
Bi Inah tidak menjawab sama sekali, bahkan aku dengan (maaf) tidak sopan sampai harus menudukan kepalaku lebih bawah untuk melihat wajah bi Inah.
Bukan main kagetnya!, aku melihat mata bi Inah hanya melotot saja tanpa berkedip sama sekali, hal itu yang membuat ketakutanku bertambah, awalnya dengan mungkin bertanya dan mengobrol dengan bi Inah rasa takutku sedikit berkurang, kenyataanya bertambah!.
Ilustrasi kerasukan, dok: pixabay
Tiba-tiba ada suara teriakan dari dalam ruangan tengah.
ADVERTISEMENT
“Ampun, jangan, ampun,” suara itu sangat keras, segera aku palingkan tatapan dari bi Inah ke arah suara itu berasal, dan benar saja di ruang rumah utama yang barusan aku mengantarkan barang bawaan bapak dan ibu, aku melihat perempuan cantik yang sebelumnya aku kagumi itu sedang menjambak dan menarik nek Raras dengan paksa ke hadapan bapak dan ibu!.
Aku tidak bisa diam baru saja aku berdiri, tangan bi Inah menahanku dengan sangat keras.
“Jangan sudah diam,” dengan suara yang berbeda, tidak seperti biasanya bi Inah bicara, lebih sedikit berat dan serak.
Aku tidak bisa melawan kuatnya tangan bi Inah, yg menanhan lenganku.
“Bi itu nek Raras kasihan, lepasin bi,” ucapku.
ADVERTISEMENT
“Sudah diam jangan,” ucap bi Inah membentaku dengan keras.
Aku kaget dengan bentakan bi Inah yang baru pertama dengan kerasnya suara yang bi Inah ucapkan, di ruang tengah rumah aku melihat nek Raras posisinya di bawah dengan tubuh yang sudah sangat tua itu terlihat terduduk dan hanya menangis dengan keras semantara rambutnya masih saja tidak lepas dari tangan perempuan cantik itu.
Tidak lama perempuan cantik itu beridiri aku melihatnya masih sangat jelas, karena jarak pandang dengan pintu yang terbuka tidak terlalu jauh.
Tiba-tiba keluarlah gunting dari tangan perempuan itu memotong rambut nek Raras, “Ampuunnn... sudahhh... ampunnn,” teriakan nek Raras yang sangat keras, dengan isakan tangisan yang tidak berhenti dan dengan secara tiba-tiba gunting bagian ujungnya terarahkan dengan cepat ke bagian muka dan tangan nek Raras.
ADVERTISEMENT
“Jangannnn... hentikan,” teriaku dengan sangat keras!.
Perempuan cantik itu sama sekali tidak melihat ke arahku, padahal suaraku benar-benar keras, bahkan keras sekali, dan yang membuat aku kesal, bapak dan ibu hanya duduk di kursi tanpa bergerak sedikitpun, padahal kejadian itu didepan wajah mereka, di dekat mereka!.
“Lepaskan bi lepaskannn,” teriaku!
Dengan sekuat tenaga melawan tangan bi Inah yang memegang lenganku tiba-tiba bi Inah melepaskan! Dan aku berlari dengan kecang menuju perempuan cantik yang sedang berdiri itu.
“Hentikannn.... jangannn,” ucapku sangat kecang!
Dari kejauhan, aku melihat wajah dan lengan nek Raras udah berlumur darah sangat banyak, banyak sekali dan perempuan cantik yang tidak aku ketahui itu siapa hanya tertawa dengan sama kerasnya dengan suaraku.
ADVERTISEMENT
“Hahaha... hahahaha... hahahahaha,” berkali-kali.
“Hentikan tolong... hentikannn,” ucapku sambil menangis melihat ke arah nek Raras yang sedang menahan sakit.
“Purnama... Purnama,”
“Hah.. hah.. hah,” ucapku sambil melihat ke atap kamarku
“Heh ini bapak, istigfar Pur... ini bapak ini,” ucap pak Joni.
Segera aku melihat ke arah bapak dengan nafas yang masih tidak tenang, aku melihat juga sudah ada Ibu dan bi Inah.
“Tarik nafas dulu Pur, pelan-pelan,” ucap Ibu dan bi Inah memberikan aku air putih.
“Kamu kenapa, mimpi apa kamu sambil teriak begitu kecang, sampai bapak dan ibu sedang duduk di ruang tengah juga terdengar kecang sekali,” ucap pak Joni.
Aku masih terdiam dan tidak percaya dengan apa yang sudah aku alami barusan, masih mencoba menenangkan diriku, bi Inah kembali memberikan aku minum. Bapak, Ibu dan bi Inah menghadap ke arahku yang di mana kasur pada kamar ini berdekatan dengan tembok kamar, dilawan arahnya adalah pintu, baru saja aku melihat ke arah pintu yang terbuka di antara celah antara berdirinya bapak dan Ibu, aku melihat perempuan cantik yang sebelumnya masih aku ingat dalam mimpi itu sosoknya.
ADVERTISEMENT
Tatapanku langsung aku buang ke arah tembok kamar, otomatis Bapak, Ibu dan bi Inah melihat ke arah pintu karna melihat gelagat aneh dari pada tatapanku.
“Siapa Pur, kamu lihat siapa sepertinya ketakutan begitu,” tanya pak Joni.
“Tidak pak,” ucapku dengan gemeteran dan wajah penuh dengan keringat.
“Yasudah Inah kamu temani dulu Purnama, kalau ada apa-apa kasih tau saya dan bapak,” ucap Ibu dan kemudian dengan bapak juga meninggalkan kamarku.
Ilustrasi mimpi buruk, dok: pixabay
Tidak tahu kenapa wajah perempuan cantik itu masih saja terbayang dalam pikiranku saat ini, bi Inah berdiri dan memberikan baju salin untuku.
“Ganti dulu bajunya, biar enak lagi tidurnya, banyak sekali keringat kamu Pur,” ucap Bi Inah.
Segera aku bangun, dan duduk di atas kasurku, benar saja bahkan badan aku sebelumnya belum pernah mengeluarkan keringat sebanyak ini, ini benar-benar basah semua badanku, terlihat jelas dari baju yang baru saja aku lepaskan.
ADVERTISEMENT
“Bibi kaget kamu teriak-teriak; jangan, ampun, hentikan, takutnya kenapa-kenapa apalagi suara kamu sangat keras, sampai bapak dan ibu juga langsung ke dapur dan bertanya kepada bibi. Awalnya bibi juga ketiduran Pur nunggu bapak dan ibu sampai baru jam 1 dini hari barusan, tidak lama bibi baru saja mau ke kamar kamu sudah begitu dan bibi bangunkan tidak bagun-bangun,” ucap bi Inah sambil meneteskan air matanya.
“Kenapa bibi menangis,” tanyaku tidak enak.
“Bibi takut, apa yang sebelumnya almarhum ibu bibi berpesan ternyata benar Pur,” ucap bi Inah masih saja air matanya menetes perlahan.
Belum saja aku selsai dengan pikiran tentang kenapa mimpi itu, bi Inah kembali seperti ini ada hal yang bakalan aku ketahui kembali.
ADVERTISEMENT
“Almarhum pernah bilang, dulu pernah berkerja dengan tukang masak yang sangat cantik terlaten tapi sayang bibi hanya mengetahui sampai hal itu saja, lalu ibu bibi bilang, bahwa dosa keluarga nek Raras tidak akan berhenti, memperlakukan manusia tidak wajar dan bakalan ada Dendam yang tidak pernah berakhir karna rasa kesakitan dan penyiksaan itu Pur tidak tau kenapa bibi setelah melihat kamu dan bibi sendiri mengalami hal aneh bertahun-tahun bahkan menjadi saksi dengan kamu bagaimana nek Raras sakit awalanya bibi tidak sama sekali percaya dengan perkataan ibu bibi takutnya berperasangka tidak baik, tapi kenyataanya sekarang bibi tidak sendirian bersaksi atas apa yang mungkin sudah terjadi dan ada dosa lama yang belum termaafkan,” ucap bi Inah menangis sejadi-jadinya.
ADVERTISEMENT
Bersambung...