Dendam: Namanya Adalah Ayu (Tamat)

Dukun Millenial
INGAT!! Di dunia ini kita tidak pernah sendirian....
Konten dari Pengguna
20 Januari 2021 21:06 WIB
comment
8
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dukun Millenial tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi dendam, dok: pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi dendam, dok: pixabay
ADVERTISEMENT
Aktivitasku hanya itu-itu saja sesekali mengobrol dengan bi Inah tidak menemukan jalan bagaiamana bisa memberikan saran kepada bapak.
ADVERTISEMENT
“Tidak enak Purnama kalau ikut campur, apalagi kondisinya sedang begini, bibi beberapa kali mendengar pertengkaran bapak dan ibu soal nek Raras, saran kamu bagus tapi bagaimana, bahkan ibu sudah tidak bicara lagi dengan bibi juga,”.
Aku kembali terdiam dan membuang jauh memberikan saran kepada keluarga ini, benar juga apa yang dikatakan bi Inah. Sampai pada suatu pagi di mana aku sedang menyapu depan garasi karena angin-angin yang kencang, membuat beberapa daun terkumpul di depan garasi, baru saja mau selesai, bapak sudah ada di belakangku.
“Kondisi nek Raras semakin drastis Pur, dan ibu tetap tidak mau mendengarkan omongan saya,” ucap pak Joni.
“Iya pak kasihan, apalagi sering sekali nek Raras teriak-teriak,” jawabku langsung diam di samping pak Joni.
ADVERTISEMENT
“Iya Purnama, ibu tetap tidak percaya, dan ini memang sakit, selalu begitu tidak jarang saya betengkar besar apalagi ketika menyangkut kesalahan masa lalu dan ibu tetap menyangkal bukan karena hal itu,” ucap pak Joni.
Aku tidak bisa menjawab apapun hanya diam, dan memang mungkin pak Joni sudah paham tentang ada dosa-dosa masa lalu yang harus termaafkan.
“Jika nasibnya seperti ini saya cuma bisa pasrah, keadaan ini sebagai balasan saya yakin sekali,” ucap pak Joni.
“Baginya tidak ada yang tidak mungkin pak, berdoa dan meninta pertolonganya adalah satu cara tidak ada cara lain, Abah berpesan seperti itu, meminta maaf kepada penciptanya saja, jika memang merasa yakin ada kesalahan dimasa lalu, tapi meminta maaf bukankah tidak perlu merasa salah saja” ucapku Pak Joni hanya memandangku dan tersenyum.
ADVERTISEMENT
[Cerita ini diadaptasi dari Twitter/qwertyping]
“Saya coba bicarakan dengan ibu, kalau saya sudah melakukan hal itu, bagi ibu kemungkinanya tidak Pur, tapi tidak ada salahnya saya coba,” ucap pak Joni.
Setelah obrolan singkat itu, sama sekali aku tidak bertemu dengan pak Joni, mungkin banyak menghabiskan waktu di dalam rumah. Sampai pada suatu malam di akhir bulan ini (bulan kedua aku berkerja) di rumah ini.
Terjadi pertengkaran hebat Bapak dengan Ibu sama masalahnya tentang nek Raras, yang semakin kondisinya mengenaskan. Apalagi pertengkaran itu waktunya ketika bi Inah selsai mengecek nek Raras, walau kembali bisa makan dan minum tapi badan nek Raras semakin kurus dan bekas lukanya semakin parah, begitu informasi dari bi Inah.
ADVERTISEMENT
Bahkan aku tidak pernah melihat kembali nek Raras, karena ketidak enakan dan takutnya mencampuri urusan keluarga lagi pula bukan tugas utamaku kerja di rumah ini.
Mendengar pertengkaran itu membuat aku dan bi Inah juga masuk ke kamar masing-masing karena merasa tidak enak harus mendengar apa yang meraka bicarakan, lebih kepada urusan keluarga.
Satu minggu setelah pertengkaran itu, tiba-tiba bi Inah bicara padaku pagi hari, dan benar-benar bapak dan ibu selama itu hanya diam di rumah, sesekali menerima tamu kawan bapak itu juga hanya mengobrol di kolam ikan saja, mungkin kepada urusan bisnis saja.
“Purnama maafkan bibi, benar-benar bibi minta maaf, tadi di dalam bibi bicara sama ibu dan bapak, kerja kita selesai sampai sini, bibi akan pulang kampung dan kamu juga harus pulang,” ucap bi Inah sambil menteskan air mata.
ADVERTISEMENT
Ucapan bi Inah membuat aku kaget.
Ilustrasi bertengkar, dok: pixabay
“Kenapa memangnya bi?,” tanyaku.
“Kondisi nek Raras yang semakin parah dan setelah pertengakaran itu, nek Raras akan dipindahkan ke rumah adiknya ibu paling kecil, di kota J katakanya biar berobatnya lebih dekat disana lebih lengkap dan hanya itu yang bibi dengar” ucap bi Inah
“Yaudah tidak apa-apa bi lagian kan sudah bukan urusan kita bi, hanya kasian saja,” jawabku.
“Iya besok malam nek Raras akan dijemput dan hari berikutnya kita udah tidak kerja lagi di sini,” ucap bi Inah.
Hal yang membuat aku kaget dan bersyukur nek Raras akan berobat lebih serius, walau hal-hal yang aku yakini itu adalah sebab akibat, karena aku menyusun setiap mimipku menjadi jawaban yang utuh.
ADVERTISEMENT
Hari yang diucapkan bi Inah datang dengan cepat, bahkan aku sudah mempersipakan kembali barang-barangku, tidak terasa waktu yang cukup lama dua bulan lebih di sini, akan tetapi sangat lama dengan kejadian dan masa lalu keluarga ini yang begitu berpuluh tahun lamanya.
Malam itu benar saja, walau belum ada omongan dari bapak dan ibu sekitar dan 10 malam datang mobil yang akan menjemput nek Raras, segera aku membantu menurunkan nek Raras, bagian muka dan tanganya bahkan sudah tertutup oleh kain putih, apalagi tanganya.
Muka yang hanya tersisa sebelah yang masih terbuka, walau sudah tertutup oleh kain putih tidak bisa menyembunyikan darah yang kental tercetak begitu saja, perlahan nek Raras sudah berada di dalam mobil dengan Ibu, lalu ibu kembali keluar untuk pamit kepadaku dan bi Inah.
ADVERTISEMENT
Bi Inah mengangis karena bukan waktu sebentar berkerja kepada ibu menitipkan beberapa pesan, yang tidak jelas aku dengar. Dan ibu juga bersalaman denganku, mengucapkan banyak terimakasih dan juga pesan ucapan makasih kepada mang Karta.
Bapak hanya menyiapkan beberapa yang akan dibawa, ketika ibu sudah kembali masuk ke dalam mobil. Ada hal yang aku lihat, aku melihat wanita cantik itu duduk di sebelah Nek Raras, aku melihatnya dari samping luar karena aku sendiri yang menutupkan pintu mobil untuk ibu.
Terdengar dari nafas nek Raras yang tidak tenang, mungkin nek Raras juga merasakan kehadiran perempuan itu, segera aku tutup pintu mobil dengan pelan sambil tidak lepas tatapanku melihat ke arah perempuan itu.
ADVERTISEMENT
Mobil yang membawa ibu dan Nek Raras perlahan keluar gerbang begitu saja, aku kembali membereskan semuanya. Sampai di meja makan bapak dan bi Inah sudah duduk berdua menungguku.
“Maafkan saya bi Inah, Purnama dan bilang juga sama Karta, selanjutnya rumah ini akan kosong, karena ibu tetap pengen pergi dari rumah ini karna merasa di rumah ini Ibunya nek Raras tidak kunjung membaik ini untuk kamu bi Inah, ini untuk Purnama dan ini titipan untuk karta, mohon di terima,” ucap pak Joni sambil menahan air matanya keluar.
Aku dan bi Inah berterimakasih, kemudian bi Inah menyiapkan makan terakhir untuk bapak dan aku.
“Boleh tanya satu hal Purnama sebelum besok pergi?,” tanya bapak.
ADVERTISEMENT
“Boleh pak apa itu?,” jawabaku dengan tenang.
“Ceritakan mimpi kamu pada malam itu,” ucap bapak dengan nada datar.
Segera aku ceritakan dengan detail, lengkap sama sekali tidak ada yang terlewat sama sekali, bapak hanya diam memperhatikanku dan mendengarkan apa yang aku bicaran.
“Itu saja pak lengkap, tidak ada yang aku kurangi atau aku lebihkan,” ucapku dengan gemeteran karena kembali mengingat mimpi itu sangat menakutkan.
Bapak hanya diam tidak ada sepatah katapun keluar dari mulut bapak, tiba-tiba bapak berdiri dan mengajku masuk ke dalam rumahnya.
“Di sini,” ucap bapak.
“Iya pak di sini,” ucapku menunjukan kejadian dalam mimpiku itu.
“Iya itu Ayu!,” ucap pak Joni perlahan.
“Karena saya tahu dan yakin itu balasan dendam dari Ayu, kamu tahu saya bertengkar hebat minggu lalu, karena saya menyebut nama itu dan ibu tidak terima dan imbasnya begini, maafkan saya yah Purnama,” ucap pak Joni merasa bersalah.
ADVERTISEMENT
“Tidak apa-apa pak mungkin aku hanya sebagai saksi itu juga lewat mimpi kalau bapak percaya terimakasih pak dan bapak tau, semoga percaya, aku melihtanya di dalam mobil juga, semoga bukan itu dan bukan Ayu,” ucapku dengan perlahan.
Bapak hanya mengangguk tanda setuju, mungkin percaya mungkin tidak. Tapi setidaknya aku sudah impas dengan bapak, saling memberikan dan menjelaskan apa yang aku ketahui karna sebelumnya bapak juga memberikan jawaban yang ingin aku ketahui.
Malam terakhir di rumah ini, tidak ada gangguan apapun, terlebih tidak tahu kenapa aku merasa sedih dan perlahan air mataku menetes begitu saja.
Pagi yang ditunggu tiba setelah pamit minta maaf pada bi Inah dan kepada bapak, juga mendegarkan pesan baik-baik dari bi Inah untuk mang Karta tentang doa untuk cepat pulih dan cepat mendapatkan pekerjaan lagi mang Karta.
ADVERTISEMENT
Aku dan bi Inah berpisah karena beda jurusan untuk menaiki angkutan umum untuk menuju bis, dan kemudian sampai di kabupaten kampung halaman.
Ilustrasi mengendarai mobil, dok: pixabay
Untungnya aku masih ingat betul dan memang tidak susah menaiki bus jurusan kabupaten aku ini, di sepanjang perjalanan Abah, keluarga dan mang Karta pasti terkejut dengan kepulangan yang mendadak ini. Tapi tidak apa-apa aku akan kembali berkerja untuk kang Mamad.
Suasana dan pengalaman baru yang waktu itu ingin sekali aku alami, akhirnya teraminkan walau bukan pengalaman yang baik karena banyak kejadian yang jauh dari akal juga nalar, tapi setidaknya aku benar-benar bisa bertangungjawab dengan apa yg aku inginkan dan bisa membantu keluargaku.
Benar, setiap kesalahan tidak mengenal waktu sebentar atau lama, semuanya mengikuti di waktu yang berjalan ini. Setiap kesalahan adalah pertangungjawaban bukan untuk mencari apa itu kebenaran tapi harus sadar untuk meminta maaf dan memaafkan.
ADVERTISEMENT
Karena kesalahan di waktu yang sudah berpuluh tahun bisa menjadi Dendam!, Dendam yang benar-benar harus terbalaskan ada dan sudah tidak adanya jalan, tetaplah ingat bagi yang maha kuasa semuanya mudah.
- TAMAT -