Gending Alas Mayit: Akhir dari Pertunjukan (Tamat)

Dukun Millenial
INGAT!! Di dunia ini kita tidak pernah sendirian....
Konten dari Pengguna
5 September 2021 18:43 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dukun Millenial tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi horor, dok: pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi horor, dok: pixabay
ADVERTISEMENT
Ia maju mendekat ke Andaka seolah bersiap melawanya.
“Biar aku sendiri yang menghadapi dia, ini urusanku yang belum terselesaikan,”
ADVERTISEMENT
Tidak mungkin, walaupun Eyang Widarpa sangat kuat.. tapi aku tahu kekuatan ia saat ini masih jauh dari Andaka sekarang.
“Kami akan membantu," Cahyo berdiri dan mendekat ke Eyang Widarpa.
Namun sebuah tendangan dari Eyang Widarpa menyapu tubuh Cahyo dan membuatnya terpental lagi.
“Itu bayaran karena sudah menyebutku demit tua gila… kalian tidak usah ikut campur," Eyang Widarpa memaksa.
Cahyo menggaruk-garuk kepalanya dan mencoba berdiri menghampirinya lagi.
“Nyimpen dendam itu ga baik lho mbah… " ucapnya.
Aku mengerti dengan maksud Eyang Widarpa, dan mencoba menahan Cahyo.
“Eyang… paling ngga, gunakan ini,”
Sebuah Keris Ragasukma peninggalan leluhurku kulemparkan pada Eyang Widarpa. Tanpa berbicara sepatah katapun Eyang Widarpa menangkap keris itu dan memulai pertarungan.
ADVERTISEMENT
Sebuah tusukan dihujamkan ke tubuh Andaka, namun dihindari dengan mudah.
Eyang melompat mundur dan menerjang kembali dengan lincah. Terlihat sebisa mungkin Eyang Widarpa menghindari pukulan dari Andaka yang mungkin mampu memeberikan serangan yang fatal.
“Hentikan Widarpa… tak ada satu seranganmu yang akan melukaiku," ucap Andaka dengan sombong.
“Kalau tidak akan melukaimu, tidak mungkin kamu menghindari serangan ini kan?” Eyang Widarpa menerjang sekali lagi dan kali ini tusukanya tepat di jantung Andaka.
Berhasil.. akhirnya keris ragasukma menembus tubuh Andaka. Namun Andaka terlihat tidak bergeming, saat keris dicabut lukanya kembali menutup.
“Aku sudah bilang… semua seranganmu tidak ada gunanya!” Setan itu berkata dengan sombong di hadapan kami.
Eyang Widarpa terlihat gentar, semua seranganya benar-benar tidak ada artinya.
ADVERTISEMENT
[Cerita ini diadaptasi dari Twitter/Diosetta]
Tanpa melewatkan kesempatan Andaka memberikan serangan bertubi-tubi pada Eyang Widarpa. Cakaran hingga pukulan tanpa henti membuat Eyang Widarpa tak berdaya.
Aku bersiap menolongnya, namun Eyang Widarpa tetap menahanku
“Mundur!" Eyang Widarpa tetap bersikeras menahan kami.
“Tapi.. Eyang,” aku mencoba melawan.
“Aku ini demit.. sudah tidak punya raga," ucapnya pada kami.
“Tapi kalian, jangan sampai mati di sini," Benar kata eyang, dengan sedikit serangan dari Andaka saja kami bisa langsung kehilangan nyawa. Tapi aku juga tidak bisa jadi penonton saja.
Aku mengingat mantra penyembuh yang diajarkan pak lek dan membacakanya untuk memulihkan kondisi Eyang Widarpa.
Tampaknya Cahyo juga mengerti, iya melakukan hal yang sama .. semoga saja ini dapat membantu.
ADVERTISEMENT
Mendadak, muncul api putih dari tubuh Andaka .. terlihat terjadi pemisahan kekuatan dari tubuhnya.
Itu perbuatan Pak Sardi, ia juga mencoba membantu Eyang Widarpa dengan mengirimpan api geni baraloka ke tubuh Andaka. Melihat hal itu, Eyang Widarpa menyadari sesuatu..
“Bocah asu… apa benar jasad raja dikuburkan disana?” Eyang Widarpa bertanya sambil menolehkan wajahnya ke arang Waturingin.
“I.. itu yang tertulis di gong itu eyang..” jawabku.
Ilustrasi tenggelam, dok: pixabay
Sekali lagi hantaman keras diarahkan kepada eyang, namun iya menghindar dan melompat sejauh mungkin. Nampaknya mantra penyembuh dari pak lek bekerja juga pada Eyang Widarpa.
Secepat mungkin Eyang melompat menghampiri ke tengah sendang dan berdiri di atas waturingin yang telah terpecah.
Segera keris ragasukma ditusukan ke tengah-tengah batu itu, Eyang berlutut layaknya seorang patih yang memohon kepada rajanya.
ADVERTISEMENT
“Saya meminta ijin meminjam kekuatan Sang Raja," Seolah menyambut perbuatan Eyang Widarpa, tanah mulai bergetar.. air di sendang banyu ireng surut masuk ke dalam tanah..terlihat akar pohon beringin yang lebih besar di bawah kaki Eyang Widarpa.
Sebuah kekuatan merasuki keris ragasukma yang ditancapkan oleh Eyang Widarpa. Merasa akan adanya bahaya, Andaka mengejar Eyang Widarpa dan menyerangnya.
Namun Cahyo cukup cepat untuk memukulnya sekuat tenaga. Walapun tidak bisa melukai Andaka, setidaknya Cahyo bisa memberi waktu.
“Gunakan Api Baraloka sekali lagi sebesar yang kalian bisa!” perintah Eyang Widarpa.
Aku dan Pak Sardi membacakan mantra pembakar menggunakan api Geni Baraloka yang sudah membesar. Sekali lagi tubuh Aswangga terlihat menolak kekuatan kedua demit patih dari tubuhnya.
ADVERTISEMENT
Eyang Widarpa menarik keris ragasukma yang telah diselimuti kekuatan dan menghujamkan ke jantung setan itu. Keris itu benar-benar menusuk dalam ke jantungnya, kekuatan dari dalam keris melemahkan kekuatan kedua setan patih kerajaan itu dan kekuatan geni baraloka berhasil melepaskan tubuh aswangga dari roh Andaka.
Ilustrasi raga sukma, dok: pixabay
Tak melewatkan kesempatan, Eyang widarpa menarik roh iblis itu mencabik-cabiknya dan menghabisinya dengan keris ragasuka yang tergenggam di tanganya.
Suara mengerang terdengar di seluruh alas mayit, seolah menandakan kekalahan setan itu dari pertempuran ini.
Keheningan yang cukup lama terasa di tengah hutan yang gelap ini. hampir tidak ada sisa kekuatan di tubuh kami setelah serangan terakhir tadi. Eyang Widarpa masih terduduk di atas waturungin tepat di mana jasad sang raja dikubur.
ADVERTISEMENT
Kami mencoba berdiri dan menghampiri Eyang, dan Ia mencoba berdiri sambil menatapku.
“Danan.. Sekarang sudah selesai," ucap Eyang Widarpa padaku.
Tunggu… kali ini eyang memanggilku dengan nama, bukan lagi bocah asu!
“Iya mbah.. kita bisa kembali sekarang,” aku membalas ucapan Eyang Widarpa.
“Tidak… urusanku sudah selesai di alam ini," Lanjut Eyang Widarpa.
“Maksud eyang …. Apa?” Aku tidak mengerti dengan apa yang dikatakan Eyang Widarpa.
“Jasad sang raja sudah ditemukan, kekuatan kedua patih sudah sirna.. sudah tidak ada lagi yang bisa membangkitkan kutukan Gending alas mayit, Nyai Suratmi juga sudah tenang di alam sana… aku sudah tidak ada urusan lagi di alam ini,” Jelas Eyang Widarpa pada kami.
“Berarti saat ini eyang sudah tenang?” Cahyo mencoba memperjelas maksud Eyang Widarpa.
ADVERTISEMENT
Eyang hanya mengangguk, sebenarnya aku cukup sedih walaupun eyang kadang kasar dan tak terkendali, tapi ia sudah menyelamatkanku berkali-kali.
“Danan mengerti Eyang.. rasa terima kasih Danan ga akan cukup, tapi saat tau eyang sudah bisa pergi.. Danan ikut senang,” ucapku pada Eyang Widarpa
Sebuah kekuatan besar akan sirna dariku , entah nanti apa aku sanggup saat menghadapi musuh seperti Andaka maupun Brakaraswana.
“Simpan lagi keris ragasukma ke dalam sukmamu… lafalkan mantra leluhur itu itu saat kamu dalam bahaya,” Eyang Widapa memberikan keris ragasukma kembali padaku.
“Apa Eyang Widarpa akan datang saat aku membaca mantra itu?” Tanyaku
Ia hanya menggeleng.
“Keris Ragasukma itu adalah hadiah sang raja saat aku menyelamatkanya keluar dari kerajaan, dan mantra itu kubuat untuk melindungi keturunanku," jelas Eyang Widarpa.
ADVERTISEMENT
“Saat kamu membaca mantra itu dengan keris raga sukma di genggamanmun, leluhurmu yang lain akan datang membantu,”
Sepertinya aku mengerti dengan yang dimaksud Eyang Widarpa, namun aku khawatir … makhluk apa yang akan datang saat aku menggunakan mantra itu lagi.
Eyang Widarpa menoleh ke arah Pak Sardi.
“Jaga desa Windualit, jadilah kepala desa dan gunakan api geni baraloka untuk membersihkan seluruh hutan ini,” Pesan Eyang kepada Pak Sardi.
“Sampaikan salamku pada Pakdemu…. “ Eyang berpaling dan berjalan meninggalkan kami, rohnya menghilang bersama rintikan hujan yang mulai reda.
Pagi mulai datang, kami kembali ke desa, terlihat Sekar masih sibuk mengurus warga desa yang terluka tapi sepertinya cukup banyak warga desa yang sudah sehat dan ikut membantu.
ADVERTISEMENT
Kami memutuskan tinggal beberapa hari sambil sedikit membantu memulihkan kondisi desa setelah hilangnya kutukan gending alas mayit. Di sisa waktu kami di sana, kami saling bertukar ilmu dengan Pak Sardi dan menikmati keindahan alam di desa Windualit yang sebelumnya tertutup oleh kutukan.
“Mas Danan, Mas Cahyo.. yakin udah mau pulang? Tinggal disini lebih lama juga ga masalah kok,” ucap Pak Sardi saat kami bersiap untuk kembali.
“Tuh Cahyo.. mau tinggal di sini ga? Tar kangen lagi sama Sekar” ujarku sambil meledek Cahyo.
“Enak aja… kalo kangen kan tinggal main ke sini lagi, iya kan Sekar?” ucap Cahyo sambil melirik ke arah Sekar.
“Iya.. mas Cahyo bisa ke sini kapan aja kok, langsung ngajak orangtua juga ga papa,” Sekar menjawab ucapan Cahyo dengan tersipu malu.
ADVERTISEMENT
Aku tertawa kecil, tapi rupanya tidak dengan Cahyo.. iya termenung saat Sekar berkata mengenai orang tua Cahyo.
“Heh… lampu ijo tuh!" aku menepuk bahu Cahyo menyadarkanya dari lamunanya.
“Eh.. iya, ya udah… kami ijin pamit ya, Sekar jaga baik-baik kedua orangtuamu ya,” ucap Cahyo pada Sekar dan segera kami meninggalkan desa Windualit, desa terpencil di kaki gunung Merapi yang menyimpan banyak misteri.
-Kutukan Selesai-
Selamat ya buat kalian dan desa Windualit, kalian memang orang-orang hebat!. Oke.. karena sudah tiga cerita kita bacain, saatnya kita pamit, selamat beristirahat, radio tengah malam undur diri…”
“Oke bungkus!” teriak Dika dari luar ruangan.
Secangkir kopi sudah disiapkan oleh Dika di ruang tunggu .
ADVERTISEMENT
“Lu emang partner terbaik Dik, hujan-hujan gini emang paling enak ngopi,” ucapku pada Dika yang hanya dibalas dengan jempol di tanganya.
Aku menyeruput kopi buatan Dika dan merebahkan tubuhku di sofa. Namun aku merasa ada yang aneh. Sayup-sayup terdengar suara gamelan mengalun di ruangan ini.
“Dik.. Dika! Kamu denger itu ga?” ucapku pada Dika
“Denger apaan? Gw masih ngebuat playlist nih," jawab Dika dengan santai.
“I… Itu… ada suara gamelan," Aku menghampiri Dika dan membuka headsetnya.
Ia berdiri menghampiri jendela dan menajamkan telinganya.
“Oooh… itu di komplek sebelah lagi ada hajatan, katanya nanggep wayang kulit.. kita juga diundang kok, tuh undanganya,”
Ucap Dika sambil menunjukan undangan yang tergeletak di meja.
ADVERTISEMENT
“Owalah, gua kira itu kutukan masih nyangkut di kita," lanjutku yang segera melanjutkan menyeruput kopi sekali lagi.
Setelahnya kami hanya sibuk dengan kesibukan masing-masing sebelum bersiap untuk pulang.
Namun tak seperti biasanya suara pintu diketuk dengan lambat…
“Dik ada yang ketok pintu?" tanyaku pada Dika.
“Iya kayaknya… lu bukain dulu dah, gua dikit lagi selesai," perintah Dika padaku.
“Wokey.. lu kelarin aja dulu,” aku segera berdiri dari sofa dan mencoba mendekati pintu. Namun lampu tiba-tiba berkedip dengan tidak wajar dan angin dingin berhembus di leherku.
“… Jangan dibuka… “ Suara berbisik terdengar dari belakang punggungku.
Aku tidak menghiraukan, namun kedipan lampu menjadi semakin cepat dan mengerikan. Saat langkah kakiku mendekat menuju pintu, muncul sesosok makhluk pria seumuranku dengan wajah yang hancur..Itu hantu Nandar, seharusnya ia tidak akan muncul bila aku tidak menyalakan korek dari paklek…
ADVERTISEMENT
Aku heran dengan apa yang terjadi, Hantu Nandar hanya menatapku dan kali ini berbicara dengan berteriak di hadapan wajahku
“ JANGAN DIBUKA!!!”
-Tamat-