Kamar 13 (Part 5)

Dukun Millenial
INGAT!! Di dunia ini kita tidak pernah sendirian....
Konten dari Pengguna
25 Mei 2020 23:36 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dukun Millenial tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kamar menyeramkan, dok: pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kamar menyeramkan, dok: pixabay
ADVERTISEMENT
Maafkan aku pak buk, anak sangat sayang padamu.
Isi surat ini sungguh kejam, air mataku menetes membasahi pipiku.
ADVERTISEMENT
"Anisa, kenapa kamu menangis?," suara Jenny mengagetkanku langsung ku sembunyikan surat itu ke bawah kolong meja.
"Engga Jen, aku tadi tersandung, rasanya perih makanya aku menangis," jawabku berbohong.
Tidak lama dari Jenny datang, Olive datang membawa makanan yang sudah dibungkuskan untukku.
"Kamu makan dulu nih," ucap Olive sembari menyodorkan makanan yang dibawanya. "Kenapa dia menangis Jen?, kamu marahin ya?," tanya Olive kepada Jenny dengan muka polos tanpa dosa.
"Engga kok Liv, aku merasa sedikit perih saja makanya aku menangis," jawabku menghentikan obrolan mereka sebelum terjadi perdebatan.
Setelah makan, Olive dan Jenny pamitan untuk kembali ke kamar karena besok pagi kita bekerja jadi harus tidur yang cukup. Setelah kamarku sepi, aku naik ke kasur dan mulai menyatukan satu per satu clue yang aku dapatkan.
ADVERTISEMENT
Apakah mungkin, kasus ini adalah balas dendam sakit hati dari wanita yang menulis surat ini hingga iya membunuh Maria?, atau dia yang sebenarnya dibunuh?. Seketika kepalaku mulai berat dan terasa pusing. Kurasakan kembali reka ulang kejadian 2 tahun silam.
"Tolongg!," [bleeebek bleebekk]
"Tolong!,"
"Ahhhh, tolong!,"
Kemudian aku merasa takut dan kuberanikan diriku kedalam kamar mandi, kemudian aku ditusuk.
Dari yang kudapat, tangan yang menenggelamkan Maria tangannya tidak bisa kutebak, tanganya tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil seperti tangan wanita. Dan kenapa ketika aku masuk kekamar mandi dia tiba - tiba menusukku?.
"Tunggu dulu, aku ditusuk. Apakah aku meninggal?,"
Kalau aku meninggal berarti tanggapan orang selama ini salah tentang wanita itu. Dia tidak bunuh diri, melainkan dibunuh.
ADVERTISEMENT
"Ah, entahlah pikiranku sangat kacau tidak bisa berpikir jernih.
Pokoknya aku harus cari bukti lainnya dari anak kost lama"
Kutanamkan tekad bulat pada diriku, kutarik selimutku sebelum tidur ku awali dengan membaca doa, mudah - mudahan aku menemukan salah satu petunjuk dari Tuhan.
[Cerita ini diadaptasi dari Twitter/deffrysrc]
"Hiks, hiks,"
"Maa.. ma.. ma,"
Suara terisak - isak kulihat, seorang anak menangisi tubuh kembarannya yang sudah pucat dan kaku. Ibu Cita datang menghampiri Mario yang sedang menangis. Tak tahu lagi bagaimana perasaan seorang ibu melihat putrinya meninggal.
"Dasar wanita jahanam," Kata bu Cita kepadaku. Aku tidak bisa memberikan pembelaan karena diruangan ini hanya ada aku dan Mario berserta mayat Maria. Tidak ada lagi orang yang dapat dituduh, tuduhan penuh kepadaku.
ADVERTISEMENT
[Paaaaarrr]
"Astaga" Suara tamparan itu membangunku, kulihat jam yang menempel di dinding sudah pukul 03.30 sebentar lagi adzan subuh.
Ilustrasi kekerasan terhadap perempuan, dok: pixabay
Sedari Adzan subuh aku tidak bisa tertidur lagi, karena kakiku yang tersandung masih sakit. Aku memutuskan untuk izin sakit di grup kantor.
Pagi pagi sudah kulihat bu Cita sedang memasak di dapur. "Mungkin ini kesempatan buat cari informasi," pikirku sambil berjalan ke dapur.
"Pagi bu Cita," sapaku padanya yang sibuk memasak.
"Eh, Anisa kok sudah bangun?," tanya bu Cita.
"Iya nih bu, habis sholat," jawabku mendekat.
"Wih masak apa nih bu?," tanyaku sok akrab.
"Ini makan buat suami saya, soalnya dia mau berangkat ke luar kota" jelas bu Cita.
ADVERTISEMENT
"Ada siapa bu?," tanya suami bu Cita yang baru keluar dari kamar mandi.
"Ada Anisa pak," jawab bu Cita.
"Selamat pagi pak," sapaku pada suaminya bu Cita.
"Saya baru lihat grup, kamu izin ya?,"
Dia tidak membalas sapaanku malah bertanya tentang pekerjaan, dengan rasa sedikit kesal "Iya pak" kujawab singkat pertanyaannya.
"Kamu sakit apa?," tanyanya lagi.
"kemaren malam saya tersandung batu pak," jawabku pula.
"Oh iya, maaf sebelumnya pak. Kita belum berkenalan sedari awal bertemu, kebetulan saya juga masih baru dikantor bapak," sembari menjulurkan tanganku kehadapannya.
"Pak Ardi," dia meperkenalkan dirinya.
"Anisa pak," ucapku pula memperkenalkan diri.
Ilustrasi berjabat tangan, dok: pixabay
Meskipun aku sudah beberapa tahun tingga di kota ini, tapi masih bisa terbilang baru aku bekerja di kantor pak Ardi, makanya aku tidak terlalu kenal dengan beli. Beda dengan ibu Siva manager yang sangat bawel.
ADVERTISEMENT
"Ayo Nisa makan dulu, kebetulan ibu masak banyak nih," ajak ibu Cita sembari mengambilkan piringku.
Karena tidak enak menolak, maka dengan malu aku duduk disebelah ibu Cita.
"Kamu tidak usah malu, anggap aja rumah sendiri," kata pak Ardi padaku.
"Hehe iya pak," jawabku tersipu malu.
Tingkah pak Ardi begitu baik, tidak mungkin dia mau melakukan hal sebejat itu, membunuh anaknya sendiri.
"Anisa!," lagi - lagi aku kepergok sama bu Cita sedang melamun.
"Baru juga pagi sudah memikirkan beban hidup," ucap bu Cita yang sudah memecah lamunanku.
"Maaa.. maa.. maa!" teriak Mario dari kamar.
"Sebentar ya Mario sudah bangun," sembari meninggalkanku dan pak Ardi.
Karena berdua dengan pak Ardi, aku sungguh meresa canggung sekali, kuberanikan untuk membuka topik pembicaraan.
ADVERTISEMENT
"Mau kunjungan ke kota mana pak?," tanyaku.
"Mau ke kota Merdeka, kebetulan ada konsumen yang sudah lama bekerja sama dengan kantor kita," jawab pak Ardi.
Aku mulai sedikit memikirkan tentang perkataan Jenny, kalau bu Cita butuh uang. Padahal kantor pak Ardi begitu banyak konsumen bahkan sampai ada konsumen yang sudah lama bekerja sama dengan kantor.
"Anisa, tolong ambilkan air dalam ember nak," teriak ibu Cita dari dalam kamar.
"Sebentar bu," sembari meninggalkan pak Ardi aku beranjak ke toilet, ku ambilkan ember dan kuisi air. Sembari berjalan ke kamar kulihat foto keluarga bu Cita dan pak Ardi.
Kulihat ada seseorang yang begitu mirip dengan pak Ardi, apakah itu adiknya pak Ardi?, atau kakaknya yg sudah meninggal?, timbul lagi pertanyaan dikepalaku.
ADVERTISEMENT
"Anisaaaa!"
"Sebentar bu," langsung aku bergegas masuk ke kamar Mario.
Seperti melihat hantu, Mario teriak ketakutan. "Maaa.. ma... ma!," sambil menunjuk ke arahku.
"Sudah Nis, kamu keluar saja. Mario trauma melihat orang baru," kata ibu Cita sambil membawaku keluar dari kamar Mario.
Bersambung...