Misteri 096: Air Mata Ibu (Part 11)

Dukun Millenial
INGAT!! Di dunia ini kita tidak pernah sendirian....
Konten dari Pengguna
25 Februari 2021 19:16 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dukun Millenial tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi ruangan horor, dok: pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi ruangan horor, dok: pixabay
ADVERTISEMENT
“Iya bu, hati-hati bilang ke bapak,” jawabku karena tidak tega mendengar ibu menangis.
ADVERTISEMENT
Sampai sore hampir berakhir, kak Salsa belum juga bangun dari tidurnya, menambah rasa khwatir yang aku rasakan, sementara Nenah dan Silvi tetap ada sambil melakukan aktivitas tugas mereka, di samping kak Salsa.
“Lah Salsa sakit,” ucap Ibu kak Nenah yang baru pulang dari toko.
“Iya Bu,” jawab kak Nenah.
Ibu kak Nenah duduk di sebelah kak Salsa sambil menggelengkan kepalanya “semoga lekas sembuh, kasian inimah,”.
Tidak lama Ibunya kak Nenah mengelapi wajah dan badan kak Salsa perlahan, waktu semakin malam semakin datang, waktu magrib sudah berlalu begitu saja, sementara kak Salsa masih saja tertidur.
Beberapa kali hanya terseyum dari wajah kak Salsa yang aku lihat itu bukan senyuman khasnya.
“Seperti bukan kak Salsa,” ucapku dalam hati, memperhatikan dengan sangat detail. Raut wajahnya apalgi seperti mengkerut “iyah itu bukan kak Salsa” ucapku pelan.
ADVERTISEMENT
Apalagi berkali-kali hanya tersenyum, padahal matanya kak Salsa tetutup, aku semakin khawatir sekali.
[Cerita ini diadaptasi dari Twitter/qwertyping]
Aku masih saja menunggu harap-harap cemas kabar dari Bapak dan Ibu, padahal ini adalah weekday yang setauku, selama sudah hampir dua bulan menikmati jalanan kota tidak pernah selama ini menunggu ibu.
“Sampai mana Bas orang tuamu?,” ucap Silvi dengan khawatir.
“Belum tau Vi, barusan sudah aku chat Ibu tapi belum ada balasan sama sekali,” jawabku.
Kondisi kak Salsa semakin parah, apalagi beberapa kali melihat keringatnya semakin bercucuran lebih dari sebelumnya, bahkan Ibu kak Nenah juga beberapa kali mengelap keringat itu, dan terlihat sangat khawatirnya, sama denganku saat ini.
Tidak lama hp ku bergetar, kemudian berdering ada nomor masuk ke hpku, bahkan Silvi juga melihatnya berbarengan denganku.
ADVERTISEMENT
“Angkat aja Bas, siapa tau penting,” jawab Silvi.
“Halo,” ucapku sambil mengangkat telepon.
“Bas ini mang Yaya, ini amang sama Ibu dan Bapak sudah di jalan sebentar lagi sampai,” aku hanya diam, dan entah kenapa memikirkan sesuatu yang aneh, dan telepon kembali terputus begitu saja.
“Siapa Bas,” tanya Silvi.
Segera aku menarik Silvi untuk ikut denganku mengobrol di luar rumah kak Nenah dan Silvi mengikuti langkahku, duduk di depan rumah kak Nenah.
“Vi, barusan mang Yaya yang telepon katanya dengan Ibu dan Bapak, aku pikir orang yang dikatakan Anton, tentang persekutuan itu mang Yaya, dan di balik semua kejadian itu ulah mang Yaya, tapi kenapa bisa bareng dengan Ibu dan Bapak yah,” ucapku.
ADVERTISEMENT
“Iya Bas, tidak tau aku kalau begitu, tapi semoga bukan mang Yaya benar. Mungkin ada hal-hal lainya bas,” jawab Silvi dengan tenang.
Ilustrasi menelpon, dok: pixabay
Bahkan ingatanku melihat mang Yaya yang pernah keluar dari rumah sebelah no. 096 itu, tidak pernah aku katakan kepada Silvi, hanya aku simpan baik-baik saja.
“Iya semoga aja tuduhanku salah Vi,” ucapku.
Tidak lama benar saja ada mobil yang aku kenal berhenti di depan rumah kak Nenah, kemudian Ibu, Bapak dan Mang Yaya keluar dengan tergesa-gesa.
“Gimana kakak kamu Bas?,” tanya Bapak.
Aku jelaskan keadaan kak Salsa, sementara Ibu, mang Yaya dan Silvi ke dalam rumah, aku yang belum menjawab petanyaan Bapak melihat dari luar, langsung saja mang Yaya mengobati kak Salsa, sama sebelumnya yang pernah aku lihat ketika kejadian malam kemarin di rumah, dan masih dengan jari tangan kananya yang masih dibungkus bekas luka yang sebelumnya aku ketahui.
ADVERTISEMENT
Terlihat Ibu duduk di sebelah Ibunya kak Nenah, Silvi dan kak Nenah di sebelah lainya dekat badan kak Salsa. Tiba-tiba tedengar erangan suara kencang dari kak Salsa yang seperti menahan sakit yang sangat-sangat menyakitkan, kemudian disusul dengan suara ketawa kencang perempuan yang baru pertama aku dengar.
“Bas, sudah duduk dulu di sini Bapak mau bicara,” ucap Bapak.
“Iya pak,” jawabku.
“Apa yang bapak sebelumnya khawatirkan terjadi, ternyata tidak sampai satu tahun, hanya dua bulan saja, benar,” jawab Bapak sambil melihatku.
“Pak, apapun itu, kesembuhan kak Salsa lebih penting, Bastian jujur sudah tidak peduli apa masa lalu yang terjadi, niatnya kan Bastian hanya ingin kuliah, tidak ingin kejadianya seperti ini,” jawabku dengan sedikit tegas.
ADVERTISEMENT
“Benar, tapi Bas, nanti Ibu sendiri yang akan jelaskan kepada kamu,” jawab Bapak seperti menahan apapun yang ingin Bapak sampaikan, dan kemudian mengelus-ngelus kepalaku.
Segera aku ke dalam sementara Bapak tetap menunggu di luar, di dalam aku tidak tau dan sedikit lega kak Salsa sudah dalam keadaan terbangun, sementara matanya masih melihat dengan tatapan kosong.
“Gimana kondisi kak Salsa mang?,” tanyaku.
“Beginilah Bas… sulit,” ucap mang Yaya.
Tidak tau kenapa ibu tiba-tiba pamit pada ibu kak Nenah dan berterimakasih, kemudian mang Yaya mengakat kak Salsa yang masih belum sadar, aku masih dibuat heran dengan kondisi ini, atau mungkin tidak enak dengan segala yang terjadi karena tidak mau merepotkan Ibunya kak Nenah.
ADVERTISEMENT
Segera aku membawa tas kak Salsa, dan mengantarkanya ke dalam mobil. Ibu belum bicara apapun raut wajahnya hanya kosong dan kecemasan yang aku lihat.
“Kemana ini Bu?,” tanyaku
“Balik ke rumah saja Bas,” ucap Ibu dengan sangat pelan.
Mang Yaya hanya mengangguk kemudian bapak menyuruhku menyusul dan aku setuju, kemudian aku kembali masuk ke dalam rumah dan pamitan kepada Ibu kak Nenah, kak Nenah dan Silvi.
Aku diantarkan ke depan oleh Silvi yang sangat khawatir dengan keadaanku
“Bas itu kak Salsa kosong, yang di dalam adalah perempuan yang sebelumnya kamu ceritakan dan kak Salsa liat, hati-hati yah Bas, kabarin aku sebisa mungkin,” ucap Silvi sambil terlihat menahan air mata.
“Pasti Vi, makasih yah Vi, aku pulang dulu, pasti aku kabarin,” jawabku, segera meninggalkan rumah kak Salsa dengan mengendarai si kukut.
ADVERTISEMENT
Sepanjang perjalanan aku dilema dengan pikiranku sendiri, di sisi lain aku sama sekali tak tahu apa yang sebenarnya terjadi dan kenapa sampai seperti ini, di sisi lain aku sangat khawatir dengan kak Salsa dan di sisi lainya juga penasaran dengan rumah nomor 096 itu juga kepada mang Yaya.
Pikiran yang semakin liar ini, terus menemaniku melewati jalalan kota ini, memikirkan kesalahan tidak akan pernah menjadi kebaikan dan memikirkan kebaikan selamanya hanya pikiran saja, tanpa perlakuan memperbaiki kesalahan itu.
Tidak lama sebelum sampai di rumah, kembali aku berhenti di depan gerbang rumah nomor 096 ini aku perhatikan baik-baik, memang kesan di malam hari sangat berbeda jauh lebih menyeramkan walau perasaan itu mungkin pikiranku sendiri yang membuat.
ADVERTISEMENT
Kurang dari 2 menit segera aku menyalakan si kukut kembali, dan masuk ke dalam halaman rumah, benar saja mobil Bapak sudah berada di halaman rumah.
Aku tidak melihat orang di depan rumah, segera aku masuk dan terlihat kak Salsa terbaring dengan mata yang masih terbuka sayu, dan tidak bicara apapun.
“Sudah ya… Salsa, malam ini juga mau dibawa pulang saja,” jawab Ibu dengan nada pelan.
Mang Yaya masih saja mencoba segala cara, seperti apa yang aku lihat sekarang, bapak lebih banyak diam dan mentap kak Salsa terus menerus.
Ilustrasi gerbang rumah, dok: pixabay
“Bas, sini ikut ibu,” ucap Ibu sambil berjalan pelan ke belakang rumah
Ibu langsung duduk di halaman belakang rumah, setelah membuka kunci pintu dapur dan menatap kosong ke arah gerbang pemisah rumah, dengan rumah sebelah.
ADVERTISEMENT
“Kenapa Ibu mengajak aku kesini dan menatap ke arah pintu itu?,” tanyaku duduk di sebelah Ibu.
“Kamu tau ketika Ibu ke sini tidak duduk di sinikan?,” jawab Ibu perlahan.
Aku hanya mengangguk dan membenarkan apa yang dikatakan Ibu, karena ketika mengantarkanku ke sini, Ibu memang tidak sama sekali ke halaman belakang.
“13 tahun yang lalu, ketika usia kamu 3 tahun dan tahun itu di mana Nenek meninggal tidak wajar, semua kenangan di halaman belakang ini memori ibu begitu sakit, ingatan Ibu terluka dan perasaan Ibu hancur," ucap Ibu sangat pelan, ketika aku lihat air matanya keluar begitu saja.
Bersambung...