Misteri Vila Gong Menthik: Derap Langkah (Part 2)

Dukun Millenial
INGAT!! Di dunia ini kita tidak pernah sendirian....
Konten dari Pengguna
12 Oktober 2021 19:22 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dukun Millenial tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi vila horor, dok: pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi vila horor, dok: pixabay
ADVERTISEMENT
Sudah cukup jauh mereka berdua berjalan setelah melewati pintu gerbang. Raul tak melihat batang hidung seorangpun selain deretan pohon-pohon karet yang membentuk siluet.
ADVERTISEMENT
Tak ada juga bebunyian jangkrik dan serangga malam selain deru napas dan bunyi dentuman langkah kakinya sendiri. Benak Raul diliputi keganjilan. Langkah kaki pak Nora menjadi seringan kapas.
Raul menepis semua praduga dan syak wasangkanya. Ia masih berbaik sangka pada lelaki yang berpakaian serba hitam, yang sedang berjalan di depannya.
“Masih lama pak?”
“Tinggal satu belokan menurun.”
Dari dataran yang lebih rendah tampak sebuah bangunan besar. Vila Gong Menthik. Pantas saja bangunan itu tadi tak terlihat, letaknya memang sedikit tersembunyi, menjorok hampir mencium laut.
Lekuk pipi Raul mengembang. Air muka yang tadinya kuyu menjelma cerah, begitu pandangannya menumbuk pada sebuah bangunan besar yang terhampar pada titik di ujung pandangan.
“Jadi kapan acaranya bang?” tanya pak Nora sambil mengusung sepiring gorengan dan kopi panas. Ia berdiri di depan pintu belakang, mencegat Raul yang baru saja keluar kamar mandi.
ADVERTISEMENT
“Minggu depan pak. Tapi harinya masih tentatif, lusa kami pastikan lagi. Saya hanya ditugaskan ketua panitia untuk survey lapangan,”
“Kalau sampeyan datangnya pagi sih enak bang, bisa langsung saya antar berkeliling.”
“Iya pak, kemarin mau berangkat, tapi Semarang banjir,” balas Raul sekenanya.
“Kita kelilingnya besok pagi saja, malam ini abang istirahat di vila utama. Kamar yang paling besar sudah saya bersihkan. Sebelumnya... kita ngobrol-ngobrol dulu di depan ya,”
[Cerita ini diadaptasi dari Twitter/Vynto@1nl4nd3r]
Raul dan pak Nora mulai terlibat obrolan ringan. Mereka duduk di salah satu anak tangga di pintu masuk villa utama. Semerbak aroma pasir pantai yang basah oleh air garam, mencecah indra penciumannya. Vila itu memang berbatasan dengan bibir laut utara pulau Jawa.
ADVERTISEMENT
Deburan ombak yang sedang pasang, menepuk gendang telinga Raul, membuaikan kenangan masa kecilnya saat diasuh neneknya di Atambua, NTT.
Sambil menyesap kopi panas dalam cangkirnya yang pahitnya tak ketulungan, pak Nora mulai menyemburkan beberapa keunggulan fasilitas yang sebenarnya telah diketahui Raul. Dari selembar brosur yang diberikan Sinta, teman kantornya sekaligus ketua panitia.
“Adat di sini jika disuguhi kopi harus dihabiskan bang, itu kopi kami giling dan sangrai sendiri. Spesial. Apalah artinya ngudud tapi ndak ngopi. Betul kan bang?” kata pak Nora dingin setengah mencibir. Ia melihat Raul tak menyentuh cangkir kopi yang disajikannya lbh dr 1/2 jam.
Raul terkesiap. Memang ia penikmat kopi, tapi bukan sepahit kopi yang sedang ada di satu tangannya. Kecanggungan dan penghormatan. Di antara dua perangai itu Raul memutuskan merubah cara minumnya. Dengan tahan napas.
ADVERTISEMENT
“Oh, maaf pak. Kopinya enak kok,”
“Ya mesti. Kalau laki-laki sejati itu, kopinya kental dan pahit. Bukan kopi susu,” balasnya datar.
Tak menjawab, Raul meletakkan gelas kopi yang telah tandas itu di depan pak Nora.
Pak Nora melirik dari ekor matanya, mengulum senyum ganjil, dan merasa menang. Raul menjumput sebatang rokok dari pembungkusnya, untuk menetralisisir kekakuan.
Itu kopi gosong, Bukan kopi enak! protesnya dalam hati.
Malam beranjak makin gelap dan dingin. Angin darat yang melepas hawa panas ke laut Utara, menjadikan malam di sekitar vila Gong Menthik semakin membeku.
Meskipun bangunan utama vila tampak bersih, tapi tidak untuk area pekarangan.
Ilustrasi hutan angker, dok: pixabay
Dalam keremangan malam, Raul sempat melakukan pengamatan singkat untuk menilai betapa tak terurusnya taman dan pepohonan di sekitar area vila.
ADVERTISEMENT
Setelah pak Nora pamit untuk beristirahat di rumah pondokan di belakang vila utama, Raul melamun di sofa panjang ruang tamu vila utama.
Ia masih berurusan dengan sebatang rokok yang belum tuntas dihisapnya. Bentuk vila utama itu khas bangunan lama. Ruang tamu depan yang besar dengan dinding penuh jendela-jendela kaca panjang yang tertutup gorden satin berwarna merah muda.
Dua pasang kamar tidur berukuran besar tanpa AC berada di area tengah saling berhadap-hadapan. Di sampingnya, dua kamar mandi dengan wc jongkok menempel pada dinding yang berbatasan dengan dapur dan area servis.
Disitulah, tadi tengkuk Raul berdesir. Sesaat setelah mengantarkan pak Nora pamit untuk kembali ke pondoknya, dari area servis yang setengah terbuka itu, Raul mencium aroma wewangian. Sekilas ia menduga bau itu dari bunga sedap malam.
ADVERTISEMENT
Berada sendirian dalam bangunan sebesar itu menyadarkannya untuk mengubur dalam-dalam semua rasa penasarannya. Ia tak mau mati konyol karena ketakutan.
Ilustrasi ketakutan, dok: pixabay
Raul masih menimbang-nimbang, dalam lamunan. Ia dituntut untuk segera mengambil keputusan. Tidur atau tetap terjaga.
Raul memutuskan untuk menghitung jumlah kambing yang berhasil melompat pagar kayu rendah. Pada hitungan ke sebelas menuju ke dua belas,
Dheg!
Dengan gamblang gendang telinganya ditabuh suara derap langkah kaki yang berjalan serentak. Gelombang suara itu makin lama makin membesar. Ia memperkirakan sumber suara itu dari arah depan. Dan itu berarti sangat dekat dari posisinya sekarang.
Sial! Pekiknya tertahan. Ia tak punya waktu untuk menerka-nerka siapa sejatinya sang pemilik suara. Sekelebatan kilat ia bangkit dan berlari menuju kamar. Tubuh yang tegap itu menghempas di atas ranjang. Ia menutup telinganya rapat-rapat dengan bantal.
ADVERTISEMENT
"Asu!" pekiknya mengutuk apapun suara itu.
Mukadimah teror belum berhenti. Bukan hanya makin kencang, suara derap kaki itu makin lama makin terasa merambat mendekatinya. Pemilik suara itu seolah mengejarnya.
Bersambung...