Misteri Vila Gong Menthik: Harga yang Tak Masuk Akal (Part 1)

Dukun Millenial
INGAT!! Di dunia ini kita tidak pernah sendirian....
Konten dari Pengguna
10 Oktober 2021 20:01 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dukun Millenial tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi vila horor, dok: pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi vila horor, dok: pixabay
ADVERTISEMENT
"Pak, sampeyan yakin ini jalannya?"
Pria bertopi itu cuma terdiam, tangannya masih sibuk mengendalikan putaran kemudi di atas jalan yang tak begitu rata.
ADVERTISEMENT
"Lho, aku juga ndak tahu bang..ini tadi cuma ngikuti google maps," sinyal internet mandeg.
Sopir taksi online di sebelahnya rupanya juga sama dengan dirinya. Buta arah menuju pesisir. Tempat rumah sakit Kusta berada. Di sekitar tempat itu hanya satu provider telekomunikasi saja yang sanggup bekerja, lainnya nihil. Termasuk ponsel mereka berdua.
Tak dapat yang dilakukan selain menerka-nerka arah perjalanan. Laju mobil pun mulai diperlambat.
"Duh, ada apa ini, " tetiba, Nurdin, sopir taksi online itu mengusung kegusaran. Tangan legamnya menarik rem tangan dengan kasar, sesaat setelah roda mobilnya berhenti mendadak.
Lelaki di sebelahnya tertular gusar. Mogok di tengah jalan sempit yang menanjak seperti malam ini bukanlah kabar yang baik bagi mereka berdua. Apalagi di luar, langit sedang deras-derasnya mengucurkan hujan.
ADVERTISEMENT
Beberapa menit berlalu, Nurdin menolehkan kepala ke arah pria yang duduk di sebelahnya. Pandangan matanya mengisyaratkan ketidakpastian.
“Bensin habis bang. Jarum petunjuk di dashboard sepertinya rusak,”
Sepatah kalimat yang sangat menunjukkan kecerobohan pengemudi taksi online itu menjadi kalimat terakhir yang didengar Raul. Alih-alih ia membayar ongkos perjalanan, lelaki yang berniat survey lokasi malam keakraban itu mendengus kencang, dan meninggalkan Nurdin sendirian.
Raul memutuskan menuntun tungkainya menembus derasnya hujan. Nurdin hanya melongo menyaksikan tingkah pengguna jasanya. Ia tak berani menagih ongkos. Maklum, ia hanya sopir joki pengganti sopir yang sebenarnya.
"Bule asu!"
Jalanan menanjak itu sebenarnya ujungnya tak panjang. Dari sudut matanya yang memicing, Raul dapat melihat beberapa sorot lampu penerangan. Meskipun tak terlihat gamblang karena terhalang limpahan air hujan, ia yakin berkas terang itu berasal dari kampung Karet Jajar.
ADVERTISEMENT
[Cerita ini diadaptasi dari Twitter/Vynto@1nl4nd3r]
Seratus meter di balik kampung Karet Jajar, setelah jembatan beton yang mengangkangi sungai kecil, di situlah letak Rumah Sakit Kusta. Di samping RS Kusta, itulah titik tujuan Raul.
Dengan setengah berlari sambil merendahkan punggung untuk melindungi tas tentengnya ia mengedarkan pandangan ke sekeliling. Deretan pohon karet yang tinggi menjulang di kedua seberang jalan makin membuncahkan hawa mencekam.
Jika saja tak ada uang tunjangan survey, Raul tak sudi bersusah payah kedinginan seperti sekarang. Pada sebuah persimpangan setelah pohon asam besar, kedua mata Raul memicing untuk lebih jelas membaca papan petunjuk di pinggir jalan.
Tulisan samar pada tiang kayu yang miring itu seakan memastikan bahwa ia tak salah jalan. Derap langkah yang semula terburu-buru itu terhenti tepat di depan bangunan kecil yang beratap seng seadanya. Kendati tanpa penerangan yang cukup Raul yakin itu adalah pos jaga.
ADVERTISEMENT
Tanpa permisi, kakinya yang menggigil itu dijejakkan masuk kedalam. Sebenarnya Raul bisa saja masuk menerabas pintu gerbang geser yang menghadang jalan. Tapi demi adat kesopanan ia memutuskan untuk menyapa sang penjaga keamanan.
Ilustrasi hujan, dok: pixabay
Pos jaga itu sepi. Tak ada orang.
“Malam..”
“Pak Nora ..Misiiii.”
Geliat gelisah terasa dari gestur tubuh Raul yang gemetar karena didera dingin air hujan. Pohon-pohon karet tinggi menjulang yang berderet di balik pos jaga itu dirasakan Raul seolah mengintipnya dengan tatapan curiga.
Meski hujan mulai reda, nuansa kelam area Vila Gong Menthik ini masih memberkaskan bongkahan kengerian.
Cukup lama Raul menyandarkan bahunya pada dinding kayu pos jaga. Sampai suatu ketika dari arah ia berjalan, telinganya menangkap suara langkah kaki yang menabuh jalan.
ADVERTISEMENT
Raul tampak sedikit lega.
“Akhirnya datang juga,” lelaki berpayung itu menyambut uluran tangan Raul.
“Iya pak, saya Raul yang tempo hari telepon. Maaf baru datang,” balas Raul sedikit kikuk. Kedatangannya memang terlambat sehari dari jadwal yang seharusnya.
Raul menyalahkan bendahara kegiatan, yang baru tadi siang memberinya ongkos jalan.
“Oh begitu, ya ndak papa. Vila utama sudah saya bersihkan tadi siang. Kapan pun datang, kami sudah siap,”
“Kami?” tanya Raul dengan menggigil. Kedua telapak tangannya ditangkupkan di wajah.
“Eh maaf, bukan kami, tapi saya. Saya sudah siap,”
“Ayo kita masuk, kasian sampeyan basah begitu. Nanti masuk angin. Kita sudah ditunggu,”
Ilustrasia kehujanan, dok: pixabay
Akhir kalimat yang sedikit membuat Raul bertanya-tanya.
Siapa yang sedang menunggu kedatangannya? Raul memutuskan untuk tak menggubris keheranannya. Baginya lebih penting untuk segera menghangatkan bijinya yang sudah mengkerut, demi anak keturunannya.
ADVERTISEMENT
Posisi villa utama tidak begitu jauh ditempuh dengan berjalan kaki. Jalan tanah keras yang basah itu cukup bersahabat dengan sepatu gunungnya. Raul mengekor langkah Pak Nora, pria paruh baya penjaga villa, sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling.
Gelap, cahaya bulan menjadi satu-satunya alat penerangan. Vila macacm apa ini? Pantas harga sewanya murah, Raul membatin dengan gamang.
Kantornya memang tak punya pilihan. Vila Gong Menthik di pesisir pantai utara adalah pilihan logis di bawah anggaran dari beberapa pilihan yang lain. Itulah konsekuensi dari menurunnya omset perusahaan tempat ia bekerja.
Raul, dan teman-temannya dari perusahaan biro iklan swasta di Semarang punya hajat. Malam keakraban sekaligus rapat tahunan yang rutin diadakan di bulan Desember. Karena target tahunan tak tercapai, mereka bersepakat untuk berhemat.
ADVERTISEMENT
Vila Gong Menthik, tiga puluh kilometer dari pusat kota Jepara menawarkan diskon yang tak dapat ditolak. Tempat itu menjanjikan fasilitas yang setara dengan vila ternama di daerah pegunungan. dengan harga setengahnya, tentu saja.
Bersambung...