Misteri Vila Gong Menthik: Kinasih (Part 4)

Dukun Millenial
INGAT!! Di dunia ini kita tidak pernah sendirian....
Konten dari Pengguna
14 Oktober 2021 20:47 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dukun Millenial tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi vila horor, dok: pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi vila horor, dok: pixabay
ADVERTISEMENT
Raul bukan tipe orang yang melanggar janji. Pak Nora membawanya melihat-lihat bangunan tiga Vila Gong Menthik. Vila utama yang menghadap utara, dan dua vila yang lebih kecil di sisi selatan dan timur.
ADVERTISEMENT
Semua eksterior dan interior vila tampak cukup bersih. Fasilitas air bersih, pemanas air, dan tempat outdoor untuk berkumpul pun cukup memadai.
“Pekarangan di area vila utama nanti akan dirapikan bang. Saya lagi nunggu tukang bersih-bersih datang. Minggu ini pasti sudah bersih. Maklum saya hanya tinggal berdua dengan anak gadis saya. Membersihkan tempat sebesar ini saya tentu tak sanggup,”
Anak gadis? Batin Raul mendadak bergejolak.
“Oh bapak tinggal berdua?”
“Lha kamu pikir saya bisa masak?”
“Kalau masih ada waktu nanti saya kenalkan,”
Benak Raul mendadak terguncang, di satu sisi jiwa jomblonya bergelora. Di sisi lain endapan kengerian yang belum sepenuhnya hilang, masih membayangi pikirannya. Tak dapat terbayangkan jika ia harus menunda jadwal kepulangan.
ADVERTISEMENT
Ia meremehkan ucapan pak Nora. Anak gadis di pesisir utara, palingan berwajah standar. Aku harus cepat pulang! Raul membulatkan tekad untuk segera pulang.
“Boleh pak,”
Kata penolakan halus yang telah direncanakan mendadak menjelma rasa penasaran. Dasar otak mesum! Raul menyumpahi dirinya sendiri.
“Kinasih.”
“Sa..ya..Ra..ul,” tangan pria itu bergetar menyambut uluran gadis anak kandung pak Nora.
[Cerita ini diadaptasi dari Twitter/Vynto@1nl4nd3r]
Mulutnya yang dihiasi kumis tipis sedikit membundar. Raul terperangah. Ia meralat perkiraannya pada sosok anak pak Nora. Tak dinyana tak dikira, paras Kinasih sangat cantik.
Kinasih tersenyum geli, kedua matanya hitam, sehitam rambut yang tergerai panjang menyentuh pinggang. Kulitnya halus terang seakan berpendar. Cuping hidung yang bangir menusuk langit, bertengger di atas bibir merah ranum yang tak tersapu gincu.
ADVERTISEMENT
“Silakan diminum kopinya bang..saya seduh khusus untuk abang,” kata Kinasih lembut.
Pak Nora seolah mafhum menyaksikan adegan itu. Sebagai orang tua yang bijak, ia tahu diri.
Setelah tugasnya selesai untuk mengenalkan anaknya pada Raul, ia berdehem lalu pamit untuk menyapu halaman.
Nyapunya yang lama pak! Bisik raul dalam hati.
Raul berusaha menciptakan suasana yang paling wajar. Mereka duduk berhadapan di atas sofa ruang depan.
Secangkir kopi dan kudapan kering tersaji di antara dua insan yang dilanda kekikukan.
Raul segera menyesap kopi yang diseduh Kinasih. Entah apakah karena ia meminumnya sambil lekat memandang senyuman Kinasih, kopi yang sangat pahit itu tetiba terasa manis. Bahkan sangat manis.
Kopi hitam, dok: pixabay
Tak sadar, Raul dan Kinasih telah berjam-jam dalam obrolan. Kinasih tampak sangat tangkas menimpali obrolan Raul. Hari itu Raul bak menemukan harta karun. Gadis cantik pesisir pantai utara Jepara yang bernama Kinasih.
ADVERTISEMENT
“Eh, maaf dik, rokokku habis. Warung rokok terdekat di mana ya?”
“Dekat bang, itu abang turun ke pantai sebelah barat. Sekitar tiga puluh meter. Di sana ada tiga atau empat warung kecil,”
“Oh pantai di samping rumah sakit ya?”
“Betul, kalau mau beli sekarang saja, keburu turun hujan,”
Tak menunda waktu Raul beranjak mengikuti petunjuk arah Kinasih. Ia telah melupakan niatnya untuk segera kembali ke Semarang.
Tadi, ia telah membuat perjanjian dengan gadis itu. Kinasih meminta Raul untuk menunda niatnya pulang, karena besok adalah hari ulang tahunnya. Kinasih hendak membuat perayaan. Dan ia mengundang Raul, satu-satunya tamu yang diundang.
Entah apa yang merasuki benak Raul, ia melihat peluang yang tak sanggup dilewatkan. Kaos oblong Kinasih yang berbelahan dada rendah itu benar-benar telah mengoyak selubung nalarnya. Itulah undangan yang sebenar-benarnya, gumam Raul dengan mengembangkan senyum mesumnya.
Ilustrasi gadis desa, dok: pixabay
Warung dengan atap merah. Warung kecil dari dinding bambu itu tak sulit untuk ditemukan. Setelah melangkah turun menjauhi vila ke arah barat, beberapa warung dengan spanduk vynil partai terlihat dari kejauhan.
ADVERTISEMENT
“Jisamsu blek” ucap Raul membuyarkan lamunan wanita separuh baya yang sebagian rambutnya telah memutih.
“Oh, ada. Mau berapa bungkus?”
“Dua bu.”
Wanita berdaster batik yang masih menyisakan guratan kecantikan masa muda itu dengan sigap bangkit dari duduknya di bangku panjang untuk meraih rokok dari etalase kaca.
“Pendatang atau wisatawan?” tanya wanita itu sambil menekan telunjuknya pada papan kalkulator.
“Oh, saya tamu villa Gong Menthik bu.” jawab Raul membalas basa-basi.
Wanita itu mendadak bergeming sesaat. Dengan wajah tegang ia memasukkan dua bungkus rokok pesanan Raul dalam tas kresek transparan.
“Tiga puluh ribu. Saya tak menyediakan kembalian,”
Raul mengendus gelagat ketidakberesan. Rona wajah wanita itu mendadak tidak bersahabat.
Ketika tangan kanannya terulur, ia terdiam. Matanya nyalang mengamati Raul. Perangai tak sopan itu sungguh ganjil. Raul pun sedikit gusar.
ADVERTISEMENT
“Ada yang aneh bu?”
Tak menjawab, wanita itu mencengkeram pergelangan tangan Raul. “Hati-hati, lelaki keturunan sepertimu seharusnya tak menginap di tempat itu,”
“Hah?”
Jantung Raul berdegup, sekilas ia mencium prasangka yang mengada-ada. Tapi entah, ia seolah mengamini perkataan wanita itu. Teror hantu prajurit semalam mendadak melintas di pikiran Raul. Ia menduga wanita itu menyimpan rahasia hantu Vila Gong Menthik.
Bersambung...