Misteri Vila Gong Menthik: Sebuah Ritual (Part 6)

Dukun Millenial
INGAT!! Di dunia ini kita tidak pernah sendirian....
Konten dari Pengguna
21 Oktober 2021 17:40 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dukun Millenial tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi vila horor, dok: pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi vila horor, dok: pixabay
ADVERTISEMENT
Wanita paruh baya berdaster batik duduk menyandar pada dinding kayu yang penuh dengan kaligrafi hitam putih. Tertata rapi dalam bingkai kayu beragam ukuran. Di luar gerimis mulai membasahi.
ADVERTISEMENT
Tangannya beberapa kali menepuk lutut, menyelaraskan ritme ketukan kendang dangdut dari radio tuanya. Jari itu berhenti begitu telinganya menyesap suara langkah kaki yang tergesa.
“Sudah kuduga kau masih di nginap di vila itu,”
“Maaf?” tanya Raul dengan menautkan alis tebalnya.
Wanita separuh baya penjaga warung rokok itu masih sama dengan sebelumnya. Memasang wajah kaku tak bersahabat pada pelanggannya. Di lain pihak, nalar Raul masih belum dapat mencerna perkataan dan perangai tak sopan dari wanita itu.
“Aku, Purwasih yang kamu anggap remeh ini, telah mengirim pesan. Tapi tak kau indahkan. Jangan sampai kau menyesali keputusan bodohmu,” katanya acuh tak acuh seraya bangkit dari duduknya. "Dua bungkus rokok yang sama?"
Raul mengangguk lalu tepekur. Sebelum Raul bertanya, wanita itu menatap tajam mata Raul dengan mendesis. “Tiga tahun lamanya ia menunggu..tiga tahun itu waktu yang sangat panjang! Sekarang ia sudah menang!”
ADVERTISEMENT
“Maksud ibu?” Raul mencoba bertahan pada kesopanan. Meski dada sesak menahan kegusaran.
“Tak percuma warga Kampung Karetjajar menjuluki aku sang linuwih. Apakah kau tak melihat jari-jari kakimu?” ucapnya sambil menuding ke arah kaki Raul.
Dheg.
Raul tersentak. Tangannya menyinggung toples kaca kacang kulit. “Ada apa denganku! Kenapa baru sekarang kau sampaikan hal itu padaku?” begitu ia tersadar bahwa jari-jari kakinya tampak membiru.
Wanita itu membisu
[Cerita ini diadaptasi dari Twitter/Vynto@1nl4nd3r]
“Kau sebenarnya telah mengetahuinya, sejak dari pertama kau menginjakkan kaki pada tempat terkutuk itu. Kenapa baru sekarang kau tanyakan hal itu padaku?”
“Jelaskan agar aku mengerti!” Raul mendaratkan pantatnya di ujung kursi panjang.
Menatap tajam dengan berdebar. Jari-jari kakinya yang membiru menuntut penjelasan.
ADVERTISEMENT
“Sekali lagi anak muda. Semuanya telah telat. Atas nama keselamatan, siapapun tak dapat lagi menolongmu. Yang jelas tugas pertamaku sudah selesai,”
“Apapula itu. Tugas apa?” Raul makin linglung.
“Tugas untuk memperingatkanmu. Sekali lagi semua sudah T-E-L-A-T, alias terlambat,”
Raul menahan kata. Hanya geliginya yang saling berkertak. Ia menyahut rokoknya dari tangan wanita itu dengan kasar. Raul pun pergi tanpa mengharapkan uang kembalian.
Empat langkah dari ambang pintu warung ia membalik punggung. Menuding hidung perempuan itu dengan rahang menegang.
“Orang gila!”
Purwasih. Sekilas seperti perempuan paruh baya kebanyakan. Kecuali untuk satu hal: mata batinnya. Di wilayah sekitar kampung Karetjajar, namanya kondang sebagai jujugan orang-orang pencari pertolongan. Dalam perkara gaib tentu saja.
ADVERTISEMENT
Seperti sebagian besar warga kampung Karetjajar, ia juga pendatang. Tiga tahun berselang setelah rumah sakit kusta didirikan pemerintah, datang penawaran pada nelayan pra sejahtera pesisir pantai utara, untuk mendirikan perkampungan di sekitar kebun karet.
Berbondong- bondonglah mereka untuk sebuah alasan sederhana. Lahan cuma-cuma.
Purwasih mewarisi ilmu linuwih dari trah mendiang ayahnya. Konon sang ayah, adalah tukang suwuk kondang dengan kesaktian beraneka rupa. Nelayan pesisir pantai utara menjadikannya tetua.
Ilustrasi pantai, dok: pixabay
Dibesarkan dalam lingkungan klenik ternyata membawa kesengsaraan hidupnya. Orangtuanya terbunuh secara misterius saat dirinya masih gadis. Untung saja ia dapat diselamatkan oleh pemuda murid ayahnya yang kelak menjadi suaminya.
Purwasih melepas kepergian Raul yang tergesa itu dengan menggurat tatapan hampa. Gelengan dan tarikan napas beratnya menampakkan kepasrahan.
ADVERTISEMENT
“Kasihan...”
Jari-jari kakinya itu memang benar telah membiru. Bahkan, larik-larik uratnya pun tampak menghitam. Raul menelan ludah ketika ia menyentuh betis kekarnya yang lambat laut terasa dingin.
“Ada apa denganku?” batinnya kelu.
Sore hampir tertelan kegelapan.
Raul tak sabar untuk melakukan penyelidikan. Di dalam benaknya, Pak Nora jelas tersangka utama. Ia tak peduli lagi desakan nafsunya pada Kinasih. Jika pak Nora pelakunya, tentu ia punya penawarnya. Begitu kira-kira Raul berhipotesa.
Bangunan berdinding tembok dengan dua bilik kamar itu masih lengang dan remang-remang seperti biasanya. Tak tampak ada tanda kehidupan. Mata biru Raul mengintip dari celah retakan sempit pada jendela kayu bilik kamar tidur Pak Nora. Ujung kakinya menumpu pada bongkah batu besar.
ADVERTISEMENT
Sosok tersangka utama berada pada poros kamar dengan duduk bersila.
Dengan jantung berdebaran, mata Raul menyipit untuk melakukan pengamatan dalam keremangan. Tak ada sosok Kinasih di sana.
Hanya pak Nora yang bersila dengan menghadap sosok berselubung kain hitam yang terbaring di depannya. Sosok itu tampak diam membeku. Mayatkah itu? Tanya batin Raul ketakutan.
Tenggorokan Raul tersumbat kengerian. Pemandangan yang ganjil itu adalah pembenaran sangkaannya.
Jubah hitam, dok: pixabay
Meski tertutup kain hitam, Raul telah berkesimpulan bahwa sosok itu adalah manusia. Manusia diam tak bergerak adalah manusia yang telah mati. Pak Nora adalah tersangka. Tersangka pembunuhan.
Kinasih! Mayat Kinasih kah itu? Pak Nora membunuh anaknya sendiri!
Raul mengatur napas sambil berniat mengakhiri penyelidikan. Pada tarikan napas keempat di antara gerimis, telinganya mendengar bunyi ranting patah tak jauh di belakangnya. Ia mencium aura ketidak beresan.
ADVERTISEMENT
Tak salah lagi, memang benar dugaan Raul. Ranting itu tidak patah dengan sendirinya. Sebelum ia dapat menjawab rasa ingin tahunya dengan memutar punggungnya sembilan puluh derajat, sebuah benda tumpul menumbuk kepala Raul.
Limbung lalu rubuh menyamping, Raul mengerjap dengan kuping mendenging. Untuk beberapa saat indra pendengarannya tak dapat menangkap satupun gelombang suara. Kepalanya tiba-tiba menjadi berat. Otot tubuhnya tak sanggup menuntun punggung untuk terangkat.
Dengan detak jantung yang makin cepat dan tenggorokan tercekat ia meringis kuat-kuat.
Tangan itu belum selesai dengan urusannya. Bahu Raul didorongnya dengan kasar. Raul mengerang untuk mengaduh.
Saat ia berjuang dengan sisa tenaga untuk bangkit, bak sebuah baris perintah, tendangan pendek yang didaratkan pada pinggang berhasil membuatnya merebah. Kali ini Raul patuh. Kepala dan tubuhnya terkulai lemas. Pingsan.
ADVERTISEMENT
Bersambung...