news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Pabrik Tahu Keluarga: Tugas Pertama (Part 6)

Dukun Millenial
INGAT!! Di dunia ini kita tidak pernah sendirian....
Konten dari Pengguna
26 Juli 2021 21:01 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dukun Millenial tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi, bangunan rusak, dok: pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi, bangunan rusak, dok: pixabay
ADVERTISEMENT
“Oh begitu, bisa saja aku tidak berbuat apapun asal aku tau cerita semuanya seperti apa? Gimana setuju?,” sahutku memberikan kesepakatan.
ADVERTISEMENT
“Cerita apa Put, amang tidak tau dengan apa yang kamu maksud bahkan amang juga tidak tau apa-apa amang hanya berkerja pada bapak dengan waktu yang lama,” jawab mang Ujang dengan nada terbata-bata.
“Aku pikir mang ujang tidak akan sama dengan Bi Imah, Ibu dan Bapak,” jawabku penuh rasa kecewa.
“Bukan begitu Put, ini sudah terlalu lama dan sudah terlalu berlalu, semua kejadianya, bahkan amang beneran tidak tau apa-apa, kecuali bapak,” ucap mang Ujang.
“Bapak, iya aku juga yakin begitu, yasudah anggap aja kita sedang berbicara hal itu mang, jam berapa malam ini aku balik lagi ke sini?” sahutku.
Setelah obrolan singkat dengan mang Ujang, aku langsung mengambil buku2 dan lainnya yang perlu aku ketahui soal proses Pabrik Tahu ini, iyah sistem Pabrik ini masih menggunakan jaman dulu, belum komputerisasi. Jadi mau tidak mau balpoint dan buku masih jadi andalan.
ADVERTISEMENT
Segera aku melangkah melewati dalam Pabrik ini, aneh sekali aura nya beda, ini kali kedua, setelah membicarakan tentang sisi sensitif Pabrik ini pasti begini, setelah kemrin dan juga sekarang.
Melewati tungku pembakaran, aku kaget, bukan main di siang bolong seperti ini ada yang meniup kedua telingaku, dengan kencang. Padahal hanya ada mang Deden yang sedang meyiapkan Kayu bakar, di arah lumayan jauh.
[Cerita ini diadaptasi dari Twitter/qwertyping]
Aku melihat sekeliling tidak ada siapa-siapa, aku lanjut berjalan seperti terus ada yang memperhatikan aku dari berbagai sudut, ini benar-benar takut di balik keranjang panjang menumpuk ke atas memang gelap, ketika mata mengarah ke sana ada 2 bola mata putih, seketika per sekian detik, aku melihatnya.
ADVERTISEMENT
Segera aku berjalan lumayan cepat menuju parkiran motor. Masih dengan nafas yang belum tenang sama sekali, dan keringat tentunya sudah mulai turun. “Masa iyah di siang bolong begini, apa karena aku tadi membahas hal yang sama dengan kemarin”
Aku segera pulang menuju rumah, bi Imah tetap saja sikapnya beda padaku.
“Rin...” mengetuk Pintu kamar Rini.
“Iyah kak, buka aja” jawab Rini.
“Kakak baru saja pulang dari Pabrik dan lagi-lagi banyak hal aneh loh Rin,”
“Gini kak, ibu banyak cerita padaku soal Pabrik dan segala keangkeranya,” jawab Rini.
“Terus kenapa Ibu tidak cerita pada kakak?,”
“Kakak bukan orang yang bisa diajak kompromi kak seperti aku, harusnya untuk dapat mengobrol banyak kita kadang harus pura-pura setuju jangan kaya kakak yang selalu bersisikukuh keras,” ucap Rini, menjelaskan.
Ilustrasi adik perempuan, dok: pixabay
“Lantas? Ini urusanya dengan mahluk tak kasat mata Rin, apa kakak salah pengen semuanya normal-normal saja tanpa harus mengalami keanehan semua ini,”
ADVERTISEMENT
“Tidak salah tentu benar, tapi ini semua ada kaitanya karena ulah kakek kak pada semasa dia mulai mengembangkan Pabrik ini setelah Buyut meninggal,” jawab Rini.
“Lalu apa yang bisa kakak perbuat?”
“Sayangnya aku tidak tau cerita selanjutnya kak, intinya di bapak, bapak hanya yang meneruskan tradisi sesajen dll, kuncinya di bapak itu yang aku pahami kak,” jawab Rini pelan-pelan.
Aku hanya bisa berpikir dengan apa yang dikatakan Rini padaku, memang benar seharusnya aku jangan terlalu menunjukan apapun, bersikap biasa saja.
“Saranku, nanti pasti kakak malam ke sana lagi kan, ke Pabrik?” tanya Rini
“Kenapa kamu bisa tau? Kakak kan belum cerita”
“Ibu sudah kasih tau aku tugas kakak di sana dll, saranku, coba lebih peka dengan keadaan di sana kak, mereka menunjukan diri dll mungkin ada maksudnya, ya walau menakutkan, siapa tau, jika pentunjuk tidak bisa dapatkan dari mereka, siapa tau mereka yang gaib itu juga bisa jadi petunjuk,” ucap Rini menjelaskan.
ADVERTISEMENT
Benar juga pemikiran Rini, lagian demi kebaikan. Lagi-lagi aku harus mengakui Rini lebih tenang mengahapi masalah seperti ini, aku harusnya bisa tapi ketika mengalami hal seperti itu akal dan pikiran jernih kadang tidak bisa di kontrol harus setenang mungkin.
Setelah obrolan selesai, Rini melanjutkan aktivitas nya, aku segera menuju ruang tengah karena sudah tidak terasa hari ini mulai siang sekali, pikirku tidur siang sebentar untuk nanti malam bisa menjadi solusi.
Sore pertama di hari kedua kepulanganku, masalah satu persatu bermunculan, aku tidak menyangka lambat laun berada di suatu masalah yang tidak aku inginkan sama sekali segala satu persatu isyarat belum bisa aku rangkum tentang apa sebenarnya yang akan terjadi. Dan kenapa keinginan tau tentang misteri Pabrik ini bukan semakin reda malah semakin deras.
Ilustrasi rumah tua, dok: pixabay
Tapi aku selalu percaya “good things are coming down the road. Just don't stop walking” iyah aku harus terus berjalan, mungkin ini salah satu yang nantinya akan lebih mendewasakan aku.
ADVERTISEMENT
“Den, ini kopi sengaja bibi buatkan buat aden,” sahut bi Imah.
“Iyah bi makasih, aku minta maaf soal kejadian kemren malam di kamar jika bibi tersinggung dengan sikap atu omongan aku, maaf yah bi,” ucapku.
“Harusnya bibi yang bilang begitu, bibi hanya tidak mau aden ada dalam masalah apapun den,” sahut bi Imah.
Aku ingat omongan Rini sebelum tidur siang barusan, aku harus pintar memainkan peran. Tapi, rasa bersalahku pada bi Imah tulus makanya aku sampai meminta maaf.
“Tidak apa bi, aku sudah tau merasakan keanehan di Pabrik tadi pagi, malam ini aku mulai menjalankan tugas Bapak bi doakan saja yah,” ucapku dengan pelan.
“Bibi percaya aden bisa tapi ingat pesan bibi, tidak semuanya harus jelas pada suatu masalah, ingat meminta maaf jika salah dan jangan merasa benar ketika salah” sahut bi Imah
ADVERTISEMENT
“Baik bi, mau gimanapun aku pasti mendengar pepatah bibi, bibi sudah seperti ibu aku” ucap Putra
Setelah itu bibi kembali ke dapur, sedari pagi setelah ibu berangkat ke pasar aku belum melihatnya juga, sama dengan ayah.
Batang perbatang rokok aku nikmati di depan rumah dengan kopi yang bi Imah buatkan untuku, sedang menikmati langit yang mulai turun akan berganti warna, tiba-tiba bi imah berjalan melewatiku dan membuka gerbang.
Bersambung...