Pasapon: Kecurigaan Bi Ida (Part 3)

Dukun Millenial
INGAT!! Di dunia ini kita tidak pernah sendirian....
Konten dari Pengguna
10 September 2021 20:44 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dukun Millenial tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi horor, dok: pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi horor, dok: pixabay
ADVERTISEMENT
“Jid…” teriak mang Pepep.
Seketika permainan berhenti, memang wajar permainan tepat sekali di depan sekolah, pikirku mang Pepep merasa terganggu karena suara dari anak-anak.
ADVERTISEMENT
“Gimana mang?” jawabku sambil mendekat mang Pepep
“Di dalam aja, amang khawatir tar ada apa-apa coba,” jawab mang Pepep
“Aman mang lagian jalanan sepi kok,” jawabku.
Akhirnya mang Pepep hanya duduk memperhatikan aku dan anak-anak bermain, dalam pikirku memang mang Pepep orang yang sangat baik hanya urusan sepakbola saja dia sebegitu khawatirnya, apalagi soal tanggung jawab dia mungkin kalau terjadi apa-apa dia yang bakalan disalahkan.
Sesekali, aku melihat ke arah mang Pepep yang masih saja duduk di tempat yang sama, hanya menghabiskan berbatang-batang rokok, sambil memperhatikan kami. Aku pikir, kecemasan mang Pepep memang benar-benar sangat cemas.
Bahkan mang Pepep juga yang menyediakan aku dan teman-teman air minum. Malam ini, permainan tidak tanggung sampai jam 02:00 lebih baru selesai, karena seru sekali, yang membuat aku sedikit heran, selama permainan sepak bola di jalanan ini, tidak ada satupun kendaraan yang melintas.
ADVERTISEMENT
Selesai permainan malam ini, segera aku pamit pada mang Pepep untuk membangunkan orang-orang sahur, berkeliling melewati rumah warga adalah kesenangan tersendiri bisa menjadi alarm untuk mereka.
Sampai di rumah untuk melaksanakan sahur, aku sudah punya perasaan tidak enak karena tatapan Umi sepertinya marah padaku.
“Jid apa kamu sama temen-temen itu gak kasian sama mang Pepep, masa mau setiap malam kalau pada main bola harus ditungguin gitu sih?” ucap Umi heran.
“Ya enggak gtu Mi… lagian tadi jalanan sepi banget ko, beneran deh,” jawabku singkat.
Aku rasa semua orang tua punya kecemasan tersendiri untuk anaknya, mungkin, cara penyampaiannya saja yang berbeda, karena Umi selalu membahas soal kebiasaan di malam bulan Ramadhan terus menerus.
ADVERTISEMENT
[Cerita ini diadaptasi dari Twitter/Qwertyping]
Sampai hari ke 10 bulan Ramadhan tahun ini, di bulan Agustus, kebiasaan aku hampir tiap malam melakukan hal yang sama, hanya 1 atau 2 hari saja bersama mereka, tidak melakukan sepak bola di jalan depan SD.
Setelah buka puasa hari ini, seperti biasa juga, aku berjalan menuju Masjid untuk teraweh, melewati depan rumah bi Ida.
“Jid heh sini dulu coba…” teriak bi Ida
“Yeh, kaget segala teriak-terika sih bibi ini ah…” jawabku.
“Iya makanya kesini dulu duduk Jid” ucap bi Ida yang menarik untuk aku segera duduk.
Akhirnya aku duduk di depan rumah bi Ida, yang memang rumah bi Ida tepat sekali di samping bangunan SD
ADVERTISEMENT
“Kemarin 2 hari yang lalu bapak kan pulang agak malem, terus heran katanya gak ada anak-anak tumben, tapi bapak liat ada orang berdua yang bulak-balik memperhatikan SD,” ucap bi Ida.
“Maksudnya bi? Memperhatikan? Mencurigakan, gitu kali maksudnya?” jawabku.
Ilustrasi mencurigakan, dok: pixabay
Bi Ida kelihatan sekali khawatir, karena memang di daerah tempatku terbilang ramai-ramai saja karena samping jalan raya, tapi entah kenapa dari muka dan ucapanya benar-benar khawatir.
“Nanti aku sampaikan bi ke temen-temen soal hal yang mencurigakan itu,” ucapku kemudian pamit.
Setelah selesai teraweh malam ini, semua seperti biasa berkumpul di depan rumah, semua anak satu sama lain menanggapi apa yang aku katakan soal informasi yang aku dapat dari bi Ida
“Aku yakin sih bener Jid, soalnya hampir setiap harikan, tiap malam kumpul, main bola...keliling warga, mungkin saat kita gak ada, kesempatan buat orang itu buat mengintai,” jawab Deden menjelaskan.
ADVERTISEMENT
“Mengintai bagaimana Den, ko langsung nuduh gitu...” jawab Ocol heran.
“Mungkin maksud Deden, karena biasanya ramai tiap malam pas kita gak di sini malem itu mereka jadi bisa melihat sekitar gtu Col," sahut Bajing.
Iyah aku setuju dengan apa yang mereka bicarakan, walau semuanya masih berbentuk tuduhan saja.
Malam ini, akhirnya hanya mengobrol saja, soal kecurigaan-kecurigaan yang berkaitan dengan apa yang telah bi Ida informasikan kepadaku saja.
“Apa tujuanya sekolah?” tanya Ocol, seperti repleks dengan muka datar
Ilustrasi ruangan kelas, dok: pixabay
“Bisa jadi Col, soalnya di dalemkan ada komputer dll, yang bisa diambil,” jawabku hanya menebak saja.
“Tidak mungkin dong Jid, kan ada mang Pepep yang jaga, lagian mang Pepep kan selalu tidur di dalam sana,” jawab Opik, sambil menunjuk di mana biasa mang Pepep tidur.
ADVERTISEMENT
Iyah juga pikirku, mang Pepep kan selalu tidur di ruangan guru-guru yang langsung menyatu dengan ruangan komputer. Tapi apa tujuan orang itu mengintai daerah dekat rumahku, karena sebelumnya aman-aman saja tidak pernah ada kejadian apapun.
Malam semakin berlanjut, oborlan dengan teman-temanku selalu tidak ada hentinya, dari hal satu menyambung dengan hal lain adalah kehangatan tersendiri. “Waspada” hal itu yang Deden bilang beberapa kali.
Setelah berkeliling membangunkan sahur, segera aku pulang ke rumah.
“Jid sebelum makan, antar ini makanan ke mang Pepep, kasian takutnya si wildan enggak ngaterin makan,” ucap Umi.
Segera aku keluar lagi rumah, berjalan menuju jalan raya yang sepi, dari kejauhan benar sekali mang Pepep baru keluar dari ruangan guru itu.
ADVERTISEMENT
“Mang…” teriaku, sambil berjalan mendekat
“Iya Jid, aduh segala bawa apaan itu... pasti disuruh Umi yah kamu?” tanya mang Pepep
“Iya nih mang, makanan buat sahur,” jawabku.
“Baru saja amang mau pulang ini, si Wildan kayanya gak nganterin makanan kesiangan, eh kok tumben tadi gak pada main bola, sengaja sama amang gerbang jarang dikunci Jid,” sahut mang Pepep
“Eh bi Ida emang belum cerita mang?” tanyaku.
“Cerita apa, amang belum ketemu lagi Jid?” jawab mang Pepep.
“Kemaren malem katanya bapak pulang ke rumah suaminya bu Ida, ngeliat ada orang yang mencurigakan gitu mang, tumbenan bangetkan,” ucapku pelan.
Mang Pepep hanya menanggapinya becanda saja, dengan alasan mungkin itu orang iseng saja, karena memang pikirku juga tidak mungkin ada apa-apa daerah tempatku tinggal, tidak pernah ada kejadian apapun.
ADVERTISEMENT
Setelah obrolan singkat itu, segera aku masuk lagi ke dalam rumah untuk sahur. Tidak ada pikiran apapun, malah penasaran saja jika memang apa yang dikatakan suami bu Ida itu benar, apa juga tujuanya.
Bersambung...