Rusin 2 (Part 11)

Dukun Millenial
INGAT!! Di dunia ini kita tidak pernah sendirian....
Konten dari Pengguna
19 November 2020 19:41 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dukun Millenial tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi hantu, dok: pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi hantu, dok: pixabay
ADVERTISEMENT
Ia adalah Pak Bagyo, kakek Juni, pak Adi dapat mengenalinya dalam sekali pandang karena dulu ia pernah melihat wajah itu di kilasan kejadian masa lalu yang ia lihat dalam rumah ini.
ADVERTISEMENT
Ia kembali melangkah, tercium bau darah menyengat. Tanah di sekitar sana dikerubuti oleh serangga serangga liar, mereka berkemelut di sekitar darah kambing yang terbujur kaku di bawah pohon itu. Tak hanya serangga, makhluk-makhluk menjijikkan pun banyak yang berada di sana, berebut menjilati bangkai dan darah kambing itu.
“Mamah.. Yayah,” panggil balita itu pada kedua orangtuanya.
Mereka semua terkejut ketika Merry tiba-tiba terbangun, tandanya misi pak Adi untuk mengembalikan jiwa anak itu berhasil.
Mereka sangat sangat bersyukur, ibunya segera mendekap tubuh kecil itu dan menangis sejadi jadinya. Merry tampak kebingungan melihat para orang dewasa itu menangis melihatnya.
Di sisi lain
Juni mulai terlelap di pelukan ibunya, ia hanyut dalam buaian makhluk itu. Ditambah lagi arwah sang ibu beberapa kali menenangkannya dengan menembangkan tembang-tembang jawa kesukaannya sejak kecil dulu yang selalu dinyanyikan sang ibu untuknya di tiap tidurnya.
ADVERTISEMENT
Pak Adi sebelumnya sudah menduga bahwa hal ini akan terjadi, ia sangat tahu arwah jahat itu mampu menghalalkan segala cara untuk menjerat seseorang untuk bergabung kedalam dunianya.
Ketika Pak Adi memasuki kamar itu, arwah jahat tersebut sudah berubah ke wujud aslinya. Mungkin memang tadi ia menggunakan wujudnya saat masih menjadi manusia dulu demi memperdaya Juni.
[Cerita ini diadaptasi dari Twitter/itsqiana]
“Jun bangun Jun bangun,” teriak Pak Adi yang melompat ke atas ranjang lalu menarik tubuh Juni dari dekapan arwah ibunya.
Juni segera terbangun namun tak kunjung menyadari bahwa perempuan di depannya adalah sosok yang sama yang selama ini mengganggu ketentraman hidupnya dan orang orang di sekitarnya.
Arwah ibunya bahkan sering mengganggu warga sekitar yang sekadar melewati rumah itu.
ADVERTISEMENT
“Ayo cepat kita pergi, ikut bapak pergi dari sini!,” tegas pak Adi.
Hati Juni bimbang, ia menangis tak rela meninggalkan ibunya. Arwah ibunya mengamuk melihat pak Adi yang mengingkari janji, pria itu tak benar-benar ingin menyerahkan Juni.
Seluruh bola matanya berubah hitam pekat, wajahnya memerah seperti bara hingga mengeluarkan bau tak sedap. Ia menjerit hingga Juni ketakutan.
"Aaaaaaaa," dia semakin mengamuk.
Juni dan pak Adi segera kabur meninggalkan kamar itu, namun kaki Juni tertahan, ia ditarik oleh tangan hitam berkuku panjang. Kakinya tergores kuku kuku itu, kulitnya hingga mengelupas dan mengeluarkan darah.
Ilustrasi kuku panjang, dok: pixabay
Memang roh jahat dapat melakukan hal hal seperti melukai manusia. Juni sekuat tenaga menarik kakinya dibantu Pak Adi. Banyak sekali makhluk lain yang mengerumuni mereka, tak ada niat ikut campur ataupun membantu, mereka hanya menatap dan memperhatikan.
ADVERTISEMENT
Wujud ibu Juni semakin menyeramkan, dia benar-benar berubah, tak seperti beberapa saat lalu. Lidahnya menjulur keluar, begitu panjang dan mengeluarkan liur berbau tak sedap. Juni merasa mual karenanya.
Mereka berhasil terlepas, pak Adi segera memasukkan kembali sukma Juni ke dalam tubuhnya sendiri. Kini gilirannya untuk kembali pada raganya, namun belum sempat ia memulai menyatukan jiwa dan raga itu arwah ibu Juni menuntut balas.
Semua barang di rumah itu bergetar hebat, seperti ada gempa bumi yang tiba-tiba terjadi. Mereka panik, begitu pula Juni yang baru saja tersadar. Karena mata batinnya telah terbuka, ia dapat melihat apa yang mata pak Adi lihat pula.
Pak Adi, pria itu belum juga masuk ke tubuhnya, ia masih harus meladeni kegaduhan yang arwah ibu Juni buat. Di depan kedua matanya tengah melayang arwah sang ibu. Wanita itu mengamuk dan menjerit, diiringi angin yang berhembus kencang menerjang rumah Juni.
ADVERTISEMENT
Pintu pintu begitupun jendela yang ada hingga terbuka paksa oleh hembusan angin itu. Semuanya terkejut, selain Juni dan Pak Adi yang dapat melihat jelas penyebab terjadinya hal itu.
“Kembalikan Juni padaku!," gertak arwah Septiani itu.
“Bu, ibu sudah beda alam dengan Juni bu. Juni masih harus melanjutkan jalan hidup Juni. Juni sayang sama ibu tapi jangan gini caranya," ucap Juni sedikit terbata karena hatinya begitu pedih menerima kenyataan ini, ia menangis tersedu-sedu hingga kedua lututnya melemas, membuatnya terjatuh ke lantai.
Orang-orang di sekitarnya begitu iba melihat Juni, mereka tak tau dengan siapakah Juni bicara saat ini. Namun satu, dari kata-kata gadis malang itu mereka mengerti bagaimana perasaannya kini.
Angin perlahan berhenti bertiup, wajah arwah ibu Juni tak lagi setegang tadi. Di depan anak wanita yang kini telah tumbuh menjadi gadis dewasa itu Septiani meluluh, bahkan ia tak lagi menampakkan wujud aslinya yang begitu menyeramkan.
ADVERTISEMENT
“Baiklah kalau begitu jangan halangi aku balas dendam, aku ingin anak itu mati," ucap Septiani menunjuk Novi yang tak tahu apa-apa karena tak dapat melihatnya.
Ia begitu dendam dengan Julianti, ibu Novi sekaligus istri pertama ayah Juni. Ia tak rela kebahagiaannya dihancurkan begitu saja bahkan ia belum sempat memeluk putrinya untuk terakhir kali sebelum mati.
Agaknya ia lupa, ialah yang telah menghancurkan kebahagiaan rumah tangga wanita lain dengan menjadi madunya.
“Sudahlah, urungkan saja niat burukmu itu. Semuanya telah berlalu," ucap Pak Adi mencoba membujuk arwah itu.
Pria itu sama sekali tak dihiraukan olehnya, ibu Juni kembali ke kamarnya dengan menembus dinding, begitupun pak Adi yang segera kembali ke raganya.
Juni masih saja bersimpuh di lantai diiringi tangisnya yang tak kunjung usai. Bude memeluk tubuh gadis itu dan terhanyut bersama dalam kesedihan.
ADVERTISEMENT
Febri tak banyak bicara, ia hanya diam menatap ibunya yang menangis bersama Juni. Lalu ia menjauh, mencari antiseptik dan perban untuk merawat kaki Juni yang terluka begitu dalam sebelum esok pagi membawanya ke Puskesmas.
Setelahnya, Febri beranjak menutup kembali seluruh pintu dan jendela yang ada, beberapa engsel di antaranya ternyata rusak saking kencangnya terpaan angin tadi.
Beberapa hari mereka semua lalui dengan damai. Semua kembali menjalani rutinitasnya masing-masing, namun tentu saja semuanya masih tinggal di rumah Juni karena pak Adi pun masih menginap di sana untuk mengontrol keadaan.
Juni mulai terbiasa dengan kemampuannya, jiwanya kini benar-benar tangguh. Ia dengan cepat beradaptasi, tak lagi ketakutan melihat dunia gelap yang selama ini menghantuinya. Di matanya, hantu-hantu itu kini tak ubahnya manusia yang juga hidup berdampingan dengannya.
ADVERTISEMENT
Setiap hari Juni juga selalu datang ke rumah sakit untuk menemani Paklik saat Bulik mengajar, Mei pun harus bekerja itulah sebabnya tak dapat 24 jam mengurus ayahnya yang tengah terluka itu. Dia merawat ayah sahabatnya itu selayaknya ayah sendiri, dia begitu telaten dan sabar.
Novi, Agus dan anak mereka? mereka masih berada di rumah itu. Meskipun tak ada lagi gangguan yang mereka terima namun pak Adi belum mengizinkan mereka pulang. Ia merasa masih harus waspada dan selalu mengawasi keluarga Juni, setidaknya untuk tiga hari ke depan.
Dua minggu telah berlalu sejak kegaduhan itu terjadi, pagi itu Juni bersiap menjemput Paklik yang telah diperbolehkan meninggalkan rumah sakit oleh dokter.
“Mau ke mana dek?," tanya Novi yang sedang menyapu rumah. Ia melihat Juni tengah memakai sepatu.
ADVERTISEMENT
“Jemput Paklik mbak, tadi aku ditelepon pihak rumah sakit, katanya Paklik udah boleh pulang," jelas Juni padanya.
Paklik?,” Novi tak mengerti siapakah orang yang Juni bicarakan.
Paklik, ayahnya Mei, yang dulu juga di sini," kelar menali sepatunya, Juni berdiri dan mengambil tasnya.
“Oh yang itu, emangnya dia kenapa?," lanjut Novi karena penasaran.
Juni tak mengatakan apapun, ia melirik kakak iparnya yang duduk di sofa dan nampak memperhatikan pembicaraan Juni dengan istrinya tersebut.
“Udah ya mbak aku mau berangkat," pungkas Juni meraih tangan kakaknya untuk berpamitan.
Ilustrasi halaman rumah, dok: pixabay
Sebelum melangkah keluar, ia kembali menengok kakak iparnya yang tampak salah tingkah. Pria itu gelagapan mendapat tatapan tajam dari Juni. Agaknya tak ada yang memberi tahu Mba Novi tentang apa saja yang telah terjadi selama ia tak sadarkan diri.
ADVERTISEMENT
Begitupun Novi, dia tak mau membuka mulut dan memendam segalanya sendiri mengenai segala yang ia alami. Juni mengajak ayah Mei pulang ke rumah Juni, agar gadis itu dapat merawatnya sebelum Bulik dan Mei pulang kerja.
“Assalamualaikum,” ucap Paklik yang dibantu Juni berjalan memasuki rumah.
Waalaikumsalam,” senyum mengambang di wajah Novi, ia segera membantu Juni menggandeng pria itu, mendudukkannya di sofa.
Juni berlalu, mengambil barang-barang Paklik dari bagasi dan membawanya masuk. Agus bingung harus bereaksi bagaimana, lidahnya kelu, ia begitu malu dan merasa bersalah, dia mendekati Paklik, meminta maaf secara langsung padanya.
“Pak saya mohon maaf sebesar besarnya, saya salah, saya keterlaluan, maaf karena sudah membuat bapak seperti ini," buka Agus.
ADVERTISEMENT
Gapapa mas, saya sudah maafkan. Saya tau itu bukan kehendak mas sendiri," Paklik menerima permintaan maaf itu dengan ikhlas dan lapang dada, ia tak pernah marah, dendam, apalagi menyalahkan Agus.
Juni kembali masuk menenteng beberapa tas milik Paklik, ia hanya mengamati sebentar Agus dan Paklik yang sedang berbincang.
“Mana ya mbak Novi," gumam Juni, ia menuju kamar tamu yang ditempati kakaknya.
Kamar tamu adalah kamar yang berada persis di sebelah kamar Juni. Ia melangkahkan kaki memasuki kamar itu, terdengar suara Merry yang sedang bernyanyi-nyanyi, liriknya sedikit tidak jelas karena ia masih belum lancar bicara.
Bersambung...