Rusin (Tamat)

Dukun Millenial
INGAT!! Di dunia ini kita tidak pernah sendirian....
Konten dari Pengguna
27 Oktober 2020 20:39 WIB
comment
7
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dukun Millenial tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi hantu, dok: pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi hantu, dok: pixabay
ADVERTISEMENT
Pak Adi penjaga kantin yang dari tadi memperhatikan dari kiosnya tiba-tiba menghampiri kami berdua.
ADVERTISEMENT
“Ada apa nak kok kaya bingung gitu?,” tanya pak Adi sambil berdiri di samping Septi yang sedang duduk.
“Gapapa Pak, ini banyak tugas kuliah jadi bingung ngerjainnya,” ucap Septi ke pak Adi.
Namun pak Adi tidak langsung percaya terhadap jawaban Septi.
“Udah nak jangan disembunyiin, pasti ada masalah di rumah kan?,” celetuk pak Adi yang seolah olah tahu mengenai kejadian semalam.
“Iya pak banyak kejadian aneh di rumah saya?,” ucapku pasrah karena tidak tahu harus berbuat apa untuk mengusir penghuni-penghuni sialan yang berada di rumahku.
“Nak Juni, bapak melihat ada yang selalu mengikuti kamu,” pak Adi yang tadinya diam tiba-tiba melontarkan pernyataan yang membuatku terheran.
“Siapa pak yang ngikutin saya?,”
ADVERTISEMENT
“Ibu,” jawab Septi tiba-tiba yang membuat seluruh badanku merinding
"Ibu?, ibu siapa?,"
"Ibumu," jawab Septi.
“Apa itu benar pak, Ibu saya yang mengikuti saya?,” ucapku bertanya kepada pak Adi.
“Iya betul Ibumu dulu meninggal tidak wajar, dia putus asa karena tak dapat bertemu denganmu lagi, serta banyak beban berat yang ia tanggung sendirian di pundaknya, ia pun mengakhiri hidupnya,” jawab pak Adi yang entah kenapa bisa tahu semua dengan kejadian yang kualami pada saat berumur 9 tahun.
“Terus gimana cara saya ngilangin gangguan yang ada di rumah dan badan saya pak?,”
“Bapak juga belum tahu nak, mungkin ada petunjuk di rumahmu yang bisa kamu kasih tau ke Bapak, jika ada hal yang janggal,” jawab pak Adi waktu itu, aku berusaha mengingat hal janggal yang berada di rumahku namun sepertinya tidak ada, selain penampakan yang sering menghantuiku.
ADVERTISEMENT
[Cerita ini diadaptasi dari Twitter/itsqiana]
“Pak boleh ngga saya minta nomor pak Adi buat bantu saya misal suatu saat saya butuh bantuan?," setelah mendapat nomor telepon beliau akupun bergegas pulang dari kampus bersama Septi.
Di rumah, aku dan Septi membaringkan badan di depan televisi. Kami berdua hanya diam dan terus memikirkan kepingan kepingan kisah kelam rumah ini. Apa maksud semua gangguan ini?, apa yang pernah terjadi pada Ibu di masa lalu?.
"Assalamualaikum Jun," salam seseorang terdengar dari pintu depan, nampak dua orang tengah memasuki rumahku.
"Waalaikumsalam, darimana Mei?,"
"Aku baru pulang kerja sama Febri nih Jun, ini aku beliin makan)," Septi beradu tatap dengan Mei, iapun tersenyum menyapa.
"Mbak saya temennya Juni, Septi" ucap Septi memperkenalkan.
ADVERTISEMENT
"Oalah iya mbak saya juga, rumah saya depan sana malah," jawab Mei sambil menunjuk ke arah depan kami berempat pun makan bersama, malam ini rencananya Febri dan Mei akan menemaniku bermalam di sini.
Selesai makan, kami bergiliran mandi untuk membersihkan badan. Syukurlah, tiada kejadian aneh di sore ini. Asap mengepul perlahan memudar menyebar ke seisi ruangan, sebatang rokok terselip pada jari Febri. Ia nampak asyik duduk di lantai sambil menonton tv.
Septi tengah menyetrika di sebelahnya, ia pun sesekali mengobrol dengan Febri. Aku, aku meletakkan kepalaku di pangkuan Mei yang duduk di sofa panjang. Ia pun kelihatannya sedikit mengantuk karena kelelahan seharian bekerja.
"Ngantuk Me?,"
"Lumayan,"
"Yaudah ayo tidur di kamar," ajakku padanya.
ADVERTISEMENT
Akupun merubah posisiku menjadi duduk
"Sep nanti nyusul ke kamar ya. Feb, kamu gapapa kan tidur sini?. Apa pengen tidur kamar satunya?,"
"Yaudah kamar aja Jun, di sini yang ada aku kedinginan,"jawab Febri yang kini mematikan rokoknya.
Ia beranjak mengambil kunci kamar yang kusodorkan Mei sudah berada di atas ranjang kamarku, begitu pula Febri yang segera memasuki kamar, kamar yang sebenarnya adalah kamar Ibu saat hidup dulu.
Kulihat Septi masih menyetrika baju bajunya sambil menatap layar tv di depannya. Akupun segera menyusul Mei yang kini sudah terlelap.
Entah berapa jam tertidur, aku merasa seseorang ikut merebahkan badannya di belakangku. Aku yang tidur menyingkur menghadap ke punggung Mei pun tak menghiraukannya.
ADVERTISEMENT
Aku bermimpi, ya aku sadar kini tengah berada dalam mimpiku. Di mimpiku ini aku seperti benar benar masih tertidur dengan posisi awal tadi, menghadap punggung Mei. Di dalam mimpi ini aku mencoba untuk tertidur kembali.
"Pluk," kurasakan sebuah lengan dingin menimpa tubuhku, seperti tengah memelukku dari belakang. Aku yang tersentak kaget segera bangun dari tidurku. Apa?, ternyata aku masih di dalam mimpi, akankah tadi aku mengalami mimpi di dalam mimpi?, akupun tak menghiraukannya hingga terbangun tujuh kali dari mimpiku, gila, tujuh lapis mimpi.
Hingga untuk yang terakhir aku benar-benar terbangun. Aku berhasil keluar dari lubang mimpi ini dan benar benar tersadar dari tidurku. Tubuhku penuh dengan keringat dingin hingga membuat kaus yang kukenakan menjadi sangat basah.
Ilustrasi tidur, dok: pixabay
Aku menarik napas panjang lalu memutar tubuhku telentang, kurasakan seseorang memang berada di sebelahku, bukan Mei, dia ada di sebelah kiri. Kutolehkan kepalaku menatapnya, pandanganku menangkap sesosok wanita dengan lidah menjulur panjang dan mukanya yang menyeramkan tengah menatapku tanpa berkedip sedikitpun.
ADVERTISEMENT
"Pluk," sial, adegan yang sama persis seperti mimpiku tadi, benar benar ada yang memelukku.
"Aaaaaaaaaa….." aku berteriak sekencang kencangnya, akupun beringsut mundur dan menendang tubuh itu hingga jatuh dari atas ranjang.
"Dap dap dap dap," suara seseorang tengah berlari menuju kamarku, Septi.
Septi segera menyalakan saklar lampu dan menghampiriku. Ia nampak panik serta kebingungan dalam satu waktu. Badanku gemetaran tak karuan, aku terlalu takut. Septi menggoncang goncangkan tubuhku dengan keras, begitupun Mei yang ikut panik menatapku.
Septi memeluk tubuhku erat. Di sisi lain, terdengar suara gaduh dari luar kamar. Suara layaknya kayu yang sedang diadu. Mei dan Septi segera melepaskanku lalu mengecek keluar, ah, suara itu dari kamar yang ditempati Febri.
ADVERTISEMENT
Ternyata Febri tertidur pulas di atas ranjang yang bergoyang gemeratak tak karuan. Kaki kaki ranjang itu beradu dengan lantai kayu rumah ini.
Mereka bergegas menghampiri Febri, mencoba membangunkan tubuh itu. Aneh, Febri sama sekali tak bergerak apalagi membuka matanya.
"Feb bangun!, kamu bisa denger suaraku kan?, Feb! jangan jalan makin jauh. Diem di situ aja," ujar Septi.
Mei yang ketakutan segera berlari keluar rumah, ia berniat memanggil keluarganya. Septi dengan sekuat tenaga berusaha membangunkan Febri. Sedangkan aku, di sini aku masih merasakan getaran hebat pada tubuhku, mungkin ini refleks saat aku benar benar merasa takut.
Mataku mengarah ke pintu, dengan jelas terlihat ada yang berjalan melewati kamarku. Dia perempuan tadi, sosok yang sering kulihat bersama seorang anak kecil cacat, ia memeluk kaki wanita itu hingga jalannya menjadi menyeret.
ADVERTISEMENT
Tak berselang lama, orangtua Juni dan Febri memasuki rumah dengan tergesa, mereka khawatir akan keadaan kami.
"Astaghfirullahaladzim,"
"Ya Allah Juni, "
"Febri di mana Febri?, "
"Masya Allah anakku, Feb, bangun nak," mereka sangat terkejut melihat kondisi kami, tampaknya orangtua Febri berada di kamar depan.
Ibu Mei segera memelukku, ia menangis menatapku iba. Badanku yang belum bergerak normal kembali pun dibantu oleh Mei dan ibunya untuk dibawa ke ruang depan. Aku didudukkan di lantai, di atas tikar yang berada di depan tv.
"Pak Adi, telpon p p pak Adi," ucapku terbata karena gemetar.
"Pak Adi sopo nduk Jun?," tanya ibu Mei.
Aku meraih benda yang ada di sakuku dan segera memberikannya pada Mei. Ia langsung mencari kontak pak Adi pada handphone ku.
ADVERTISEMENT
Segera setelah dihubungi oleh Mei, pak Adi datang ke rumah ini.
"Assalamualaikum, gimana pak bu kondisi anak-anak?," ucapnya sembari berlari panik masuk ke dalam rumah.
"MasyaAllah, Juni," ia terlihat sedih melihatku.
"Pak tolong temen saya pak, dia di dalam kamar," ucapku padanya.
Ia segera berdiri menuju tempat Febri berada, di dalam sana ada Septi beserta orangtua Febri, tentunya mereka mencoba menghentikan ranjang yang bergerak tak beraturan itu, dan juga membangunkan Febri yang seperti pingsan di atasnya.
Pak Adi meminta kapak kepada ayah Mei
"Pak saya minta tolong carikan kapak segera,"
"Buat apa pak?," tanya ayah Mei.
"Saya mohon pak,"
Akhirnya ayah Mei pun menuruti pak Adi, membawakan benda yang ia inginkan. Pak Adi pun segera menebas keempat kaki ranjang itu, benar saja kini ranjangnya tak lagi bergerak. Ia pun membangunkan Febri.
ADVERTISEMENT
"Anak ini namanya siapa pak Bu?," tanya pak Adi pada mereka.
"Febri Pak, dia anak saya," jawab ibu Febri dengan wajah merah dan mata berair.
Ia membisikkan sesuatu pada telinga Febri, lalu.
"Febri, kamu bisa denger suara saya kan, pergi cepet lari dari situ nak, balik ke jalan yang tadi kamu lewati," ucapnya dengan lantang.
Akhirnya Febri pun membuka mata, entah apa yang terjadi padanya setelah semuanya mereda, kami semua berkumpul di ruang tamu. Pak Adi pun menjelaskan kemungkinan penyebab hal hal aneh yang terus menerus terjadi di rumahku.
Ilustrasi rumah horor. dok: pixabay
"Mohon maaf sebelumnya jika saya lancang, apa benar bapak ibu semua sudah lama tinggal di daerah sini?" buka pak Adi.
"Iya Pak, kami sejak dahulu memang tinggal di sini" jawab Ayah Febri.
ADVERTISEMENT
"Apakah di sini pernah terjadi kejadian kejadian pembunuhan semacamnya?," tanya pak Adi kembali.
Para orangtua saling melempar pandang, mereka bingung dengan perkataan Pak Adi
"Gaada tuh pak, dari kecil saya gapernah denger," sahut Febri.
"Bener pak, lingkungan sini ga pernah ada kejadian macam itu," timpal Ibu Mei.
Pak Adi manggut-manggut dan kembali bicara.
"Septi, kamu tau maksud saya kan?," ucapnya.
"Iya Pak, sayangnya saya cuma sedikit tahu dan sebatas bisa melihat mereka, saya juga masih sering ketakutan meskipun sudah ribuan kali melihat makhluk makhluk seperti itu," jawab Septi membenarkan.
"Nak Juni, rumahmu sangat ramai, rumah ini tidak bagus untuk ditinggali, banyak makhluk jahat di sini. Dan sosok yang sering mengikutimu juga menampakkan dirinya adalah ibumu sendiri," ucap pak Adi menatapku.
ADVERTISEMENT
Aku menatapnya kosong, apa maksud perkataan itu?, ibuku?, Ibu?mengapa ia gentayangan dan menghantuiku.
"Saya coba bantu buka," dia mendekatiku, menutupkan telapak tangan kirinya pada kedua mataku dan menekan erat-erat tengkuk ku.
Tiupan kurasakan di kupingku sesaat sebelum ia menyuruhku membuka mata. Pandanganku sedikit kabur, dan perlahan terdengar berbagai suara di telingaku. Suara apa ini…
"Oek oek oek,"
"Hihihihi," rumahku terasa sangat riuh oleh suara suara aneh. Ada banyak suara tangisan bayi, suara anak kecil yang tengah asyik tertawa cekikikan dan banyak orang berbicara seperti tengah berada di keramaian.
Kini mataku dapat melihat dengan jelas makhluk makhluk mengerikan di dalam rumah ini. Dengan berbagai macam wujud menjijikkan mereka semua mengerumuni kami.
ADVERTISEMENT
Pandanganku tertuju pada seorang wanita yang di kakinya ada seorang anak cacat yang dulu pernah kulihat saat kecil.
"Dia ibumu, dan itu salah satu anaknya," ucap pak Adi membuat gejolak dalam hatiku
"Aaaaaaaaa," aku berteriak keras karena ketakutan dan belum sepenuhnya siap mendapati semua ini pak Adi segera menutup kembali mataku dan bertahap akupun mulai tenang.
Ia berkata bahwa ia telah berkomunikasi dengan mereka, ia menceritakan semua masalalu kelam rumah ini berdasarkan yang ia dengar dari (mereka).
"Jun, bapak harap kamu bisa menerima semuanya. Ibumu masih gentayangan karena meninggal dengan cara yang salah, arwahnya tidak diterima oleh yang maha kuasa. Dan anak-anak kecil yang sering menjumpaimu, mereka sebenarnya adalah anak ibumu. Anak yang ia gugurkan, namun ada satu yang ia lahirkan. Anaknya yang ke dua belas, bocah cacat itu, Rusin namanya," jelas pak Adi.
ADVERTISEMENT
"Benar kan nak Septi?," tanyanya kini.
"Sejauh yang saya pahami pak," timpal Septi.
"Pak bu sekalian, saya mohon untuk tetap menjaga rahasia aib keluarga ini. Biarlah masalalu hanya menjadi angin lalu," ucap pak Adi.
Kami semua masih keheranan dan sangat tak menduga dengan pernyataan yang dilontarkan Pak Adi dan Septi barusan. Seakan listrik menyengat dada kami.
"Untuk sekarang, saya tidak punya solusi apa-apa. Satu satunya yang saya bisa hanyalah memutus hubungan Juni dengan dunia mereka. Menutupi bau tubuhnya agar mereka tidak dapat membedakan Juni dengan bangsa mereka. Maaf, saya tidak sanggup mengusir mereka dan membersihkan rumah ini," ucap pak Adi pasrah.
Aku mulai menangis, semua yang kudengar hanyalah membuat dadaku semakin sesak.
ADVERTISEMENT
"Gimana bisa ibu punya dua belas anak sebelum saya pak?, ibu masih muda saat meninggal dulu," tanyaku merasa pilu.
"Iya pak kami pun tidak pernah tau menahu mengenai hal yang bapak ceritakan ini. Saya dan Septiani bertetangga sejak masih kecil, kenapa saya gapernah liat dia hamil anak selain Juni," ucap Ayah Mei.
"Jangankan kamu, aku yang sudah dewasa waktu kalian masih ingusan saja jarang nampak Septiani keluar rumah" sahut Ayah Febri.
"Benar juga ya pak, dari dulu ibunya Juni jarang sekali bersosialisasi dengan warga. Cuma pak Bagyo yang benar-benar dikenal warga," timpal Ibu Febri (Pak Bagyo adalah ayah dari ibu Juni / kakek Juni).
-Tamat-