Sumpah Pocong (Part 5)

Dukun Millenial
INGAT!! Di dunia ini kita tidak pernah sendirian....
Konten dari Pengguna
10 Mei 2020 22:58 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dukun Millenial tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pocong, dok: pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pocong, dok: pixabay
ADVERTISEMENT
Katanya, Sulis sakit keras. Badannya telah lumpuh total, hanya mampu berbaring di ranjangnya. Matanya selalu melotot, ada borok di sekujur tubuhnya, padahal perutnya semakin membuncit karena janin yang dikandungnya. Bu Sri memohon untuk mengantar Sulis ke Rumah Sakit.
ADVERTISEMENT
Karena waktu itu, hanya keluargaku yang memiliki mobil. Akhirnya tanpa pikir panjang, aku dan suamiku mengantar Sulis saat itu juga.
Sulis sudah seperti mayat hidup bila ku lihat. Matanya terbuka, masih bernafas, namun tidak bisa di ajak bicara, dan tidak mampu bergerak. Borok di sekujur tubuhnya berbau sangat busuk.
Sesampai di RS, Sulis langsung ditangani oleh dokter. Hampir 3 jam kami menunggu hasil pemeriksaan dokter, setelah itu kami ketahui bahwa Sulis menderita diabetes akut yang membuat sekujur tubuhnya terluka dan bernanah.
[Cerita ini diadaptasi dari Twitter/niskala_sekala]
Setelah satu hari dirawat, Sulis akhirnya menghembuskan napas terakhir. Beruntung kata dokter, janin dalam perutnya belum memiliki nyawa, bentuknya pun belum sempurna.
Bu Sri dan pak Riswan sangat terpukul atas kematian Sulis. Warga yang ramai melayat ke rumahnya justru memperlihatkan kebengisan mereka, bahkan tak segan saling berbisik satu sama lain dan berkata bahwa ini adalah bukti kedustaan sumpah Sulis.
Ilustrasi kematian, dok: pixabay
"Mampuslah, orang sudah kepergok gitu kok ya masih ngelak, malah berani-beraninya Sumpah Pocong, ginilah sudah kena karmanya," ucap salah seorang warga di sampingku.
ADVERTISEMENT
Sulis segera dimakamkan. Malam harinya, seperti biasa keluarga Sulis mengadakan tahlil 7 harian. Tepat di hari keempat setelah kematian Sulis, Kidung pulang kampung.
[Sudut pandang ibu selesai]
Aku mencoba mencerna apa yang diceritakan ibu, namun rasanya masih tidak percaya bahwa Sulis seperti itu. Memang, aku sempat ada perasaan suka saat SMK, namun perasaan itu sudah pudar sejak aku merantau di Jakarta.
Aku masuk ke kamarku dan mengotak-atik HPku, aku melihat nomor tak dikenal yang tempo hari mendadak telepon. Aku coba panggil nomor tersebut, namun ternyata sudah tidak aktif.
Aku sangat penasaran siapa sebenarnya laki-laki di telepon kemarin, kenapa sampai mengancam aku.
[Sudut pandang Bu Sri]
Setelah kematian anakku, aku seperti kehilangan semangat untuk hidup, terlebih Sulis anak semata wayang, karena rahimku yang diangkat beberapa bulan setelah Sulis lahir. Malam pertama setelah Sulis dimakamkan, aku benar-benar tidak bisa tidur.
ADVERTISEMENT
Aku membayangkan sedang apa anakku disana, apakah sedang disiksa atau sedang bahagia. Suamiku terlihat sangat stres karena dia yang menyuruh Sulis untuk melakukan Sumpah Pocong.
Tak disangka Sulis berdusta dengan sumpahnya. Salah apa aku mengandung dia, rasanya aku tidak pernah ngidam yang macam-macam. Dari kecil selalu ku ajarkan etika dan sopan santun. Namun, kenapa Sulis menjadi seperti itu, tega membohongi kedua orang tua dan berani-beraninya melakukan perbuatan tidak senonoh.
Terkadang, rasa amarah muncul dalam benakku, karena ulah Sulis yang begitu bodoh sudah hampir menghancurkan keseluruhan hidupku dan suamiku. Tetapi, setelah itu aku kembali tersadar, bagaimanapun keadaan anakku, dia tetap anak yang dulu ku kandung, dia anak yang ku besarkan dengan cinta, dia anak tersayangku.
Ilustrasi ibu dan anak, dok: pixabay
Namun, tiba-tiba suara pintu belakang diketuk membuyarkan lamunan dan pikiranku yang berkecamuk. Aku bergegas ke dapur dan membuka pintu belakang. Tidak ada siapa-siapa. Aku menuju ruang tengah, hanya ada suamiku yang tengah tertidur lelap di sofa.
ADVERTISEMENT
Terdengar kembali suara ketukan di pintu depan, saat aku hendak membuka, suara ketukan pindah ke pintu belakang. Begitu seterusnya, bolak-balik depan belakang.
Lalu aku coba tunggu di kaca jendela depan yang langsung menghadap ke teras dan halaman. Aku mengintipnya dari celah gorden, ternyata itu adalah sosok pocong yang melayang-layang mengetuk-ngetukan kepalanya di pintu. Sambil tertawa cekikikan. Kemudian terbang memutari rumah dan mengetuk pintu belakang.
Kakiku terasa lemas dan kaku, aku ingin segera berlari dan membangunkan suamiku, namun badanku benar-benar terpaku dan sulit digerakkan.
Sampai tiba-tiba sosok itu menyadari bahwa dirinya sedang diintip melalui gorden. Perlahan dia melayang mendekat ke arah kaca jendela dan berdiam diri di depan wajahku persis (hanya terpisah kaca).
ADVERTISEMENT
Itu adalah Sulis anakku. Wajahnya dipenuhi borok dan belatung yang menjijikan.
"Ibu aku pengen pulang bu," ucapnya lembut dan pasrah.
"Ibu aku tidak punya teman di kuburan, tolong bukain pintu bu," namun seketika wajahnya yang tadi teduh berubah menyeringai ke arahku, matanya merah melotot dan ada taring di giginya.
Aku hanya bisa gelagapan menyaksikan hal tersebut, ingin berteriak pun pita suaraku seakan habis, hanya bisa bersuara seperti orang mengigau. Tak lama setelah itu aku pingsan. Ketika aku tersadar aku sudah terbaring di kasur, dan suamiku duduk di sampingku.
"Bu? sudah sadar? kamu tuh kenapa kok pingsan di ruang tamu?," tanya suamiku.
"Ini jam berapa pak? aku lama pingsannya?," jawabku sekaligus bertanya balik.
ADVERTISEMENT
"Ini jam setengah 3, gak lama cuma satu jam. Heh kenapa kok pingsan di ruang tamu?," suamiku kian penasaran.
Aku pun menceritakan detail kejadian yang tadi aku alami.
"Kayaknya Sulis gak tenang pak disana, kita harus gimana ya?, apa perlu minta bantuan Mbah Gandon?,"
Akhirnya aku dan suami sepakat untuk meminta bantuan Mbah Gandon untuk sekadar menanyakan kepada Sulis apa yang dia mau, mengapa masih mengganggu orangtuanya sendiri.
Bersambung...