Teluh: Kamu Harus Mati (Part 1)

Dukun Millenial
INGAT!! Di dunia ini kita tidak pernah sendirian....
Konten dari Pengguna
17 September 2021 20:34 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dukun Millenial tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Ilmu Hitam, dok: pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Ilmu Hitam, dok: pixabay
ADVERTISEMENT
Saya terima Nikahnya Karina bin Yustria dengan maskawin seperangkat alat sholat dan uang tunai 1 juta rupiah.
ADVERTISEMENT
Sah..
Sah....
Riuh suara tamu undangan memberikan selamat kepadaku dan suamiku pada pagi hari itu. Oh iya..Perkenalkan saya Karina Yustika, orang yang akan menjadi korban pesakitan dalam cerita kali ini.
Hari ini saya dinikahi oleh seorang pria baik bernama Wanto. Walaupun ini bukan pernikahan pertama yang saya jalani, tapi rasa bahagia lebih bersinar di hati saya.
Bagaimana tidak, di tengah status saya sebagai seorang janda beranak satu, masih ada pria yang mau menerima keadaan ini, dan mau untuk menyayangi, menafkahi saya dan anak saya.
Belum lagi perilaku mas Wanto yang dapat dikategorikan pria alim yang selalu dekat dengan agama, begitulah hati saya mendeskripsikan tentang dia.
Ya setidaknya pikiran itu terus terjaga, sebelum saya mengetahui kebenaran kelam akan sisi lain mas Wanto, sisi yang mengantarkan saya menuju pintu gerbang kesesatan.
ADVERTISEMENT
Selang seminggu dari pernikahan, Mas Wanto harus kembali ke Jakarta karena masa cutinya sudah habis, untuk sementara aku dititipkan di rumah orang tuaku, dia berjanji akan menjemput diriku beserta putri semata wayang ku Lena di akhir bulan nanti.
Sedikit kisah tentang pertemuan kami yang bisa dibilang seperti mie, sangat instan. Berawal dari medsos kami berkenalan dan saling tukar nomer, Mas wanto sendiri hanya dua kali menemuiku, dan selebihnya hanya berkomunikasi via telfon.
[Cerita ini diadaptasi dari Twitter/nyata74042956]
Namun pertemuan kedualah yang melululantahkan hatiku, aku seperti tidak dapat menolak lamarannya. Dia layak disebut pria karena langsung membawa ibundanya dan beberapa perwakilan keluarga untuk melamarku, hanya berselang lima bulan perkenalan itu dan kami memantapkan diri naik ke pelaminan.
ADVERTISEMENT
Mas Wanto hanya memiliki seorang ibu, sementara ayahnya sudah berpulang sewaktu dia SMP, sementara aku hanya memiliki Ayah yang masih setia menjaga diriku dan adik lelaki ku. Ibunda ku sudah lama berpulang, sesaat setalah melahirkan adik semata wayang ku.
Akhir bulan tiba, Mas Wanto datang memenuhi janji, dibawanya kami pergi guna menempuh kehidupan baru. Rasa cintaku kian bertambah, semula aku mengira akan tinggal bersama ibu mertua, namun Mas Wanto rupanya sudah menyiapkan tempat untuk kami bernaung, lokasinya berada di salah satu kota madya yang menyangga Kota Jakarta.
Ilustrasi pengantin, dok: pixabay
Keadaannya cukup asri, hanya saja masih tergolong sepi, walau sudah banyak rumah yang berdiri di sana, hanya beberapa kepala keluarga yang mendiami, sisanya bangunan sepi yanng sepertinya hanya sebagai investasi bagi pemiliknya.
ADVERTISEMENT
Sebagai gambaran saja, untuk blok di rumah itu ada 15 rumah lain, dan hanya 4 rumah yang sudah terisi, dengan kata lain 11 rumah masih kosong, selain itu ada 5-6 rumah yang kondisinya sangat memprihatinkan, hampir sebagain besar bagiannya roboh dan dipenuhi oleh ilalang liar.
Rumah yang kami tempati terdiri dari tiga kamar tidur, dua berada di bagian depan, sementata dapur dan kamar mandi berada di bagian belakang, cukup aneh karena satu kamar tidur lagi berposisi di sebelah kamar mandi dan dapur.
Kamar itu terlihat penuh misteri, di mana bagian pintunya terkunci menggunakan rantai, belum lagi posisi pintunya yang menghadap kamar mandi, hal itu cukup membuat bulu kudukku merinding.
Aku sempat menanyakan ke Mas Wanto perihal kamar itu, dan dia berkata dulu waktu bangun salah konsep, dan akhirnya menjadikan kamar itu sebagai gudang hingga saat ini.
ADVERTISEMENT
Dari penuturan mas Wanto, aku juga mengetahui bahwasanya rumah itu sudah dari lima tahun lalu dibeli olehnya, dan lebih konyol lagi Mas Wanto malah menggodaku, dengan menceritakan kisah horor yang sering terjadi di daerah itu.
Ilustrasi rumah, dok: pixabay
Aku sempat kesal melihat tawa Mas Wanto yang senang akan rasa takutku, dia puas tertawa melihat betapa penakutnya diriku.
Kehidupan kami berjalan mesra, selayaknya kehidupan pengantin baru yang lagi hangat hangatnya. Mas Wanto juga memperlakukan Lena seperti anak kandungnya sendiri.
Hingga tiga bulan berlalu, bersamaan dengan hujan deras yang turun membasahi daratan di senja yang mulai menyapa. Jam Sudah menunjukan pukul 6 sore, namun Mas Wanto belum tiba di rumah.
Seperti biasa, kuhabiskan aktivitas sebagaimana ibu rumah tangga lazimnya, selang aku menidurkan Lena di kamar.
ADVERTISEMENT
Trengk.. treng.. trengg..
Terdengar bunyi benturan benda besi dari arah depan. Mas Wanto pulang pikir ku saat itu. Bergegas kuambilkan payung dan kunci gerbang, mengingat hujan yang masih turun dengan derasnya.
Langkahku sigap, dengan tangan yang sudah menggenggam sebuah payung. Kubuka pintu depan, sontak aku berteriak.
"Hei.... Siapa kamu?!" seorang wanita di tengah hujan deras mencoba membuka gembok pagar itu.
Sontak dia menghentikan aktivitasnya, dan menatap sinis ke arahku. Takut wanita itu berniat jahat, atau mungkin dia tidak sendiri.
Aku langsung berteriak.
"Tolong... Tolong....." wanita itu gugup, seiring dengan teriakan minta tolong yang terus aku lakukan.
Tatapannya menoleh ke berbagai arah, seolah memastikan tidak ada yang memergoki aksinya saat itu. Samar terdengar ucapannya di tengah suara hujan yang masih menambah horor suasana.
ADVERTISEMENT
"Awas lo ban*sat!" katanya sembari berlari pergi meninggalkanku.
Darah seakan turun melepaskan seluruh sendi di tubuh, tanpa sadar aku merintikan air mata. Pikiranku buyar, kosong, hanyut dalam rasa takut akan pristiwa gila yang baru saja terjadi.
Saat itu aku tidak tahu harus berbuat apa, selain hanya berjaga di depan pintu sembari berharap wanita jalang itu tidak kembali lagi dan Mas Wanto segera pulang ke rumah.
Lama aku menanti, Mas Wanto tak kunjung kembali, konsentrasiku terpecah kala terdengar panggilan memangil, panggilan itu seperti menangis.
Bersambung...