Teluh: Kamu Harus Mati (Part 4)

Dukun Millenial
INGAT!! Di dunia ini kita tidak pernah sendirian....
Konten dari Pengguna
26 September 2021 19:30 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dukun Millenial tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi ilmu hitam, dok: pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi ilmu hitam, dok: pixabay
ADVERTISEMENT
Seperti saat itu, beberapa warga yang masih berjaga di pos ronda, datang ke rumah, menyalami kami dan menanyakan prihal kepulangan kami yang sangat dadakan.
ADVERTISEMENT
Mas Wanto menjawab singkat
"Biar suprise pak," jawabnya kepada ayahanda dan beberapa warga yang ada di sana.
Aku tidak menyalahkan Mas Wanto, mungkin dalam hatinya tidak mau permasalahan ini menjadi besar yang mungkin bisa menjadi Aib bagi keluarga kecil kami.
Mas Wanto hanya dua hari menginap di rumah, perkataanya seolah membuat aku de javu, dia berjanji akan kembali menjemput kami, tapi kali ini tidak ada kata akhir bulan.
"Setelah semua normal nanti Mas jemput ya," katanya padaku.
Malam sebelum Mas Wanto berencana pulang, keganjilan serta firasat tidak menyenangkan hadir dalam pikiranku.
Bagaimana tidak? sedari magrib menjelang, wajahnya terlihat pucat, dia seperti linglung, matanya jelalatan menilik ke berbagai arah, keringat dingin menyucur di dahinya.
ADVERTISEMENT
"Kamu kenapa mas?" sempatku bertanya.
"e.. he.. ee... nda. Endak apapah dek," jawabnya seperti orang yang tidak fokus.
[Cerita ini diadaptasi dari Twitter/nyata74042956]
Sebotol air pemberian Ustadz Maliq, diberikan Mas Wanto kepadaku sebelum kepulangannya di pagi itu.
"Kalau Lena kambuh lagi, minumkan air ini ya dek, ingat kalau penyakitnya kambuh saja," pesannya kepadaku.
Berat bagiku melepas kepergiannya, apalagi mengingat akar permasalah ini baru memasuki babak baru. Sebentar kupeluk dia, mencoba menenangkan hati ku.
"Jaga diri ya Mas," kataku kepadanya.
Beberapa hari berselang keadaan berlangsung membaik, Lena tidak lagi memunculkan glagat aneh, Komunikasiku dengan Mas Wanto pun berjalan lancar.
Keadaan rumah berangsunr kondusif, Ustdz Maliq yang diundang ke rumah berhasil menemukan tempat di mana Teluh itu ditanam. Benda berbentuk seperti boneka, terbungkus kain putih, terdapat tusukan menggunakan jarum hampir di seluruh bagian, ysng disematkan dengan tanah dan tetesan darah, begitulah penuturan Mas Wanto kepadaku.
Ilustrasi santet, dok: pixabay
Malah Mas Wanto juga sudah mengisyaratkan akan menjemputku dalam kurun 1-2 minggu ke depan, ketika kerjaannya lenggang.
ADVERTISEMENT
Baru seminggu informasi itu kuterima, kabar baik seketika berubah tragis, tiga hari lamanya aku lost kontak dengan Mas Wanto, nomornya mati dan tidak ada kabar sama sekali.
Terlihat tidak sopan, kuberanikan diri menghubungi ibu mertua, guna mendapatkan kabar Mas Wanto. Firasatku semakin tidak karuan, kala kudengar bawasannya Mas Wanto sendiri sudah tiga minggu tidak berkunjung atau menghubungi beliau.
Berat hati kutitipkan Lena ke ayah kandungnya, mengingat di rumah hanya ada bapak yang harus berkerja, sementara adikku, masih bersekolah. Keputusan yang berat yang di kemudian hari nanti menjadi penyesalan terberat di hidupku.
Bermodalkan uang seadannya aku nekat kembali ke Jakarta, guna mencari tau apa yang terjadi dengan Mas Wanto.
Jalan nekat yang kupilih merupakan keputusan tepat, bila mana aku tidak kembali ke Jakarta, mungkin Mas Wanto hanya tinggal kenangan.
Ilustrasi terkapar, dok: pixabay
Kudapati Mas Wanto tergeletak lemah di salah satu kamar, tubuhnya kering, dengan wajah pucat, dia tergulai lemas tak berdaya, pelipis matamya tampak menghitam, belum lagi sekujur tubuhnya memar berwarna biru lebam, di bagian bawah pahanya basah, terciprat kotoran yang mulai mengering.
ADVERTISEMENT
Bahkan kotoran itu tercecer hampir diseluruh bagian bawah kasur, bau busuk yang teramat pesing terasa menyengat di dalam kamar itu.
Aku menangis melihat kondisi Mas Wanto,
"Kamu kenapa Mas," kataku sambil memegang tangannya.
Mas Wanto tampak seperti sudah kehilangan kesadarannya dan tidak mampu menjawab pertanyaanku.
Namun air mata juga tetiba mengalir dari matanya, seolah menyadari kehadiranku. Saat itu juga aku berlari, pergi menuju ke rumah beberapa tetangga, memohon pada mereka untuk membantuku bergegas membawa Mas Wanto menuju Rumah Sakit.
Setibanya kami di RS Mas Wanto langsung mendapatkan penanganan khusus, dia dirawat di kamar icu. Buntu, itulah hal yang kualami, aku tidak tau harus berbuat apa. Hanya ibu mertua yang dapat kuharapkan menjadi tempatku berbagi kesedihan saat ini.
ADVERTISEMENT
Sehari suntuk kujaga Mas Wanto, kupijit kaki, tanganya dan berbicara apa saja yang aku bisa, berharap hal kecil itu dapat direspon oleh Mas Wanto dan memberikan semangat kepadanya untuk sembuh.
Keesokan paginya, ibu mertuaku baru tiba di RS, Kehadiran beliau bersamaan dengan jadwal kontrol dokter yang menangani Mas Wanto. Dokter itu menginformasikan hasil lab dan ronsen dari Mas Wanto. Transient Ischemic Attak, lebih dikenal dengan istilah Stroke, begitulah vonis yang dijatuhkan padanya.
Bersambung...