Teror Pocong Kiriman (Part 1)

Dukun Millenial
INGAT!! Di dunia ini kita tidak pernah sendirian....
Konten dari Pengguna
29 Maret 2020 21:18 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dukun Millenial tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Teror Pocong Kiriman, dok: pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Teror Pocong Kiriman, dok: pixabay
ADVERTISEMENT
Tak ada yang spesial malam ini, tak terkecuali hari ini malam jum’at legi dan jarum jam masih bergantung di angka 22.00. Suasana malam yang sesekali diiringi suara jangkrik saling bersahutan di luaran rumah.
ADVERTISEMENT
Bu Sri yang kala itu terjaga dari tidurnya melangkah gontai ke arah dapur, tenggorokannya dirasa kering karena haus. Untuk menuju ke dapur, Bu Sri harus melewati Lorong gelap yang melewati ruang tamu bercahayakan temaram. Sesaat kepalanya tak sengaja menoleh, matanya menangkap gorden yang tersingkap, belum menutup jendela dengan sempurna.
Sesekali ia memegang dada kirinya yang terasa sakit.
“Kenapa gorden sering lupa ditutup,” Gumam Bu Sri, Wanita paruh baya itu akhirnya membelokkan langkah ke ruang tamu menuju jendela. Dilihatnya suasana malam perumahan begitu pekat, meski lampu jalan menerangi sekitar.
Tak seperti biasa, ntah kenapa matanya malah memaksa untuk melihat rumah kosong sebelah rumahnya. Bulu kuduk Bu Sri terasa meremang tatkala sebuah cahaya kekuningan menyala di salah satu ruangan dalam rumah itu.
ADVERTISEMENT
[Cerita ini diadaptasi dari Twitter.com/chillbanana313]
Pasalnya, sahabat sekaligus tetangganya Bu Intan, maupun anak-anaknya tak pernah menginap di rumah itu sama sekali semenjak mantan suaminya meninggal dunia dua tahun yang lalu. Kalau pun berkunjung, itupun hanya membersihkan rumah dalam satu atau dua bulan sekali.
Lalu, siapakah yang singgah di dalam rumah kosong saat ini? Tak lama kemudian lampu yang menyala di ruangan itu meredup seketika. Kembali gelap sama seperti sebelum-sebelumnya. Bu Sri tersentak dan makin mendekatkan wajahnya untuk mengamati lebih jelas.
Ilustrasi rumah horor, dok: pixabay
Tak ada apapun, malah kabut malam yang datang menyambut diluaran sana. Bu Sri menggelengkan kepala dan berpikir bahwa itu hanya halusinasinya saja. Bu Sri mulai menarik kain gorden, namun sebuah suara kembali mengejutkannya.
ADVERTISEMENT
[GEDEBUKKKKK!!!]
Bu Sri tak jadi menutup gorden. Ia kembali melongok melalui kaca jendela sekali lagi. Di sana, matanya melebar, menangkap sebuntal kain putih berikat tiga seukuran manusia, teronggok di depan halaman rumahnya. Awalnya Bu sri tak begitu jelas melihat buntalan apa itu, hingga asap kabut yang samar-samar menutupi tampak menyingkir perlahan.
Dan benar saja, buntalan tersebut terlihat bergerak-gerak seolah ingin melepaskan diri dari ikatan. Jantung Bu Sri mulai berdegup kencang. Dada kirinya terasa kembali sakit. Bu Sri tercengang, badannnya kaku tak mampu bergerak. Rasa takut benar-benar menggelayuti diri. Ia membiarkan sosok berbuntal memutar diri menghadap padanya.
Dan benar saja, wajah hitam dengan kulit kering dan terkelupas itu mendelik tajam padanya. Mulutnya membentuk sebuah rongga gelap selebar-lebarnya tanpa suara. Masih dengan sekuat tenaga Bu Sri akhirnya berhasil mengerahkan tenaga dan mengeluarkan suara meski dengan nada tergagap.
ADVERTISEMENT
“PO… POO.. POCOOOOOOOOOONG!!!”
Dan malam itu adalah malam awal teror pocong itu dimulai!
[***]
“Gimana keadaan ibu, pak? Hanum dengar dari Angga, Ibu collapse lagi ya,”
Terdengar helaan nafas dari seberang sana “Iya benar. Tapi kamu ndak usah khawatir. Keadaan ibu sekarang sudah membaik,”
“Tolong sampaikan ke ibu. Seminggu lagi Hanum pulang, karena pekan ini hari terakhir KKN. Ibu jangan sampai dibiarin mikir berat-berat pak,”
“Iya.. iya. Nanti bapak sampaikan,”
Hanum terdiam beberapa saat karena teringat isi chatnya dengan Angga, si adik.
“Pak, apa benar penyebab ibu collapse.. itu karena melihat pocong?” Tanya Hanum yang tak dapat menahan isi pertanyaan dalam pikirannya.
Suasana kembali hening beberapa saat, namun suara bernada berat dari seberang pesawat telpon memecah keheningan kemudian.
ADVERTISEMENT
“Num, bapak sendiri juga tak tahu pasti karena tak melihat sendiri. Namun ibu mengatakan demikian. Tapi, apapun itu, kau tau bukan? penyakit ibu terkadang menyebabkan halusinasi saat rasa sakit itu mendera. Yaah, apapun itu doakan saja agar ibu selalu sehat.”
Ilustrasi Hanum menelpon sang ayah, dok: pixabay
Hanum tersenyum tipis mendengar jawaban bapaknya. Yah, bapaknya adalah seorang lelaki yang sedari dulu lebih mengedepankan logika baru mengesampingkan perasaan kemudian.
Pemikiran Hanum sering seirama dengan sang bapak. Dan lagi-lagi ia menyetujui hal tersebut. Berharap apa yang dilihat ibu hanya halusinasi belaka. Beberapa menit kemudian Hanum mengakhiri pembicaraan itu dengan salam.
Ia menatap layar ponsel lalu men-swipe nama ‘Angga’ di nada dering panggil.
“Halo Ngga, mbak sudah menelpon bapak,”
ADVERTISEMENT
“Gimana mbak? Bener kan ibu habis liat pocong?, Bener kan kata Angga?,” Cerocos seorang pemuda memotong ucapan Hanum begitu saja.
“Siapa yang bilang begitu?,” Ucap Hanum kesal karena Angga memotong kata-katanya begitu saja.
“Bapak kan?,”
“Mbak belum bilang begitu. Kamu tiba-tiba aja motong ucapan mbak gitu aja,"
“Loh? Bapak nggak bilang gitu emang?,”
Hanum menghela nafas sejenak. “Nggaaa, bapak memang bilang kalau ibu mengaku ngelihat pocong. Tapi bapak nggak ngelihat sendiri. Kamu tau kan kalau sakit ibu tiba-tiba kambuh, biasanya ibu meracau berhalusinasi melihat yang macam-macam,”
“Tapi kali ini Angga percaya kalau ucapan ibu itu benar mbak,” Sanggah Angga penuh keyakinan.
“Kamu tahu dari mana?,”
“Karena tiga hari setelah kejadian itu, Angga lihat sendiri pocongnya!,”
ADVERTISEMENT
Dahi Hanum mengkerut, ia menggeleng meski tahu Angga tak bisa melihat gerakan kepalanya saat ini.
“Ngaco kamu,”
“Beneran mbak, Angga berani sumpah demi Allah,”
“Hush! Jangan ngomong seperti itu!,” Tegur Hanum.
Baginya ucapan sumpah seperti itu tak bisa dibuat main-main.
“Makanya mbak dengerin cerita Angga dulu,”
Hanum mengangkat pergelangan tangan kirinya, menatap angka digital jam yang sudah menunjuk pukul 14.00. Yah, waktu luangnya masih tersisa banyak hingga ashar nanti.
Bersambung...