Teror Pocong Kiriman (Part 2)

Dukun Millenial
INGAT!! Di dunia ini kita tidak pernah sendirian....
Konten dari Pengguna
31 Maret 2020 21:48 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dukun Millenial tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Teror pocong kiriman, dok: pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Teror pocong kiriman, dok: pixabay
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tak ada salahnya menjadi berpikir lebih terbuka untuk mendengar cerita sang adik sendiri, meski nanti ia-
ADVERTISEMENT
tak yakin bisa mempercayai sepenuhnya. Mengingat adik lelakinya yang satu ini lumayan badung dan tak jarang berbohong.
“Baiklah. Coba ceritakan sama mbak….”
Malam itu aku pulang cukup larut sekitar puluh 23.00 dari mabar (main bareng) game online dirumah Wahyu, teman sekaligus tetangga yang masih satu kompleks perumahan denganku.
Kulihat pagar rumah sudah digembok, namun tak menjadi halangan karena aku biasa saja jika harus memanjatnya. Jelas pula pintu utama rumah juga sudah terkunci. Satu-satunya jalan yang tersisa hanya pintu samping yang mengarah ke dapur.
Ibu selalu membiarkan engsel pengunci tak terkunci begitu saja, karena sudah hafal kebiasaanku yang begini. Dan bapak jarang memeriksa pintu samping tersebut. Seusai memanjat pagar dan menuruninya, dengan langkah setengah mengendap aku berjalan menuju pintu samping arah dapur.
ADVERTISEMENT
Sedangkan untuk menuju arah samping pintu dapur, aku juga ikut melewati sepanjang rumah Pak Anto yang sudah dibiarkan kosong selama hampir dua tahun yang lalu. Namun sebelum aku menjangkau pintu samping, aku mendengar suara orang terbatuk dengan sangat keras.
UHUKK!
Suara batuk itu terdengar dari balik pintu, dok: pixabay
Aku menoleh, mengamati sekitar. Namun tak ada siapapun. Selain angin dingin yang tiba-tiba saja menerpa tengkukku dengan tajam, itu bukan suara bapak sepertinya. Karena setelah kutelisik baik-baik, suaranya ternyata berbeda. Suara itu terdengar lebih berat dan serak dari bapak.
Tunggu dulu? Lalu suara siapa itu? Apa suara maling?
Dengan ragu-ragu aku ingin memastikannya.
“Bapak?”
“……………….”
“Pak?”
“……………….”
“Ini bapak atau bukan ya?”
“…………………..”
Dari situ aku mulai merasakan hawa tak enak. Takut kalau-kalau benar itu maling, akhirnya kuberanikan diri saja untuk segera membuka pintu samping dapur. Saat aku memutar knop pintu aku tak bisa membukanya. Seperti ada sesuatu yang berat mengganjal dibaliknya.
ADVERTISEMENT
“Loh? Masa dikunci?”
Aku kembali memutar knop pintu dan mendorongnya namun tak juga berhasil. Sekali lagi kucoba untuk mendorongnya, mungkin saja pintunya macet. Dan lagi-lagi sesuatu yang berat menahanku untuk masuk kedalam.
Aku penasaran. Jelas aku berhasil memutar knop, itu tandanya pintu tidak dikunci. Hanya saja ada sesuatu yang menahan gerak pintu dari dalam.
“Hei! Siapa di dalam?” Bentakku karena kesal.
“……………………………”
“Cuk!!!”
Akhirnya aku mendorong dengan setengah mendobrak pintu itu beberapa kali dan berhasil. Pintu sedikit menganga. Aku berusaha mengintip dari sedikit celah.
Angga mulai mengintip dari balik pintu, dok: pixabay
Mataku tak sengaja menatap kearah bawah. Aku terlonjak kaget. Pasalnya yang kulihat ada sebuah buntalan kain putih lusuh-
tergeletak menghadang pintu.
“Cuk! Apa itu?”
ADVERTISEMENT
Sontak aku berhenti mendorong dan membiarkan pintu tertutup kembali. Aku terdiam beberapa saat. Jantung berderu kencang. Aku mencoba mengatur nafas beberapa dan mengumpulkan pikiran postif. Tak lama kemudian,
“Pasti karung beras.” Ucapku pada diri sendiri.
Aku kembali mendekati pintu samping, mengambil ancang-ancang untuk kembali mendobrak pintu samping dapur.
BRAK!
Aku berhasil membuka itu dengan mudah. Aku melongo. Menengok sekitar. Pasalnya sesuatu yang mengganjal itu sudah tak tampak lagi. Apa tadi salah lihat? Lagi, aku merasa merinding disekitar tengkuk. Ah sudahlah lebih baik segera kembali ke kamar. Mungkin itu hanya khayalanku saja. Pikirku. Aku kembali menutup pintu dan mengunci dari dalam.
[Cerita ini diadaptasi dari Twitter.com/chillbanana313]
Sesampainya dikamar aku segera berganti pakaian dan merebahkan diri diatas ranjang. Mataku melihat langit-langit, pikiranku sedikit kacau mengingat hal aneh yang baru saja terjadi di pintu samping dapur. Setelah melamun beberapa saat dan rasa kantuk mulai menggelayuti, kuputuskan untuk segera mematikan lampu kamar. Kebiasaanku adalah tidur dalam kondisi gelap. Tepat sesaat aku mematikan lampu dan akan merebahkan diri, kulihat sosok buntalan putih duduk tertekuk diatas lemari kayu jati.
ADVERTISEMENT
Aku tersentak. Meski gelap aku masih bisa melihat hal itu dengan cukup jelas. Sontak aku berlari kearah saklar, memencet tombol nyala kemudian. Namun sosok buntalan berwarna putih itu sudah tak ada. Lagi, jantungku berderu kencang.
Meski sekilas aku benar-benar yakin melihat sosok itu. Sosok mirip POCONG.
“Cuma itu?” Tanya Hanum kemudian setelah yakin adiknya mengakhiri ceritanya.
“Iya mbak. Aku yakin itu pocong. Aku benar-benar jelas melihatnya.” Ucap Angga menggebu-gebu.
“Kamu yakin itu buka guling yang kamu taruh diatas lemarimu sendiri?” Tanya Hanum setengah tertawa.
“Ya sudah kalau mbak nggak percaya!”
TUT!
Angga memutus telpon begitu saja. Hanum kembali menghela nafas. Sepertinya ia harus mempercepat hari kepulangannya tanpa menghadiri perpisahan KKN di desa.
ADVERTISEMENT
Setelah kejadian itu Angga belum berani mematikan lampu kamarnya sendiri. Ia memilih tidur dengan lampu menyala, meski harus rela menahan sedikit sesak karena harus menutup kepalanya dengan bantal maupun guling.
Karena setiap kali ia memadamkan lampu, sosok buntal berwarna putih itu seperti terlihat di sudut-sudut kamarnya. Sore itu Angga begitu Lelah. Ia pun langsung menenggelamkan diri di atas ranjang empuknya tanpa berganti pakaian. Entah sudah berapa jam ia tertidur.
Tau-tau kamarnya sudah gelap begitu saja. Sial! Ia lupa menyalakan lampu. Dengan mata yang kini sudah benar-benar tersadar, Angga beranjak dari posisi rebahnya dan berdiri dari ranjang. Saat pertama melangkah, kaki kanannya menubruk sesuatu yang keras.
BUGH!
“Asu!” Umpatnya
Angga tertunduk kebawah. Kontan ia menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan. Baru saja ia tak sengaja menendang sebuah buntalan putih ikat tiga sebesar manusia.
ADVERTISEMENT
Matanya sudah terbiasa dengan gelap dan bisa melihat dengan cukup jelas. Sosok itu terdiam.
Bersambung...