Diplomasi Hantu dan Penampakannya di Perwakilan Indonesia Luar Negeri

Dumas Radityo
bukan #pengaduanmasyarakat #dumas | #sesdilu62 | jika sopir berbahaya hubungi @lunamanda | jangan pipis berdiri di toilet duduk, terima kasih
Konten dari Pengguna
6 Oktober 2018 15:43 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dumas Radityo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi wisata horor (Foto: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi wisata horor (Foto: Thinkstock)
ADVERTISEMENT
Diplomasi adalah sebuah seni berkomunikasi yang dijalankan oleh negara melalui aparaturnya, diplomat, untuk memajukan kepentingan nasional pada kancah internasional.
ADVERTISEMENT
Pada jalur diplomasi tersebut, negara mempromosikan keberadaannya, menyebarkan pengaruhnya, dan mengambil keuntungan sebesarnya demi kemajuan bangsanya.
Awam diketahui, diplomasi selalu melibatkan bentuknya yang kaku dan resmi, melalui pertemuan berjas dan dasi, pada setiap konferensi dan pertemuan lintas negara. Lazim dijumpai pula diplomasi terjadi pada meja-meja makan malam yang jauh dari kesan membumi. Itulah hard diplomacy.
Globalisasi, dan segala anekdotnya, telah membawa bentuk baru terhadap diplomasi. Budaya menjadi strategi baru terbukti ampuh dan jitu untuk mengedepankan promosi suatu negara.
Mengapa budaya? Karena budaya lebih mudah dipertukarkan, tanpa disemati oleh embel-embel kepentingan nasional yang terkadang semu, dan dinuansai oleh postur politik suatu negara. Budaya mendorong pertukaran ide, gagasan, nilai, dan informasi. Dengan sendirinya pula eksistensi suatu negara, wabil khusus bangsanya, tersampaikan. Itulah soft diplomacy.
ADVERTISEMENT
Bagaimana diplomasi budaya dimaksud mengambil bentuknya dalam kancah diplomasi Indonesia? Cakupannya sangat luas, bisa berupa pekan pertandingan dan eksibisi olahraga, pencak silat salah satunya yang paling marak dipertunjukan di luar negeri.
Kuliner adalah bentuk yang biasa pula dipergunakan sebagai sarana promosi budaya. “The easiest way to win the hearts and minds is through the stomach”, menjadi dalih utama mengapa kuliner merupakan aspek unggulan promosi budaya.
Aspek yang terakhir adalah kesenian, dan yang sesungguhnya merupakan aspek utama. Pagelaran seni: seni visual berupa galeri lukisan, seni suara berupa pagelaran musik bernotasi pentatonik berbeda, seni gabungan visual-suara berupa sendra tari, dan wayang telah menjadi sarana promosi budaya terutama.
ADVERTISEMENT
Namun di luar bentuk lazim diplomasi budaya tersebut, satu hal yang terkadang terlupakan, termajinalkan, meskipun acap kali menimbulkan pertanyaan. Itu adalah diplomasi hantu, dan penampakannya di luar negeri.
Hantu? Iya, hantu. Hantu, dan penampakannya, sudah menjadi suatu hal yang dekat dengan masyarakat Indonesia.
Beragam kemajemukan hantu dapat ditemukan di Indonesia, dan untuk urusan seram-menyeramkan, hantu Indonesia adalah jagonya. Hantu juga sudah menjadi bagian dari komodifikasi seni Indonesia, melalui ragamnya di sinema Indonesia.
Hantu pula yang sudah dipertunjukan di sejumlah pentas seni di luar negeri, salah satunya di Daegu International Horror Festival, Korea Selatan, tanggal 3 Agustus 2017. Kuntilanak sukses dipertontonkan dalam lakon 'Lingsir Wengi: Repertoire Kuntilanak'.
Diplomasi Hantu dan Penampakannya di Perwakilan Indonesia Luar Negeri (1)
zoom-in-whitePerbesar
Foto: Daegu International Horror Festival, Korea Selatan, 3 Agustus 2017, Kemlu RI, diakses pada 6 Oktober 2018
ADVERTISEMENT
Hantu pulalah yang sering dijumpai di perwakilan Indonesia di luar negeri. Silakan bertanya kepada sejumlah diplomat Indonesia yang telah bertugas di luar negeri, pernahkah menjumpai penampakan hantu dalam rentang tugasnya?
Setidaknya ada 3 perwakilan Indonesia di luar negeri yang terkenal dengan penampakan hantu: Kedutaan Besar Indonesia di Washington DC, Perutusan Tetap Indonesia di Jenewa, dan Kedutaan Besar Indonesia di Den Haag.
Kedutaan Besar Indonesia di Washington DC? Ini sudah terkenal. Sejak Ali Sastroamidjojo bertugas sebagai duta besar pertama di sana, sudah terkenal adanya hantu di Kedutaan Besar Indonesia di Washington DC yang terletak di Dupont Circle tersebut.
Hantunya adalah sesosok wanita yang dikenal sebagai Evalyn Walsh, istri pemilik bangunan kedutaan besar sebelumnya. Kedutaan tersebut juga terkenal cursed (dikutuk), karena sang empunya sebelumnya memiliki berlian yang telah mendapatkan kutukan, hope diamond.
Gedung Kedutaan Besar Republik Indonesia di Washington DC (Foto: wikipedia.org)
zoom-in-whitePerbesar
Gedung Kedutaan Besar Republik Indonesia di Washington DC (Foto: wikipedia.org)
Bagaimana dengan Perutusan Tetap Indonesia di Jenewa? Meski tidak setenar Kedutaan Besar Indonesia di Washington DC, Perutusan ini juga berhantu dengan adanya suatu ruangan khusus di loteng yang menyimpan artefak pemilik gedung sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Ada sebuah keranjang tidur bayi (bassinet) yang tidak boleh dipindahkan. Konon, ada penjaga gedung yang mencoba memindahkannya sehari sebelumnya. Keesokannya, barang tersebut sudah duduk manis di tempat semula.
Gedung Perutusan Tetap Republik Indonesia di Jenewa (Foto: kemlu.go.id)
zoom-in-whitePerbesar
Gedung Perutusan Tetap Republik Indonesia di Jenewa (Foto: kemlu.go.id)
Lalu, mengapa ada hantu pula di Kedutaan Besar Indonesia di Den Haag? Ini tidak aneh. Sebagaimana hantu Belanda banyak di jumpai di pekuburan di Jakarta, Jeruk Purut, Karet Bivak, dan lainnya.
Hantu di Kedutaan Besar Indonesia di Den Haag adalah suatu keniscayaan, demikian diungkapkan oleh penulis dan rekan-rekannya yang pernah ditugaskan di sana.
Gedung Kedutaan Besar Republik Indonesia di Den Haag (Foto: wikipedia.org)
zoom-in-whitePerbesar
Gedung Kedutaan Besar Republik Indonesia di Den Haag (Foto: wikipedia.org)
Dari ketiga kedutaan besar tersebut, umumnya rupa hantu yang diambil adalah berupa penampakan sosok wanita, berambut panjang menjuntai, berkeliaran dengan wangi kentang –iya mirip dengan kasus rumah kentang di Pondok Indah, Jakarta– dan berjubah putih panjang. Kuntilanak rupanya bentuk favorit yang diambilnya.
ADVERTISEMENT
Timbul kernyit di dahi. Kenapa kuntilanak ya?
Naga-naganya, hantu-hantu tersebut telah berakulturasi dengan kebudayaan para manusia yang menempati ruang tinggalnya. Diplomat Indonesia yang menempati gedung kedutaan tersebut sering membawa rasa percaya 'kemakhluk-halusan' dalam setiap sudut kehidupannya, termasuk penulis.
Mungkin, sudah saatnya, wisata hantu mulai dibudayakan sebagai soft diplomacy Indonesia. Siapa tahu, saatnya nanti, wisatawan mancanegara tertarik datang ke Indonesia untuk mengetahui bahwa soft diplomacy Indonesia telah memuaskan rasa penasaran akan hantu di Indonesia.
***