Ancaman Nyata Konflik Berkepanjangan di Laut China Selatan

dwi martono
pembaca artikel, dll
Konten dari Pengguna
9 Mei 2024 13:07 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
30
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari dwi martono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi arena konflik di Laut China Selatan. freepik.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi arena konflik di Laut China Selatan. freepik.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Laut China Selatan merupakan wilayah perairan yang sangat strategis dan menjadi wilayah konflik yang melibatkan beberapa negara baik secara langsung maupun tidak langsung. China menjadi salah satu aktor utama dalam sengketa atau konflik di Laut China Selatan dan telah mengklaim kedaulatan wilayah perairan Laut China Selatan tersebut sejak Partai Koumintang dibawah kekuasaan Chiang Kai Shek (1947) berkuasa dengan menetapkan garis demarkasi “Eleven Dash Line” yang kemudian menjadi “Nine Dash Line” setelah wilayah Teluk Tonkin dikeluarkan (1953). Histori atas klaim China tersebut di wilayah perairan Laut China Selatan sampai dengan saat ini masih menjadi dasar yang kuat bagi China untuk terus mengontrol penuh kedaulatan perairan Laut China Selatan dengan mengabaikan adanya hukum laut internasional (UNCLOS ’82). Hal tersebut terbukti kuat pada saat China tidak mengakui hasil keputusan Mahkamah Arbitrase atau Permanent Court of Arbitration (PCA) pada tahun 2016 yang menyatakan gugus kepulauan (terumbu) Spratly merupakan gugus kepulauan milik Filipina atas dasar gugatan Filipina pada tahun 2013. China terus melakukan reklamasi terumbu karang gugus kepulauan (terumbu) Spratly menjadi pulau buatan dan memobilisasi personel serta alutsista militernya. Klaim China atas wilayah perairan di Laut China Selatan tidak hanya melibatkan Filipina atas gugus kepulauan (terumbu) Spratly, namun Vietnam juga menjadi salah satu negara yang dirugikan atas klaim gugus kepulauan (terumbu) Paracel. Klaim China atas gugus kepulauan (terumbu) Paracel dengan Vietnam menimbulkan konflik yang berujung pada terjadinya peperangan (kontak tembak) tahun 1974 dan dikenal sebagai Pertempuran Kepulauan Paracel (Pertempuran Hoang Sa/Vietnam atau Pertempuran Xisha/China).
ADVERTISEMENT
Apabila dihadapkan dengan sisi strategis dari wilayah perairan Laut China Selatan, di wilayah perairan ini tidak hanya membahas tentang kedaulatan batas maritim negara melainkan terdapat beberapa sisi strategis lainnya seperti kebebasan bernavigasi sebagai jalur perdagangan, sumber daya alam dan mineral yang berlimpah dan adanya jalur kabel bawah laut yang menghubungkan antar negara. Eskalasi konflik Laut China Selatan yang terus memanas dan didominasi oleh China secara tidak langsung menjadi perhatian dan sorotan dunia internasional dan salah satunya adalah negara adidaya yaitu Amerika Serikat. Pada konflik Laut China Selatan ini, Amerika Serikat memposisikan negaranya sebagai salah satu negara yang memperjuangkan hak kebebasan bernavigasi di Laut China Selatan. Dan hal tersebut secara tidak langsung membawa negara Amerika Serikat sebagai negara non-state actor terlibat dalam konflik di Laut China Selatan.
ADVERTISEMENT
1. POSISI INDONESIA TERHADAP KONFLIK LAUT CHINA SELATAN.
Besarnya hegemoni China di Laut China Selatan atas klaim “Nine Dash Line” yang menjadi dasar atas pengakuan kedaulatan secara sepihak oleh China dan secara tidak langsung berdampak terhadap kedaulatan batas maritim Indonesia di perairan Natuna, yang mana klaim China atas dasar “Nine Dash Line” tersebut menjadi tumpang tindih dengan batas wilayah maritim negara Indonesia berdasarkan hukum laut internasional (UNCLOS ’82). Dengan adanya tumpang tindih batas maritim antara Indonesia dan China yang berdasarkan atas UNLOS ’82 dan “Nine Dash Line”, maka wilayah perairan Natuna menjadi area atau wilayah yang rentan akan terjadinya pelanggaran kedaulatan.
Indonesia yang sebagian wilayah perairannya masuk dalam klaim China atas dasar “Nine Dash Line” menempatkan posisi sebagai negara yang tidak mengklaim (non-claimant states) atas Laut China Selatan. Namun demikian, apabila dilihat dari intensitas atau eskalasi yang dilakukan oleh China melalui kegiatan patroli China Coast Guard (CCG) dan aktivitas kapal nelayan China dari tahun 2020 sampai dengan saat ini yang memasuki batas ZEE Indonesia tentunya menjadi ancaman nyata bagi kedaulatan wilayah perairan Indonesia. Dan apabila hal tersebut tidak ditanggapi secara serius oleh pemerintah Indonesia, besar kemungkinan China akan melaksanakan eksplorasi sumber daya alam dan mineral di wilayah perairan Indonesia yang di klaimnya. China dengan kekuatan ekonomi dan militernya terus melakukan upaya provokatif dalam mengontrol penuh wilayah kedaulatan Laut China Selatan.
ADVERTISEMENT
2. SIKAP INDONESIA TERHADAP KONFLIK LAUT CHINA SELATAN.
Indonesia atas dasar kebijakan politik luar negeri bebas aktif, akan mengedepankan diplomasi dalam menyikapi konflik berkepanjangan di Laut China Selatan. Walaupun Indonesia bukan merupakan negara yang mengklaim (non-claimant states) atas Laut China Selatan, Indonesia terus mempertahankan kedaulatan wilayah perairannya di perairan Natuna melalui upaya kebijakan internal maupun ekternal. Langkah atau kebijakan nyata yang diambil oleh pemerintah Indonesia untuk menjaga kedaulatan wilayah perairan yang terjadi tumpang tindih yaitu dengan membentuk satuan TNI terintegrasi di Natuna dan mempertebal jumlah personel TNI serta melengkapi alutsista terutama laut dan udara di Natuna. Selain itu, salah satu langkah tepat yang diambil oleh pemerintah Indonesia dalam menjaga kedaulatan wilayah perairan Indonesia di Natuna yaitu mengubah nama Laut China Selatan menjadi Laut Natuna Utara pada tahun 2017. Walaupun langkah Indonesia melakukan perubahan nama mendapatkan pertentangan dan protes dari China, Indonesia secara tegas menyatakan sikap bahwa wilayah perairan Natuna Utara merupakan wilayah kedaulatan perairan Indonesia secara sah berdasarkan hukum laut internasional (UNCLOS ’82).
ADVERTISEMENT
Selain langkah atau kebijakan internal yang diambil pemerintah Indonesia untuk menyatakan sikap terhadap kedaulatan wilayah perairan di Natuna, Indonesia dapat memaksimalkan langkah ekternal melalui diplomasi dengan memanfaatkan forum ASEAN Defence Ministers' Meeting - Plus (ADMM-Plus) yang didalamnya ikut serta negara-negara aktor dengan kekuatan ekonomi dan militer seperti China dan Amerika Serikat. Melalui forum ASEAN Defence Ministers' Meeting - Plus (ADMM-Plus), Indonesia dapat mendorong isu terkait keamanan dan kestabilan wilayah perairan Laut China Selatan.