Konten dari Pengguna

Bencana, Keseimbangan Ekosistem, dan Ekologi Politik

Dwi Munthaha
Penikmat politik klasik dan kontemporer. Peneliti di Bhuminara Institute
11 Maret 2021 6:38 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dwi Munthaha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi korban bencana alam. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi korban bencana alam. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Bencana alam merupakan kejadian yang selalu berulang pada setiap tahunnya. Sebaik-baik manusia merencanakan pencegahannya, keniscayaan atas bencana tak dapat dielakkan. Apalagi dengan perencanaan yang buruk dan juga perilaku yang memancing bencana itu terjadi. Di awal tahun 2021 hingga pertengahan Maret ini, kita sudah mengalami rentetan peristiwa bencana di beberapa daerah: gempa bumi, gunung meletus, badai, banjir, rob, dan tanah longsor. Badan Metreologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memprediksi hingga akhir Maret, cuaca ekstrem masih akan berpotensi bencana. Selepas bulan Maret, wilayah di Indonesia akan memulai musim kemarau yang juga memiliki potensi bencana lain yakni angin puting beliung dan kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
ADVERTISEMENT
Dari berbagai peristiwa bencana tersebut, muncul beberapa spekulasi di ruang publik tentang penyebab bencana. Namun, sebagian besar terutama di media sosial, pernyataan yang muncul lebih mengedepankan faktor spiritual, bahwa bencana adalah bentuk teguran dari Tuhan. Sayangnya, pernyataan-pernyataan itu, lebih banyak ingin menunjukkan perilaku kekuasaan yang dianggap menyalahi nilai-nilai kepercayaan yang diyakini oleh golongan tertentu.
Residu kontestasi politik nasional yang membelah masyarakat, pada akhirnya membuat senyap dan mengarah ke lenyapnya dimensi kritis untuk mengawal jalannya kekuasaan. Kecenderungannya lebih pada politik identitas. Spekulasi semacam itu, tidak dapat digolongkan pada bentuk kritik. Alih-alih kritis, dimensi magisnya yang lebih mengemuka.
Terlepas dari semua itu, bencana-bencana yang terjadi saat ini, memiliki dampak yang lebih besar, karena masih berlangsungnya bencana non alam, Covid 19 yang terjadi setahun terakhir ini.
ADVERTISEMENT
Bencana Kehendak Manusia
Saat terjadi bencana, tindakan refleks yang biasa dilakukan adalah meminta pertolongan Tuhan. Tuhan dianggap sedang menguji keimanan manusia, jika mampu diterima dengan ikhlas dan sabar, ganjaran pahala sudah menanti untuk bekal di akhirat. Sementara, dalam Al Quran, banyak ditemui surat dan ayat-ayat yang menjelaskan tentang penciptaan sistem alam semesta berikut tata nilainya. Namun, kecenderungan umum menganggap bencana berasal dari Tuhan, bukan mencoba merefleksikan bagaimana manusia juga memiliki peran untuk terjadinya bencana.
Sedikit dari banyak contoh yang ada dalam Al Quran, terdapat dalam Surat Shad (38); ayat 27-28. Allah menciptakan bumi dan langit bukan tanpa hikmah. Hanya orang kafir saja yang mengingkarinya. Makna kafir dalam ayat itu adalah orang yang melakukan kerusakan di muka bumi. Menjaga keseimbangan dengan tidak melakukan tindakan merusak menjadi makna penting dari tugas manusia di muka bumi.
ADVERTISEMENT
Konsep keseimbangan bukan hanya diajarkan dalam Islam, agama-agama lain juga memilikinya. Ajaran Hindu misalnya, dikenal Tri Hita Karana, yakni pemahaman tentang tiga penyebab terjadinya kebahagiaan. Dibutuhkan keseimbangan hubungan: antara manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan Tuhan.
Homeostatis Ekosistem
Jika meyakini Tuhan menciptakan bumi berikut sistemnya, maka harus diyakini pula ada keterhubungan antara semua mahluk dan benda alam yang ada di dalamnya. Ilmu pengetahuan menjelaskan, adanya telekoneksi mencairnya es di Benua Antartika, dengan bencana-bencana seperti banjir, gelombang pasang, kekeringan, kelaparan di banyak wilayah yang jauh dari tempat itu.
Panas diyakini dapat mencairkan es. Pengetahuan sederhana ini sudah diketahui oleh banyak orang. Panas secara alamiah berasal dari matahari. Panas yang dihasilkan matahari menjadi kontributor utama bagi terciptanya energi untuk seluruh mahluk hidup yang ada di bumi. Alam memiliki kemampuan sistemik untuk menjaga keseimbangannya. Kemampuan itu disebut homeostatis ekosistem. Ekosistem memiliki mekanisme yang unik untuk menangkal gangguan-gangguan yang dihadapinya.
ADVERTISEMENT
Meski demikian, persistensi ekosistem memiliki batasan ketika gangguan-gangguan yang dihadapi telah melampaui batas kemampuannya. Perubahan iklim (Climate Change) merupakan satu contoh yang sekarang ramai diperbincangkan. Frasa perubahan iklim, sebelumnya lebih dikenal dengan pemanasan global (global warming). Entah mengapa saat ini istilah tersebut jarang digunakan, hingga mengurangi dampak psikologis dari kebahayaannya. Pemanasan global lebih mudah dipahami sebagai ancaman dari pada perubahan iklim yang terkesan netral.
Pada abad 21 ini, beberapa peristiwa peningkat suhu udara yang mengakibatkan hawa panas telah mengakibatkan kematian massal manusia. Tahun 2003, serangan gelombang panas di Eropa dari data yang dimutakhirkan mencapai prediksi angka hingga 70 ribu kematian (J.-M. Robine et al,2008). Tahun 2015, Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC ) mencatat ribuan kematian dijumpai di India dan Pakistan karena penyebab yang sama.
ADVERTISEMENT
Dampak yang paling dikhawatirkan dari pemanasan global yang berakibat pada perubahan iklim, adalah percepatan mencairnya es di Benua Antartika. IPCC memberi prediksi kenaikan suhu bumi akan mencapai 4 derajat di tahun 2100. Kenaikan itu akan menenggelamkan ratusan kota, kebakaran hutan dan serangan hawa panas yang berakibat kematian dalam jumlah yang lebih besar. Artinya bumi menjadi semakin tidak layak untuk dihuni untuk generasi masa depan (Wells,2019).
Ekologi Politik
Lalu apa yang membuat kemampuan homeostatis ekosistem terganggu? Sejak revolusi industri, alam dieksploitasi secara berlebihan untuk kepentingan manusia. Eksploitasi tersebut dikendalikan oleh segelintir kelompok yang memiliki pengetahuan dan sumber daya kapital dalam jumlah yang besar. Untuk menjaga aktivitas itu tetap berlangsung tanpa gangguan, mereka menjalin relasi dengan penguasa politik (Winters, 2011).
ADVERTISEMENT
Kerusakan ekologi yang mengancam masa depan manusia, pada kenyataannya banyak dipengaruhi oleh praktik ekonomi politik di sektor sumber daya alam. Bukan hanya lingkungan saja yang rusak, penyakit-penyakit baru pun bermunculan (Gorz,1975). Praktik pengrusakan alam yang nyata terjadi adalah deforestasi (penggundulan hutan) untuk kepentingan perkebunan dan tambang, selain pencemaran lingkungan akibat limbah industri.
Di Indonesia, pascareformasi sejak tahun 2002 hingga 2019, deforestasi telah mencapai angka 9,48 juta hektar (Global Forest Watch, 2020). Jika ditotal dari sejak kemerdekaan, Indonesia sudah kehilangan 23 juta hektar hutan alam (FWI,2020). Sebagian besar deforestasi tersebut didorong oleh perubahan fungsi hutan untuk kepentingan perkebunan dan tambang. Aktor-aktor utamanya adalah nama-nama yang ajeg berada dalam daftar urutan orang-orang terkaya di Indonesia versi majalah Forbes.
ADVERTISEMENT
Untuk memahami deforestasi yang terkait dengan politik kekuasaan, analisis ekonomi politik perlu dilengkapi dengan kajian kritis ekologi politik. Ekologi politik dianggap dimensi penting yang dapat mempertautkan ekologi tidak hanya dengan pemanfaatan lingkungan mikro tertentu pada dirinya sendiri, tetapi juga interaksi ekologisnya dengan dengan kekuatan-kekuatan yang muncul oleh proses-proses ekonomi politik (Wolf, 1999).
Kajian kritis, bagaimana lingkungan alam dikelola merupakan agenda yang harus terus dilakukan. Kebahayaan dari praktik pembangunan yang mengutamakan pertumbuhan ekonomi, pada kenyataannya telah mendegradasi kualitas lingkungan dan mengancam masa depan bumi sebagai tempat tinggal manusia.
Biodata Penulis
Dwi Munthaha
Nama : Dwi Munthaha
Peneliti di Bhuminara Institute