Perjalanan Panjang Menjadi ASN (Part 1): Masa Lulus SMA

Dwi Novia Puspitasari
Pranata Humas Penyelia, Biro Komunikasi Publik, Umum dan Kesekretariatan, Badan Riset dan Inovasi Nasional
Konten dari Pengguna
16 April 2021 21:32 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dwi Novia Puspitasari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Perjalanan Panjang Menjadi ASN, Di mulai Saat Lulus SMA
zoom-in-whitePerbesar
Perjalanan Panjang Menjadi ASN, Di mulai Saat Lulus SMA
ADVERTISEMENT
Tekad untuk menjadi ASN sudah melekat pada diri saya sejak kecil. Perjalanan untuk menggapai cita-cita itu pun tidak mudah. Rintangan demi rintangan datang silih berganti dan ini dimulai saat saya lulus SMA.
ADVERTISEMENT
ASN adalah pekerjaan yang sangat saya dambakan dari kecil. Hal ini dikarenakan orang tua saya dua-duanya adalah seorang ASN di sebuah sekolah dasar yang ada di desa kami tinggal. Merekalah yang menginspirasi saya untuk menjadi seorang ASN. Saya berpikir bahwa dengan menjadi ASN waktu bersama keluarga dapat lebih banyak walaupun dengan gaji yang berkecukupan. Selain itu, waktu untuk mengerjakan pekerjaan lain pun dapat dilakukan seperti orang tua saya. Setelah pulang mengajar mereka kemudian bergegas pergi ke sawah untuk menunaikan tugasnya sebagai petani.
Masa SMA katanya masa yang paling indah tetapi tidak bagi saya. Bagi saya masa SMA itu biasa saja dan tidak ada yang istimewa. Nah masa setelah lulus SMA adalah masa yang sulit bagi saya. Karena saya bingung harus melanjutkan kuliah ke mana. Saat itu tidak ada gambaran seperti apa dan harus bagaimana saat memilih jurusan dan universitas. Perlu saya gambarkan bahwa saat itu ayah saya sudah pensiun. Ayah pensiun saat saya usia 12 tahun karena kebetulan ayah menikah dengan ibu saat itu sudah berumur. Jadi saya harus mencari informasi secara mandiri. Berbagai tes sudah saya ikut baik melalui jalur PMDK (nama saat itu untuk masuk universitas melalui jalur nilai rapor) dan jalur SMPTN.
ADVERTISEMENT
Selain itu saya juga mendaftar ke STAN dan itupun gagal. Rasa putus asa mulai menyelimuti hati saya. Jika mengenang saat mengikuti ujian masuk universitas tersebut rasanya sedih. Saya harus pergi ke tempat ujian sendiri tanpa didampingi siapa pun sedangkan teman-teman saya diantar oleh orang tuanya. Sempat menangis dan marah?iya, sempat kesasar? Iya. Saya merasa diri saya sendirian dan tidak ada yang membantu. Tetapi di situ saya menguatkan diri saya sendiri bahwa saya berbeda dengan mereka karena ayah saya saat itu sedang sakit parah dan ibu saya harus menjaganya. Jadi tidak mungkin orang tua mengantar saya ke mana-mana.
Di saat saya baru terpuruk memikirkan tempat kuliah, ada tetangga yang datang melamar saya. Maklum rumah saya masih terpencil jadi jika ada anak perempuan sudah lulus SMA biasanya banyak yang menanyakan untuk melamarnya. Akan tetapi saya tetap pada pendirian saya yang ingin kuliah dan mengejar mimpi saya. Motivasi untuk kuliah semakin kuat dengan adanya lamaran dari tetangga tersebut. Saya menjadi semakin menggebu-gebu untuk meneruskan kuliah. Saat itu yang ada di benak saya adalah saya harus kuliah apa pun jurusannya, dan di mana pun tempatnya karena saya tidak mau menikah.
ADVERTISEMENT
Akhirnya saya masuk di Universitas Gadjah Mada jurusan D3 Kepariwisataan. Sejalan dengan waktu saya mulai menikmati perkuliahan saya. Saya menemukan sahabat dan teman-teman baru di Yogyakarta. Kebetulan saya juga satu fakultas dengan sahabat saya waktu SMA tetapi dengan jurusan yang berbeda. Jadi saya tidak merasa kesepian atau sendiri. Kami saling memotivasi satu sama lain. Hingga akhirnya di awal saya kuliah ayah saya meninggal dunia. Kemudian disusul adik saya masuk kuliah dengan mengambil jurusan keperawatan. Masa-masa sulit mulai menerpa. Adik saya memerlukan banyak biaya dan saya pun masih harus menyelesaikan perkuliahan saya. Saat itu saya mulai bertekad untuk mendapatkan nilai IPK yang bagus karena jika saya bisa meraih predikat cumlaude maka di semester berikutnya saya akan mendapatkan keringanan biaya SPP. Dan benar saja, saya bisa meraih predikat itu dan mendapatkan keringanan biaya SPP.
ADVERTISEMENT
Selain itu, saya juga menggunakan waktu senggang kuliah saya untuk bekerja paruh waktu di sebuah toko aksesoris wanita. Saat itu yang ada di benak saya adalah saya ingin membantu meringankan beban ibu saya. Karena saya tahu bahwa adik saya memerlukan biaya yang tidak sedikit sampai ibu saya pun harus menjual sebagian sawahnya untuk biaya kami berdua. Di akhir masa kuliah, saya sempat divonis dokter jika saya memiliki penyakit penjepitan syaraf tulang belakang. Saya hanya merasa tidak percaya dan saya merasa Allah tidak adil dengan saya. Akan tetapi saya tidak ingin berlama-lama degan keterpurukan saya. Sedikit cerita bahwa penjepitan syaraf yang saya derita ini membuat saya hampir tidak bisa jalan karena saat berjalan selangkangan kaki saya sakit dan susah untuk diangkat. Sehingga saya memerlukan teman untuk membopong saya saat jalan. Apalagi saat naik tangga, rasanya nyeri dan sakit dari kaki hingga tulang belakang.
ADVERTISEMENT
Untuk aktivitas lain seperti mencuci pun saya susah. Untung saja saya memiliki sahabat dan teman-teman kos yang baik. Ada yang membantu saya untuk mencuci baju, membantu antar jemput saya saat berangkat dan pulang kuliah hingga ada yang mengantar saya saat saya akan berobat ke rumah sakit.
Ilustrasi PNS. Foto: Dok. Istimewa
Dalam ruang kuliah, saya pun selalu meminta izin kepada dosen untuk sering berdiri karena punggung saya terasa sakit jika terlalu lama duduk. Saya bersyukur karena semua teman, sahabat maupun dosen pun akhirnya memahami kondisi saya. Saya sering terapi baik secara tradisional maupun ke rumah sakit. Saat berobat ke rumah sakit saya masih terbantukan dengan kartu askes dari orang tua sehingga biaya berobat ke rumah sakit jadi gratis. Pada awal sakit saya merasa tertekan sekali tetapi lama-kelamaan banyak motivasi yang saya dapatkan dari teman-teman saya sehingga saya mulai terbiasa dengan sakit yang saya derita. Enam bulan saya merasa seperti terkekang karena harus terapi dan minum obat rutin tetapi tidak ada perubahan. Akhirnya saya masa bodoh dengan penyakit saya. Saya merasa selama ini saya diperbudak dengan penyakit itu. Saat itu saya mulai membiasakan diri saya untuk kuat dan selalu menahan rasa sakit itu. Saya terus melawan rasa sakit yang ada hingga saya merasa sudah terbiasa dengan rasa itu. Hingga akhirnya masa mengerjakan tugas akhir pun tiba.
ADVERTISEMENT
Mengerjakan tugas akhir dengan kondisi yang sering sakit-sakitan itu tidak mudah. Akan tetapi lagi-lagi saya banyak dibantu oleh sahabat, dan teman-teman kos. Ada yang meminjamkan komputer, ada yang meminjamkan printer dan ada yang memberi bantuan kertas. Saya hanya bermodalkan disket (alat menyimpan file saat itu) dan biaya jilidnya saja. Sampai akhirnya saya pun bisa menyelesaikan studi D3 saya dengan lulusan terbaik dengan waktu yang lebih cepat dari semestinya dan itu pun sesuai dengan keinginan saya. Niat awal saya kuliah adalah saya ingin membanggakan orang tua saya. Saat wisuda saya baru sadar bahwa Allah akan memberikan apa yang kita butuhkan dan bukan apa yang kita inginkan. Walaupun awalnya saya kuliah D3 kepariwisataan itu bukan keinginan saya tetapi ternyata Allah memiliki rencana yang indah untuk saya. Satu hal yang saya yakini hingga saat ini bahwa usaha tidak akan pernah mengingkari hasil akhir. Jadi bagi adik-adik yang saat ini sudah lulus SMA harus tetap semangat dan jangan pernah menyerah karena menyerah dan putus asa adalah perbuatan orang dungu.
ADVERTISEMENT