Konten dari Pengguna

Merdeka Belajar Bagi Perempuan: Melawan Diskriminasi dan Stereotip Patriarki

DWI SETYASARI
Seorang mahasiswa semester 3 Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Brawijaya
6 Juni 2025 9:56 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-circle
more-vertical
Tulisan dari DWI SETYASARI tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Freepik.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Freepik.com
ADVERTISEMENT
Di balik gemuruh semangat pendidikan merdeka, masih tersembunyi realitas getir: akses pendidikan yang adil bagi perempuan belum sepenuhnya menjadi kenyataan. Dalam masyarakat yang masih kental dengan budaya patriarki, mimpi anak perempuan untuk meraih pendidikan tinggi kerap terbentur batasan sosial dan stereotip yang diwariskan turun-temurun.
ADVERTISEMENT
Sejak usia dini, banyak anak perempuan telah disuguhi pesan-pesan halus yang membatasi langkah mereka. Mulai dari tugas domestik yang dianggap “kodrat”, hingga materi pelajaran yang diam-diam memperkuat persepsi bahwa profesi bergengsi hanya milik laki-laki. Stereotip ini tertanam, lalu tumbuh menjadi tembok penghalang yang nyata, bukan hanya dalam pikiran, tapi juga dalam kebijakan dan praktik pendidikan sehari-hari.
Lebih menyedihkan lagi, diskriminasi gender dalam pendidikan sering kali justru terjadi di lingkup terdekat: keluarga. Anak perempuan diminta mengalah, meninggalkan bangku sekolah demi membantu ekonomi rumah, sementara anak laki-laki tetap didorong untuk mengejar cita-citanya. Anggapan bahwa perempuan cukup jadi "ibu rumah tangga" adalah warisan usang yang mengebiri potensi generasi masa depan.
Padahal, dari perspektif Islam sendiri, tidak ada alasan teologis untuk menomorduakan perempuan dalam mencari ilmu. Al-Qur’an dengan tegas menempatkan ketakwaan bukan jenis kelamin sebagai tolok ukur kemuliaan manusia. Rasulullah SAW pun memberikan ruang luas bagi perempuan untuk berkontribusi dalam pendidikan, ekonomi, hingga politik. Sayangnya, nilai-nilai luhur ini belum sepenuhnya mewujud dalam sistem pendidikan kita hari ini.
ADVERTISEMENT
Dalam menghadapi tantangan struktural ini, pendidikan alternatif yang inklusif dan responsif gender adalah solusi nyata yang patut diperjuangkan. Kurikulum tidak lagi boleh netral terhadap ketimpangan; ia harus menjadi alat perlawanan terhadap bias. Materi ajar harus mengajarkan keterampilan hidup, keberanian berbicara, dan kemampuan berpikir kritis terutama bagi anak perempuan, agar mereka bisa berdiri tegak di tengah dunia yang kerap tak berpihak.
Namun kurikulum yang adil tak bisa berdiri sendiri. Dibutuhkan pelatihan guru yang membuka perspektif baru tentang kesetaraan gender, serta kebijakan pendidikan nasional yang progresif dan berpihak pada keadilan sosial. Sekolah harus menjadi ruang aman dan setara bagi semua, tanpa memandang jenis kelamin.
Kesetaraan dalam pendidikan bukan sekadar slogan ia adalah fondasi dari masyarakat yang beradab dan bermartabat. Dan untuk mewujudkannya, kita semua harus ikut bergerak. Karena perempuan bukan hanya murid mereka adalah calon pemimpin, pendidik masa depan, dan penentu arah peradaban.
ADVERTISEMENT
Referensi
Efendy, R. (2014). Kesetaraan Gender Dalam Pendidikan