Rahasia Sukses Selandia Baru: Masyarakatnya Bangga Produk Lokal

Konten dari Pengguna
18 November 2020 5:52 WIB
comment
14
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari dwiyatna widinugraha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kawasan Pusat Bisnis di Wellington (Sumber foto: Pixabay. Fotografer: Simon)
zoom-in-whitePerbesar
Kawasan Pusat Bisnis di Wellington (Sumber foto: Pixabay. Fotografer: Simon)
ADVERTISEMENT
Tepat pukul 5 (lima) sore, penulis keluar untuk rehat dari ruang rapat di salah satu kantor di kawasan CBD Wellington, Selandia Baru. Di luar gedung, terlihat hiruk-pikuk sore hari mulai mewarnai kota Wellington.
ADVERTISEMENT
Periode antara pukul 5 hingga satu jam berikutnya memang dikenal sebagai rush hour (waktu paling sibuk) bagi para Kiwi, sebutan bagi masyarakat Selandia Baru non suku Māori. Satu hal yang menarik perhatian adalah pemandangan yang cukup kontras di setiap sudut Ibu Kota Selandia Baru ini.
Sebagaimana lazimnya pegawai usai jam kantor selesai, sejumlah pekerja Kiwi terlihat memenuhi deretan toko. Namun, terdapat satu hal yang tidak lazim. Di antara toko tersebut, yang paling banyak dikunjungi adalah toko yang memiliki nama asing di telinga orang Indonesia.
Sebut saja toko kopi Mojo, toko baju Juliette Hogan, dan toko perkakas rumah Tea Pea Home, semuanya ramai dikunjungi oleh para shoppers. Begitu pula dengan cafe dan restoran lokal yang banyak terdapat di kawasan tepi laut waterfront.
ADVERTISEMENT
Para turis yang tidak terbiasa dengan adat setempat, akan kesulitan untuk mencari makan malam di sana karena umumnya reservasi di tempat tersebut sudah fully booked.
Sementara pemandangan kontras terlihat di restoran maupun toko namanya sudah akrab di telinga kita. Suasana sepi terlihat di toko kopi internasional berlambang putri duyung, meskipun di depan tokonya sudah ada iming-iming tawaran potongan harga.
Setelah dua tahun bertugas di negeri Kiwi, penulis menyimpulkan situasi pemandangan seperti ini merupakan hal yang biasa ditemui di seluruh Selandia Baru.
Antrian panjang pembeli Fergburger di Queenstown.
Para pelancong di kota wisata Queenstown akan menemui antrian sangat panjang di depan toko penjual burger Fergburger. Toko milik warga setempat tersebut terkenal akan porsi makanannya yang sangat besar. Keberadaan Fergburger di Queenstown seakan tidak tersaingi. Waralaba internasional berlambang huruf -M- pun tidak berani membuka cabangnya di sana, dan lebih memilih lokasi yang berada di luar kota Queenstown.
Jamuan makan siang di resto Garuda Food Truck
Merek lokal disini bukan berarti hanya bisnis milik masyarakat ras kulit putih saja yang bisa masuk ke dalam kategori tersebut. Bisnis yang dimiliki orang Indonesia pun, asalkan pemiliknya menetap di Selandia Baru, sudah diakui sebagai bisnis lokal.
ADVERTISEMENT
Hal ini diutarakan oleh Bapak Burhan, pemilik restoran Indonesia Garuda Food Truck, saat Penulis menikmati hidangan Soto Ayam di sana beberapa bulan yang lalu.
“Masyarakat setempat sangat mendukung pemulihan bisnis lokal di saat pandemi. Sekarang customer yang datang bahkan lebih ramai dibandingkan saat sebelum lockdown” sebut chef asal Makassar tersebut.
Meskipun berstatus bisnis lokal, namun bukan berarti harga yang dijual murah, seperti yang biasa kita anggap di tanah air. Madu Manuka, salah satu produk khas Selandia Baru, dalam beberapa kasus harga jualnya di Selandia Baru lebih mahal dibandingkan saat diekspor ke negara lain, seperti di Eropa maupun Tiongkok.
Harga premium juga berlaku bagi produk lokal lain, seperti coklat Whittaker’s, selai kacang Fix N Fog, maupun kue Cookie Time.
ADVERTISEMENT
Meskipun dijual dengan harga premium, namun hal tersebut tidak menurunkan permintaan dari masyarakat setempat. Buktinya, merek yang disebutkan di atas tadi mendominasi pasar di Selandia Baru.
Hal ini karena masyarakat Selandia Baru sangat menghargai inovasi produk yang dihasilkan melalui proses yang tentunya membutuhkan biaya.
Merek kopi lokal di Selandia Baru
Para kritikus melihat bahwa keberhasilan produk Selandia Baru di negaranya adalah hal yang tidak istimewa. Hal ini mengingat produsen setempat tentu lebih mengetahui selera masyarakat di sekitarnya.
Pada kenyataannya hal ini kurang tepat karena produk Selandia Baru justru saat ini banyak yang diekspor ke mancanegara. Mengambil contoh produk selai kacang Fix N Fog, pada awalnya brand ini hanya berupa satu toko di pojok kota Wellington.
ADVERTISEMENT
Setelah produk tersebut disukai dan laku di dalam negeri, Fix N Fog kemudian viral di mata para turis, dan saat ini telah menjelma sebagai selai kacang favorit di AS, Jepang, dan Filipina.
Dalam contoh kasus ini, pasar domestik berperan untuk menyeleksi terlebih dahulu mana produk yang paling berkualitas.
Selandia Baru, negara yang berpenduduk hanya 5 juta jiwa namun dengan pendapatan per kapita 10 kali lipat Indonesia, telah membuktikan bahwa kemajuan dapat dicapai dengan cara yang sederhana, seperti masyarakatnya yang dibiasakan untuk membeli produk lokal.
Penulis hanya bisa berangan-angan ini juga bisa terjadi di kampung halaman, sambil mengunyah permen Kopiko yang sejak tadi dibawa sebagai bekal rapat.

Merek lokal merajai pasar Selandia Baru