Menelusuri Peta Jalan Pendidikan 2020-2035 Pasca COVID-19

Erry Yulian T Adesta
Saya adalah seorang dosen yang sudah lebih dari 30 tahun menjalankan profesi di dunia pendidikan tinggi baik di dalam maupun di luar negeri. Saat ini saya menjabat sebagai Wakil Rektor bidang Perencanaan dan Kerjasama.
Konten dari Pengguna
11 Juni 2020 22:18 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Erry Yulian T Adesta tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Pendidikan Anak Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Pendidikan Anak Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Presiden Joko Widodo dalam pengantar Rapat Terbatas tanggal 4 Juni 2020 yang membahas Peta Jalan Pendidikan 2020-2035 mengingatkan bahwa kita harus mengantisipasi perubahan-perubahan besar yang terjadi di dunia ini, mulai dari disrupsi teknologi yang berdampak pada semua sektor, seperti penerapan otomatisasi, artificial intelligence, big data, internet of things (IoT), dan yang lain-lain. Lebih lanjut Kepala negara mengatakan bahwa kita juga harus mengantisipasi perubahan demografi, profil sosio-ekonomi dari populasi yang termasuk di dalamnya perubahan dalam pasar tenaga kerja yang lebih fleksibel, perubahan lingkungan, hingga perubahan struktural yang sangat cepat akibat pandemi COVID-19 yang kita alami sekarang ini, misalnya pembelajaran jarak jauh, percepatan digitalisasi, maupun less contact economy.
ADVERTISEMENT
Pada kesempatan tersebut lebih lanjut Presiden menekankan 4 (empat) hal utama. Pertama, untuk melakukan benchmarking kepada institusi di Australia untuk pendidikan anak sekolah dini, Finlandia untuk pendidikan dasar dan menengah, Jerman untuk pendidikan vokasi, dan Korea Selatan untuk perguruan tinggi. Kedua, membangun SDM yang berkarakter, yang berakhlak mulia dengan menumbuhkan nilai-nilai budaya Indonesia dan Pancasila.
Ketiga, menyusun target-target yang terukur, berupa target angka partisipasi untuk pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan tinggi, kemudian hasil belajar yang berkualitas, baik itu untuk perbaikan kualitas guru, perbaikan kurikulum, maupun infrastruktur sekolah dan mewujudkan distribusi pendidikan yang inklusif dan merata. Keempat, melakukan reformasi pendidikan yang tidak dapat hanya dilakukan oleh kementerian pendidikan dan kebudayaan sendiri, namun juga harus mendapat dukungan dari masyarakat, pemerintah daerah dan pihak swasta. Karena menurut Presiden, reformasi pendidikan bukan hanya mencakup penyesuaian kurikulum, pedagogi, dan metode penilaian namun juga menyangkut perbaikan infrastruktur, penyediaan akses teknologi, dan juga berkaitan dengan dukungan pendanaan.
ADVERTISEMENT
Namun sayangnya peringatan yang dikatakan Presiden di awal pidatonya hampir tidak tercermin ke dalam 4 (empat) hal utama yang beliau sebutkan setelah itu. Tidak nampak secara jelas dalam arahan tersebut visi dan misi serta capaian apa yang beliau harapkan kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan setibanya di ujung peta jalan pendidikan 2020-2035. Hal ini berpotensi mengurangi makna dan manfaat peta jalan pendidikan 2020-2035 yang akan dirancang nantinya.
Sebab sebuah peta jalan sesungguhnya adalah sebuah rencana strategis yang memiliki luaran (output), capaian (outcomes) dan dampak (impact) termasuk di dalamnya langkah utama dan/atau tonggak capaian (milestones). Mari kita bahas satu persatu 4 (empat) hal utama yang ditekankan Presiden. Pertama adalah benchmarking kepada institusi global yang telah dipilih Presiden untuk menjadi rujukan untuk masing-masing tingkat atau jenis pendidikan.
ADVERTISEMENT
Melakukan benchmarking sebenarnya adalah sebuah upaya untuk meningkatkan kualitas dengan merujuk kepada best practice yang dilakukan oleh organisasi sejenis. Langkah seperti ini cenderung akan memberikan hasil yang medioker (biasa-biasa saja). Karena secara tidak langsung kita sebenarnya menjadi follower yang mencoba untuk menjiplak total atau paling tidak mengadopsi sebuah sistem. Namun sebuah sistem pada dasarnya bersifat unik karena memiliki kondisi demografi, profil sosio-ekonomi dan politik serta budaya yang berbeda dengan yang kita miliki.
Dengan demikian maka hampir dapat dipastikan kita tidak akan pernah dapat melampaui kinerja organisasi yang kita jadikan patokan (benchmark). Kedua adalah pembangunan SDM yang berkarakter, berakhlak mulia dengan menumbuhkan budaya Indonesia dan Pancasila. Terminologi yang mungkin lebih tepat untuk dipergunakan adalah pembentukan karakter SDM yang berakar kepada budaya Indonesia dan nilai-nilai Pancasila. Sebaiknya unsur pembentukan karakter ini ditanamkan (embedded) pada setiap mata pelajaran atau mata kuliah wajib. Sehingga pembelajaran dan asesmen yang dilakukan tidak harus hanya pada ranah kognitif atau psikomotorik melainkan lebih kepada afektif. Ketiga, menyusun target-target yang terukur, antara lain angka partisipasi, kualitas pembelajaran, kualitas guru, inklusivitas dan pemerataan pendidikan. Dalam pidatonya tersebut Presiden juga mengatakan pembentukan SDM yang unggul di masa depan tidak bisa lagi berdasarkan perkembangan ilmu yang dibentuk berdasarkan tren masa lalu, akan tetapi harus berdasarkan pada tren masa depan. Angka partisipasi murni (APM) dan angka partisipasi kasar (APK) ini sebenarnya adalah tipikal tren masa lalu.
ADVERTISEMENT
Maka kita harus dapat mengantisipasi perubahan-perubahan besar berupa disrupsi teknologi yang berdampak ke semua sektor tersebut secara optimum. Dengan penerapan teknologi digital, otomatisasi, artificial intelligence, big data, internet of things (IoT), dan sejenisnya secara efektif maka problem seputar angka partisipasi tersebut seharusnya sudah overtaken by events dan bukan lagi menjadi masalah utama. Terutama pada tingkat pendidikan tinggi di mana pendidikan tinggi seharusnya menjadi sebuah pilihan karena prinsip belajar sepanjang hayat (long-life learning) dan adanya multi-entry multi-exit serta pendidikan vokasi.
Justru penekanan seharusnya mulai dengan memandang ekosistem pendidikan sebagai suatu kesatuan yang utuh. Ekosistem pendidikan tersebut dimulai dari jenjang pendidikan anak usia dini (PAUD), dasar dan menengah sampai dengan pendidikan tinggi. Yang seharusnya menjadi perhatian serius, terutama bagi anak usia 15 tahun sesuai dengan Programme for International Student Assessment (PISA) adalah pada kemampuan membaca, matematika dan sains. Perlu dicatat bahwa ketika PISA 2018 diumumkan ketiga kemampuan tersebut, terutama untuk kemampuan membaca, mengalami penurunan yang sangat signifikan.
ADVERTISEMENT
Hal lain yang juga harus dikelola secara hati-hati dan terstruktur mulai sejak rekrutmen calon peserta didik untuk tingkat pendidikan tinggi. Tidak semua calon peserta didik harus menempuh pendidikan tinggi akademik, sebagian besar justru sebenarnya lebih sesuai dan berpotensi untuk mengikuti pendidikan tinggi vokasi.
Berikutnya adalah sistem rekrutmen guru dan dosen. Tidak cukup merekrut guru/dosen berdasarkan prestasi akademik semata, tanpa memiliki “passion” sebagai seorang pendidik. Apa lagi kemudian dibumbui dengan pola inbreeding dimana seorang lulusan sebuah perguruan tinggi setelah melakukan studi lanjut ke tingkat S2 dan S3 kembali mengajar di almamaternya sendiri.
Bahkan kemudian memegang tugas tambahan sebagai Ketua Jurusan, Dekan sampai dengan Rektor. Walaupun tidak salah dan tidak juga melanggar peraturan apapun, namun praktek inbreeding seperti ini justru membuat perguruan tinggi tersebut memiliki keterbatasan dalam wawasan untuk berkembang. Hal ini disebabkan dosen yang bersangkutan sejak menjadi mahasiswa sampai dengan diserahi tugas mengajar dan tugas tambahan tidak pernah terekspos pada budaya organisasi lain.
ADVERTISEMENT
Kembali pada amanah Presiden tersebut, maka setiap target yang dibuat harus terukur, mulai dari kondisi nyata saat ini (base line), pertengahan (mid-term) sampai dengan akhir dari sebuah peta jalan (end-of-term). Harus ada evaluasi yang berkesinambungan pada setiap tonggak capaian (milestones). Dalam hal ini setiap penanggungjawab aktivitas (person-in-charge) harus dapat memberikan penjelasan secara lengkap tentang setiap keberhasilan dan ketidak-berhasilan sebuah target. Karena hal ini berhubungan langsung dengan indikator kinerja utama (key performance indicator) yang bersangkutan, maka perlu diterapkan sistem penghargaan dan hukuman (reward and pusnishment) sesuai dengan kesepakatan ketika menerima tugas dan tanggung jawab tersebut.
Yang terakhir atau yang keempat, Presiden mengatakan bahwa reformasi pendidikan tidak dapat dilakukan sendiri oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, peran serta dukungan komunitas pendidikan, kementerian atau lembaga lain, masyarakat, pemerintah daerah dan pihak swasta akan sangat menentukan keberhasilannya. Hal ini sangat penting untuk diperhatikan karena selama ini alokasi dana pendidikan yang menurut undang-undang sebesar 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tidak seluruhnya dikelola oleh kemendikbud. Menurut postur anggaran pendidikan 2020 dari 508,1 triliun rupiah yang dialokasikan hanya sebesar 75,7 triliun rupiah (14,9%) yang sebenarnya dikelola oleh Kemendikbud.
ADVERTISEMENT
Untuk itu Kemendikbud harus mampu menggali sumber dana lain non-APBN. Salahs atunya adalah dengan merekrut mahasiswa asing. Pada tahun 2019 dilaporkan bahwa Malaysia telah menikmati devisa dari mahasiswa asing rata-rata RM 7.2 Billion (Rp 23.5 Triliun) pertahun. Mulai tahun 2020 diharapkan dengan kehadiran sekitar 200 ribu mahasiswa asing, pemasukan devisa tersebut diproyeksikan akan naik menjadi RM16.6 Billion (Rp 54.2 Triliun) pertahun.
Selain itu, tanpa koordinasi dan penyelarasan program serta target capaian yang baik, maka dana yang terbatas tersebut tidak akan tepat sasaran dan menjadi tidak efisien. Ketidak-efektifan dan ketidak-efisienan penggunaan dana ditambah dengan peta jalan yang kurang terstruktur dan terukur secara cermat inilah, yang pada akhirnya menyebabkan kelambatan kemajuan terhadap dunia pendidikan di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Sebagai contoh beberapa lembaga pendidikan yang berada di bawah naungan kementerian lain seperti Kementerian Perindustrian, Kementerian Perhubungan, serta beberapa Balai atau Pusat Pelatihan yang dikelola Pemerintah Daerah justru menunjukkan kinerja yang sangat baik dengan daya serap lulusan yang sangat tinggi bila dibandingkan dengan lembaga sejenis yang dikelola oleh Kemendikbud.
Untuk itu Kemendikbud harus dapat menginisiasi penyelarasan dan pengintegrasian secara operasional dan fungsional terhadap semua sumber daya yang ada, baik antar kementerian atau lembaga maupun terhadap pemerintah daerah, masyarakat dan pihak swasta. Dalam internal organisasi Kemendikbud sendiri resource sharing harus dapat dilakukan secara intensif melalui pemberdayaan unit atau lembaga yang ada.
Untuk pendidikan tinggi misalnya, secara operasional untuk desentralisasi, LLDIKTI dapat mengambil peran sebagai perpanjangan tangan dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi di daerah layanan masing-masing. Bahkan hampir semua kegiatan administratif dapat dilakukan di LLDIKTI. Hal ini, setelah dilengkapi dengan SOP dan aliran kerja yang jelas, akan berdampak terhadap berkurangnya beban kerja yang harus diselesaikan oleh kantor DIKTI pusat. Dengan bantuan teknologi digital, big data dan IoT beberapa aktivitas administratif tertentu dapat disederhanakan dan lebih dipercepat.
ADVERTISEMENT
Hal penting yang harus diperhatikan secara seksama adalah peta jalan pendidikan Indonesia 2020-2035 dimulai dengan baseline ketika kita sedang menghadapi Covid-19. Sehingga peta jalan yang dibuatpun harus memasukkan skenario dalam keadaan “new normal”. Misalnya infrastruktur yang dibangun harus lebih difokuskan kepada infrastruktur digital dibanding infrastruktur fisikal.
Apalagi menurut perkiraan 85% masyarakat usia 17-25 tahun telah aktif menggunakan internet. Yang terakhir terkait dengan visi dan misi, Kemendikbud seharusnya lebih jeli dan fokus mengarahkan pengembangan pendidikan tinggi dan pendidikan vokasi yang sesuai dengan apa yang menjadi ciri dan competitive advantage negeri ini.
Lihatlah, betapa Indonesia satu-satunya sebuah negara maritim di mana dua pertiga bagian wilayahnya merupakan lautan yang menghubungkan 17000-an pulau besar dan kecil. Sehingga seharusnya Indonesia yang menjadi rujukan global bagi berbagai ilmu dan pengetahuan berbasis kelautan, misalnya teknologi kelautan, ekonomi kelautan, transportasi laut, hukum laut, pertahanan laut, flora dan fauna laut dan ilmu-ilmu kemaritiman lainnya.
ADVERTISEMENT
Jika itu terjadi, maka kita tidak perlu lagi melakukan benchmarking kepada negara-negara lain, karena Indonesia akan menjadi menjadi Centre of Excellence bagi akselerasi daya saing melalui inovasi dan penguatan sumber daya manusia berbasis kelautan. Semoga!!!
*Prof. Erry Yulian T. Adesta, PhD – Dosen dan Mantan Dekan Fakultas Teknik, International Islamic University Malaysia (IIUM)/Anggota Dewan Penasehat Ikatan Alumni Program Habibie (IABIE)