Menyamakan Persepsi Tentang Peta Jalan Pendidikan 2020-2035

Erry Yulian T Adesta
Saya adalah seorang dosen yang sudah lebih dari 30 tahun menjalankan profesi di dunia pendidikan tinggi baik di dalam maupun di luar negeri. Saat ini saya menjabat sebagai Wakil Rektor bidang Perencanaan dan Kerjasama.
Konten dari Pengguna
16 Februari 2021 6:10 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Erry Yulian T Adesta tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi program pendidikan Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi program pendidikan Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Proses belajar mengajar dalam jaringan (daring) disebabkan pandemi Covid-19 sudah berjalan hampir setahun. Dalam kurun waktu tersebut banyak kisah suka dan jenaka, yang telah terekam, namun tidak kurang juga cerita lara serta nestapa yang tertoreh. Mulai dari kisah pencarian sinyal ke pinggir jalan raya hingga harus naik ke atas bukit, sampai dengan kisah pilu orang tua yang terpaksa harus mencuri gawai agar anaknya dapat belajar secara daring, sampai dengan peserta didik yang bunuh diri karena tidak memiliki perangkat untuk belajar secara daring.
ADVERTISEMENT
Pada hari Rabu, 3 Februari 2021 harian Kompas menurunkan berita berjudul: ”Peta Jalan Pendidikan Jadi Visi Negara”. Sebenarnya diskusi tentang Peta Jalan Pendidikan 2020-2035 ini telah menjadi bahan diskusi utama sejak pertengahan tahun 2020 yang lalu. Rapat Terbatas yang khusus membahas hal tersebut dipimpin langsung oleh Presiden Joko Widodo. Opini yang membahas hal tersebut telah saya tulis di kumparan dengan judul: “Menelusuri Peta Jalan Pendidikan 2020-2035 Pasca COVID-19” pada tanggal 11 Juni 2020.
Pada tulisan tersebut saya sudah mengingatkan, sebuah peta jalan sesungguhnya adalah sebuah rencana strategis yang memiliki luaran (output), capaian (outcomes), dan dampak (impact) termasuk di dalamnya langkah utama dan/atau tonggak capaian (milestone). Secara sederhana fungsi dari sebuah Peta Jalan adalah penunjuk arah dari sebuah perjalanan yang akan dilakukan dari titik keberangkatan tertentu menuju titik tujuan tertentu. Tanpa mengetahui posisi awal keberangkatan atau di mana posisi kita saat ini, maka akan sangat mustahil kita dapat bergerak menuju tujuan menggunakan Peta Jalan.
ADVERTISEMENT
Sehingga yang seharusnya pertama kali dilakukan adalah mencari tahu di mana persisnya posisi kita pada saat ini, bukan ujug-ujug membahas tentang guru, infrastruktur, kurikulum dan pendanaan seperti yang dikemukakan dalam diskusi terpumpun Peta Jalan Pendidikan yang diselenggarakan secara daring oleh Lembaga Kebijakan dan Kajian Pendidikan, Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia pada Selasa, 2 Februari 2021 yang lalu.
Sebelum itu, pada 28 Januari 2021, dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Panitia Kerja (Panja) Peta Jalan Pendidikan dengan Pemerintah, Kepala Badan Penelitian, Pengembangan dan Perbukuan Kemendikbud Totok Suprayitno mengatakan bahwa draf Peta Jalan Pendidikan 2020-2035 adalah penajaman dan elaborasi dari Peta Jalan Pendidikan yang dibuat pada 2015. Tambah parah! Kok bisa ya? Peta Jalan ditajamkan dan dielaborasi?
ADVERTISEMENT
Mari kita bahas secara sederhana saja. Peta Jalan yang dimaksud para pembuat keputusan di dunia pendidikan tersebut tentunya adalah terjemahan dari Road Map. Hampir setiap orang tentu sudah pernah menggunakan street map atau road map, apalagi pada zaman sekarang fungsi road map ini sudah diambil alih oleh Global Positioning System (GPS) yang merupakan bagian dari gawai yang kita pergunakan sehari-hari.
Setiap akan melakukan perjalanan kita mulai merencanakan perjalanan kita, apakah kita akan lewat jalan tol yang berbayar, atau memilih melalui jalan arteri yang mungkin kurang nyaman karena jalannya lebih kecil, melalui perkampungan padat penduduk, namun tidak perlu membayar biaya tol. Sebenarnya sesederhana itulah fungsi sebuah peta jalan. Sebelum melakukan perjalanan tentu beberapa parameter harus juga kita tentukan.
ADVERTISEMENT
Berapa jauh perjalanan yang akan kita lakukan, yang tentunya akan menghadapkan kita pada pilihan jenis kendaraan yang akan dipergunakan. Seandainya jarak tersebut masih terjangkau dengan kendaraan roda dua apakah kita langsung akan memilih kendaraan roda dua, padahal cuaca pada saat akan melakukan perjalanan sedang diguyur hujan lebat dan angin kencang. Maka pertanyaan demi pertanyaan tadi, hanya akan dapat kita jawab secara efektif dan efisien setelah kita mengetahui titik keberangkatan dan titik akhir perjalanan menggunakan peta jalan tersebut disertai dengan informasi keadaan cuaca di sepanjang perjalanan. B
ila hal ini dilakukan oleh seorang pilot maka semua informasi yang diperlukan tadi dijadikan sebuah flight plan.
Dengan demikian, maka peta jalan yang telah dirancang pada tahun 2015 kemungkinan besar sudah tidak lagi dapat dipergunakan, karena selama kurun waktu 5 tahun tersebut, dapat dipastikan bahwa kita sudah tidak lagi berada pada titik keberangkatan yang sama. Kecuali kita memang menyatakan bahwa selama 5 tahun tersebut, yaitu dari 2015 ke 2020 kita memang stagnan, tidak bergerak sama sekali, atau bahkan bergerak menjauhi sasaran karena belum mengetahui cara memakai peta jalan atau tidak punya peta jalan.
ADVERTISEMENT
Mari ambil contoh lain, misalnya infrastruktur yang disebut pada diskusi di atas sebagai satu dari empat variabel yang menentukan pendidikan. Kalau infrastruktur yang dimaksud adalah ruang kelas dan gedung sekolah beserta perangkatnya tentu dalam waktu setahun ini fasilitas tersebut tidak akan pernah dipakai. Karena jenis infrastruktur yang lebih banyak diperlukan saat ini adalah infrastruktur digital.
Harus dapat dijamin tersedianya jaringan internet yang handal dan terjangkau oleh para peserta didik di mana pun mereka berada. Bahkan, seandainya para pembuat keputusan di Kemendikbud mampu untuk memprediksi bahwa pandemi ini tidak akan tuntas dalam waktu setahun atau dua tahun maka penyegaran pembangunan infrastruktur pendidikan berbasis digital adalah pilihan yang sangat tepat dan bijaksana. Memberikan bantuan pulsa yang berkisar antara 20 GB–50 GB per bulan tentu akan sangat membantu para peserta didik yang ekonominya marginal.
ADVERTISEMENT
Namun seharusnya ini hanya sebuah solusi yang bersifat sementara dan darurat. Kemendikbud seharusnya mampu merancang strategi jangka panjang yang lebih efektif, efisien, dan handal serta berkelanjutan. Sebab kalau hanya berhenti dengan menyediakan pulsa, maka siapa pun yang memiliki akses pendanaan pasti akan mampu melakukannya.
Para pembuat keputusan di Kemendikbud harus segera sadar bahwa gelombang besar perubahan dalam dunia pendidikan sedang berlangsung. Perlu juga menjadi perhatian penting bahwa kita mempersiapkan peserta didik yang akan selalu hidup di masa depan. Sehingga sebaik apa pun kurikulum yang dirancang tidak akan dapat mendidik insan berkualitas bagi masa depan, kecuali kita sendiri yang tampil untuk merancang masa depan tersebut. Sehingga Menteri Nadiem Makarim seharusnya segera merevisi pernyataannya ketika di diwawancarai oleh salah satu media yang mengatakan: ”Dunia akan terus berubah dan sistem pendidikan lah yang harus mengejar terhadap apa yang kita rencanakan atau kita antisipasi 10-20 tahun ke depan.”
ADVERTISEMENT
Menurut saya logika ini terbalik, pendidikan justru untuk menginisiasi dan memimpin perubahan. Jadi nampaknya memang benar apa yang dirasakan oleh para pakar pendidikan di tanah air bahwa ada yang terbolak-balik dalam urut-urutan pelaksanaan kebijakan pendidikan saat ini. Bagaimana mungkin mengharapkan Peta Jalan Pendidikan dapat menjawab permasalahan pendidikan di Indonesia?
Peta jalan itu seyogianya merupakan petunjuk arah dan merupakan bagian dari sebuah dokumen lengkap yang bernama Cetak Biru (Blue Print) Pendidikan Indonesia 2020-2035. Untuk itu maka diperlukan sebuah naskah akademis yang lengkap agar tidak salah jalan. Semoga!
*Prof. Erry Yulian T. Adesta, PhD – Mantan Dekan Fakultas Teknik, International Islamic University Malaysia (IIUM)/Anggota Dewan Penasehat Ikatan Alumni Program Habibie (IABIE)
ADVERTISEMENT