Transparansi dan Legalitas: Modal Besar Lembaga Keuangan Sosial

Edo Segara Gustanto
Dosen FEBI IIQ An Nur YK, Mahasiswa Doktoral Hukum Ekonomi Syariah UII
Konten dari Pengguna
31 Januari 2023 18:59 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Edo Segara Gustanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi lembaga keuangan sosial. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi lembaga keuangan sosial. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Belum lama ini, Kementerian Agama (Kemenag) Republik Indonesia (RI) merilis daftar merilis 108 lembaga pengelola zakat tidak berizin. Pendataan ini dilakukan hingga akhir Januari 2023. Kemenag mencatat ada 37 Lembaga Amil Zakat (LAZ) atau LAZ skala Nasional, 33 LAZ skala Provinsi, 70 LAZ skala Kabupaten/Kota yang memiliki izin legalitas dari Kementerian Agama.
ADVERTISEMENT
Mengacu pada Undang-Undang (UU) No 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Pasal 18 ayat (1) UU 23/2011 disebutkan bahwa pembentukan Lembaga Amil Zakat wajib mendapat izin menteri atau pejabat yang ditunjuk oleh menteri.
Sementara Pasal 18 ayat (2) mengatur bahwa izin hanya diberikan apabila memenuhi persyaratan: (a) terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan Islam yang mengelola bidang pendidikan, dakwah, dan sosial; (b) berbentuk lembaga berbadan hukum; (c) mendapat rekomendasi dari BAZNAS; (d) memiliki pengawas syariat; (e) memiliki kemampuan teknis, administratif, dan keuangan untuk melaksanakan kegiatannya; (f) bersifat nirlaba; (g) memiliki program untuk mendayagunakan zakat bagi kesejahteraan umat; dan (h) bersedia diaudit syariat dan keuangan secara berkala.
Rilis Kemenag Bentuk Mitigasi Pengelolaan Zakat
ADVERTISEMENT
Dirjen Bimas Islam Kamaruddin Amin (20/1/2023), menyampaikan bahwa lembaga pengelola zakat yang tidak berizin sesuai undang-undang Zakat No.23 Tahun 2011, wajib menghentikan segala aktivitas pengelolaan zakat. Pasal 38 menegaskan bahwa setiap orang dilarang dengan sengaja bertindak selaku amil zakat melakukan pengumpulan, pendistribusian, atau pendayagunaan zakat tanpa izin pejabat yang berwenang.
Kasus lembaga Aksi Cepat Tanggap (ACT) mestinya menjadi kasus terakhir soal reputasi pengelolaan lembaga filantropi dan zakat. Meski ACT main dua kaki dengan menggunakan UU Yayasan dan UU Zakat, utamanya di bawah pengawasan Dinas Sosial untuk yayasan, namun malapraktik pengelolaan lembaga sosial seperti ini patut menjadikan pelajaran buat lembaga-lembaga zakat. Yang pada akhirnya berpengaruh pada trust (kepercayaan) masyarakat kepada lembaga zakat.
ADVERTISEMENT
Rilis ini saya kira hal yang positif, sebagai bentuk tugas pemerintah untuk menjalankan mitigasi risiko atas pengelolaan dana zakat, infak dan sedekah. Sehingga masyarakat bisa berhati-hati dalam menyalurkan dananya. Masyarakat lebih baik menyalurkan dana sosialnya ke lembaga yang berlegalitas dan terpercaya.
Transparansi dan Legalitas Kunci Lembaga Zakat Kredibel
Good Corporate Governance (GCG) adalah prinsip tata kelola perusahaan yang baik, yang dibangun untuk menciptakan kepercayaan stakeholder terhadap perusahaan. Prinsip ini diambil dari good governance atau tata kelola pemerintahan yang bersih dan transparan.
Salah satu prinsip yang diterapkan dalam penerapan GCG adalah prinsip transparansi. Lembaga zakat harus menyediakan informasi yang relevan serta mudah diakses dan dipahami oleh stakeholder (misal diunggah di website secara berkala). Prinsip keterbukaan yang dianut LAZ juga tidak mengurangi kewajiban untuk memenuhi ketentuan kerahasiaan lembaganya sesuai peraturan perundang-undangan, rahasia jabatan, dan hak-hak pribadi.
ADVERTISEMENT
Legalitas juga tidak kalah penting, mengapa? Karena semua usaha atau lembaga yang dijalankan di negara kita harus sesuai dengan ketentuan undang-undang. Untuk pengelola zakat tentu harus mengacu pada UU Zakat No 23 Tahun 2011. Semoga semua lembaga zakat menyadari betapa pentingnya transparansi dan legalitas, sehingga lembaga pengelola zakat semakin dipercaya oleh donatur (masyarakat). Wallahua'lam.[]