news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Kenaikan Cukai Tembakau: Trade-off Ekonomi dalam Perspektif Etika Administrasi

Edwin Aqil
Student at Fiscal Administrative Science Universitas Indonesia
Konten dari Pengguna
28 Desember 2020 16:51 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Edwin Aqil tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Cukai Hasil Tembakau
Cukai hasil tembakau memiliki sejarah panjang dan perkembangan yang dinamis di Indonesia. Dimulai saat era kolonialisme, bahwa cukai tembakau memiliki kontribusi net export yang besar dalam PDB Belanda hingga era reformasi yang mana terjadi kenaikan cukai setiap tahunnya dengan penerapan differential tariff. Sebagian dari masyarakat Indonesia masih mengonsumsi tembakau bahkan ketergantungan terhadap salah satu bentuk zat adiktif ini. Prevalensi konsumsi tembakau yang tinggi ini berpengaruh terhadap kemiskinan, produktivitas, stunting, dan penyakit lainnya yang belum bisa diselesaikan di Indonesia. Prevalensi konsumsi tembakau juga meningkat di kalangan anak dan remaja, yang merupakan sumber daya potensial Indonesia.
ADVERTISEMENT
Kebijakan pengendalian tembakau di Indonesia menjadi instrumen yang sangat esensial untuk dilaksanakan dalam rangka mengurangi eksternalitas negatif dari konsumsi produk tembakau. Dalam proses pembuatan kebijakan, administrator perlu memperhatikan etika administrasi agar kebijakan yang dikeluarkan efektif untuk mengatasi permasalahan kesehatan, ekonomi, dan sosial masyarakat akibat tingginya tingkat konsumsi dan ketergantungan tembakau di Indonesia. Kementerian Keuangan sebagai salah satu lembaga eksekutif negara telah resmi menaikan tarif cukai hasil tembakau atau cukai rokok pada tahun 2021 dengan rata-rata sebesar 12,5%. Peraturan yang tertulis pada PMK Nomor 198/PMK.010/2020 ini mempertimbangkan 5 hal, yaitu kesehatan masyarakat, tenaga kerja pada industri rokok, petani yang menghasilkan tembakau dan memasok produknya pada industri rokok, peredaran rokok ilegal, dan penerimaan negara. Dengan pertimbangan tersebut, apakah kebijakan ini sudah menerapkan konsep etika administrasi, terutama konsep utilitarianism dan ethics of care? Pada kesempatan ini, penulis akan mengulas mengenai penerapan etika administrasi dalam kebijakan kenaikan tarif cukai hasil tembakau tahun 2021 dan dampak yang dihasilkan kepada negara, industri, dan masyarakat dari penerapan kebijakan tersebut berlandaskan etika administrasi.
ADVERTISEMENT
Latar belakang kebijakan kenaikan cukai hasil tembakau dan proporsi antara kerugian makro ekonomi Indonesia dengan pendapatan cukai hasil tembakau
Dalam keterangan pers virtual, Menteri Keuangan, Sri Mulyani menyampaikan rencana kenaikan tarif cukai hasil tembakau sebesar 12,5%. Seluruh produk hasil olahan tembakau mengalami kenaikan harga kecuali untuk industri sigaret kretek tangan yang tidak dikenakan kenaikan tarif ini. Secara rinci, menurut PMK Nomor 198/PMK.010/2020 kenaikan tarif cukai rokok sebagai berikut
1.) Sigaret Putih Mesin (SPM) adalah
SPM untuk golongan I, sebesar 18,4 persen.
SPM untuk golongan IIA, sebesar 16,5 persen.
SPM untuk golongan IIB, sebesar 18,1 persen.
2.) Sementara untuk Sigaret Kretek Mesin (SKM) adalah sebagai berikut:
SKM untuk golongan I, sebesar 16,9 persen.
ADVERTISEMENT
SKM untuk golongan IIA, sebesar 13,8 persen.
SKM untuk golongan IIB, sebesar 15,4 persen.
3.) Sigaret Kretek Tangan tidak naik.
Pertimbangan pemerintah untuk menaikan jenis rokok SPM dan SKM dilandasi tujuan karena pemerintah ingin berupaya untuk meningkatkan tingkat kesehatan masyarakat secara nasional dan motif ekonomi saat pandemi Covid-19 saat ini. Di sisi lain, pemerintah tidak meningkatkan jenis rokok SKT karena jenis usaha dan industri pada rokok SKT ini memiliki daya serap tenaga kerja yang tinggi. Dalam kondisi saat ini posisi tenaga kerja sangat diperlukan dalam internal perusahaan dan juga untuk meningkatkan daya ekspansi ekonomi nasional.
Pemerintah melalui Kemenkeu menjelaskan, pemerintah memiliki setidaknya 5 dimensi yang harus dipertimbangkan sebelum menentukan besaran kenaikan tarif cukai rokok. Dimensi pertama yang dipertimbangkan dalam menaikkan tarif cukai rokok adalah soal kesehatan masyarakat. Pemerintah ingin cukai rokok mampu mengurangi prevalensi merokok pada anak, perempuan, dan orang dewasa. Dimensi kedua mengenai tenaga kerja pada industri rokok. Tenaga kerja tersebut terutama pada industri yang memproduksi rokok kretek tangan karena proses pelintingannya masih manual. Dimensi ketiga adalah para petani yang menghasilkan tembakau dan memasok pada industri rokok. Dimensi keempat mengenai peredaran rokok ilegal. Pemerintah khawatir kenaikan harga rokok yang terlalu tinggi akan mendorong industri rokok ilegal meningkat produksinya. Semakin banyaknya rokok ilegal juga menyebabkan Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) makin sulit untuk memberantasnya. Dimensi terakhir mengenai penerimaan negara walaupun bukan menjadi pertimbangan utama.
ADVERTISEMENT
Dengan adanya proporsi tarif kenaikan cukai di berbagai jenis rokok dan penerapan lima dimensi pertimbangan pemerintah, ini mencerminkan adanya penerapan sudut pandang administrasi dengan konsep utilitarianism yang mana pemerintah berusaha untuk memaksimalkan kebaikan untuk pihak terbanyak; buruh pabrik dan petani tidak terkena PHK karena adanya pengecualian kenaikan cukai rokok terhadap jenis rokok SKT yang industrinya bersifat padat karya di sisi lain pemerintah juga berusaha meningkatkan pendapatannya. Selain itu, pemerintah juga menggunakan sudut pandang administrasi dengan konsep ethics of care yang mana pemerintah berusaha untuk melindungi masyarakat dari penyakit dengan adanya kenaikan cukai ini. Pemerintah dalam hal ini berusaha untuk melakukan kebijakan yang beretika dengan menerapkan kenaikan cukai, tetapi juga disertai dengan adanya perlindungan kepada masyarakat yang berupa upaya untuk menurunkan konsumsi rokok dan berusaha untuk meredistribusi hasil cukai rokok yang meningkat ini, misalnya dengan jaminan kesehatan.
ADVERTISEMENT
Indonesia sendiri diperkirakan mengalami kerugian hingga Rp596,61 triliun rupiah pada tahun 2015 dan berdasarkan perhitungan Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kesehatan Kementerian Kesehatan, kerugian akibat orang produktif yang menjadi tidak produktif karena sakit akibat rokok mencapai sekitar Rp4.180,27 triliun pada tahun 2019. Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian tersebut menggunakan cost of illness approach yang menggunakan dua acuan utama yaitu biaya yang ditimbulkan karena penyakit dan nilai kerugian produksi karena berkurangnya jam kerja dalam konteks penggunaan rokok.
Dengan data tersebut, produktivitas yang hilang karena rokok memberikan sumbangsih yang paling tinggi terhadap kerugian makro ekonomi Indonesia akibat rokok tahun 2015 dan tahun 2019. Kemudian, belanja akibat rokok lainnya, misalnya berupa penyediaan bangunan untuk perokok dan potential loss akibat adanya perokok dalam sarana publik. Kemudian, biaya kesehatan rawat inap juga memiliki signifikansi yang kuat dalam data tersebut. Penggunaan tembakau membuat masyarakat kelas bawah lebih rentan saat harus menghadapi konsekuensi keuangan yang buruk akibat pengobatan terkait tembakau dan masalah kesehatan.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, penerimaan negara dari cukai hasil tembakau pada tahun 2015 hanya mencapai Rp139,5 triliun dan pada tahun 2019 mencapai Rp164,87 triliun, yang mana nilai ini jika dibandingkan dengan kerugian makro ekonomi yang ditimbulkan dari eksternalitas negatif rokok memiliki proporsi yang tidak seimbang. Untuk itu, adil bagi pemerintah untuk menetapkan dimensi prioritas untuk penerapan cukai hasil tembakau dengan prioritas utama kesehatan masyarakat dan produktivitas masyarakat, yang mana kedua entitas ini sangat memiliki kaitan yang kuat. Pemerintah juga dianggap memperhatikan aspek ethics of care dan utilitarianism dalam kebijakan kenaikan cukai hasil tembakau ini karena objek dan proporsi dari pajak cukai rokok yang dikenakan bertujuan untuk tidak menghambat industri padat karya dan berusaha melindungi kepentingan petani di samping memberantas rantai eksternalitas negatif akibat hasil tembakau. Pada akhirnya, pemerintah perlu untuk memperhatikan konsekuensi atas kebijakannya, dalam sudut pandang administrasi seorang administrator perlu untuk melakukan balancing antara utilitarianism yang mana kebijakan kenaikan cukai hasil tembakau ini bisa bermanfaat untuk sebanyak mungkin orang; egoism, yang mana seorang administrator dalam kebijakan kenaikan cukai hasil tembakau ini perlu untuk mengesampingkan nilai-nilai pribadi untuk mencapai tujuan organisasi. "Administrators ought to act neutrally in the sense that they should follow not their own moral principles but the decisions and policies of the organization." (Thompson,1985); hedonism yang mana bertujuan memaksimalkan kepuasan tertinggi dalam kebijakan kenaikan cukai hasil tembakau.
ADVERTISEMENT
Dampak yang dirasakan oleh pemerintah
Rata-rata penerimaan pajak rokok daerah mencapai 435 Miliar rupiah. Sebagian besar provinsi di Pulau Jawa (kecuali DI Yogyakarta) menerima pajak rokok daerah di atas Rp 435 Miliar. Tiga provinsi tertinggi penerima pajak pokok daerah yaitu Jawa Barat dengan penerimaan sebanyak 2,647 Trilliun, Jawa Timur sebanyak 2,377 Triliun, dan Jawa Tengah sebanyak 2,130 Triliun. Menurut Kepala Balitbang Kesehatan Kemenkes, dr. Siswanto, MHP, DTM, hampir Rp 4.200 Triliun atau sepertiga dari PDB tahun 2019 Indonesia hilang akibat penyakit yang disebabkan oleh rokok, yaitu karena kematian dini dan tahun produktif yang hilang karena sakit.
Dari data tersebut, penerimaan dari pajak rokok daerah nyatanya tidak sebanding dengan pengeluaran negara yang lebih besar untuk BPJS. Pemerintah sudah menerapkan ethics of care dalam hal membiayai pelayanan kesehatan bagi masyarakat dengan penyakit katastropik akibat perilaku merokok. Namun pengguna BPJS yang kebanyakan menderita penyakit katastropik akibat perilaku merokok ini membuat negara harus mengeluarkan biaya yang jauh lebih banyak daripada apa yang negara dapatkan dari cukai rokok. Ini lah yang menyebabkan keuangan negara mengalami defisit. Oleh karena itu, kebijakan kenaikan tarif cukai hasil tembakau ini dibuat berdasarkan etika yang bersumber dari utilitarianism atau dapat memberikan manfaat bagi banyak orang, seperti meningkatkan pemasukan negara untuk membiayai BPJS, mengurangi jumlah perokok aktif di Indonesia, serta menciptakan lingkungan yang sehat bagi masyarakat. Pada akhirnya, ketika cukai hasil tembakau ini berhasil dilaksanakan maka produktivitas ekonomi akan naik karena berkurangnya orang sakit dan berkurangnya biaya kesehatan, akibatnya negara juga akan mendapatkan nilai tambah ekonomi tersendiri ketika produktivitas meningkat.
ADVERTISEMENT
Dampak yang dirasakan oleh masyarakat atau konsumen
Kenaikan tarif cukai hasil tembakau memiliki dampak kepada masyarakat. Masyarakat yang terkena dampak dapat dilihat dalam dua pandangan. Pandangan pertama, dilihat oleh masyarakat yang melakukan kegiatan konsumsi (konsumen) hasil olahan tembakau terkhususnya pada produk rokok. Pada kelompok konsumen, sekitar 33,8% dari jumlah penduduk Indonesia (Riskesdas, 2018), konsumen merasa keberatan terhadap kebijakan kenaikan tarif. Kebiasaan konsumen rokok akan mengalokasikan biaya untuk membeli rokok dengan tarif yang lebih tinggi dan akan mengurangi jumlah konsumsi rokok. Tentu hal ini akan bertentangan dengan kebiasaannya dahulu. Kelompok kedua, yaitu non-konsumen. Kelompok ini akan memiliki dampak yang mengarah ke dampak positif. Dampak yang dirasakan oleh kelompok ini adalah terbebasnya udara dari asap rokok akibat jumlah konsumsi yang menurun, menurunya resiko terkena penyakit yang disebabkan oleh asap rokok dan mengurangi emisi karbon di atmosfer.
ADVERTISEMENT
Dampak yang dirasakan oleh produsen hasil tembakau
Pelaksanaan kebijakan ini juga berdampak pada runtuhnya sentra industri tembakau. Menurut Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, jumlah produsen tembakau dari tahun ke tahun mengalami penurunan. Kenaikan tarif cukai membuat produsen rokok akan mengalami persaingan yang tinggi di pasar. Hal ini dikarenakan pembebanan cukai tidak semua diserahkan ke konsumen. Ada beberapa yang dibebankan kepada produsen. Akibatnya, produsen harus mengalokasikan keuntungannya ke beban cukai. Hal ini berimbas pada berkurangnya jumlah produsen hasil tembakau.
Penutup
Penerapan kebijakan kenaikan tarif cukai hasil tembakau pada tahun 2021 telah dilaksanakan berdasarkan etika yang bersumber dari utilitarianism dan ethics of care. Dari segi pemerintah, ethics of care ini terlihat pada tujuan adanya kebijakan ini, yaitu untuk mengurangi jumlah perokok aktif di Indonesia. Hasil dari cukai rokok yang dipungut pemerintah juga disalurkan kepada pembiayaan pelayanan kesehatan pada BPJS. Hal ini menunjukan bahwa pemerintah sudah menunjukan bentuk kepeduliannya kepada masyarakat yang kurang mampu secara finansial untuk membayar biaya pengobatan penyakit katastropik akibat dari konsumsi rokok. Kenaikan tarif cukai hasil tembakau ini memang melanggar etika natural right dan hedonism pada konsumen dalam hal mengintervensi kebebasan mereka untuk merokok serta melanggar natural right theory bagi para produsen rokok yang terancam berhenti produksi rokok dan bangkrut. Namun, kebijakan ini justru mewujudkan etika utilitarianism dengan memberikan manfaat bagi sebanyak mungkin orang lewat dana untuk BPJS yang bersumber dari cukai rokok dan pengurangan jumlah perokok aktif di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Suatu kebijakan memang sulit untuk mewujudkan seluruh etika secara absolut. Dari kebijakan kenaikan tarif cukai ini, kita dapat melihat pro dan kontra yang ditimbulkan secara bersamaan dalam satu kebijakan. Bahkan, hampir semua kebijakan tidak terlepas dari dampak negatif. Oleh karena itu, kebijakan yang dibuat pemerintah sebaiknya mengutamakan etika utilitarianism agar dapat memaksimalkan dampak positif kepada lebih banyak pihak dan meminimalisir dampak negatif dari kebijakan tersebut. Masyarakat diharapkan lebih aktif menyuarakan aspirasinya terkait kebijakan yang dibuat pemerintah, terbuka terhadap proses pembuatan kebijakan berdasarkan etika administrasi, dan lebih kritis untuk melihat dampak positif dan negatif dari suatu kebijakan yang dibuat oleh administrator, yaitu pemerintah atau badan yang terkait dengan kebijakan tersebut.
ADVERTISEMENT
Referensi :
Arjoso, Sumarjati. (2020). Atlas Tembakau Indonesia 2020. Jakarta : TCSC-IAKMI
Deny, Septian. (2020).Jumlah Pabrik Rokok Terus Alami Penurunan Imbas Kenaikan Cukai. Liputan 6. https://www.liputan6.com/bisnis/read/4184107/jumlah-pabrik-rokok-terus-alami-penurunan-imbas-kenaikan-cukai. (20 Feb. 2020)
DPR RI. Kerugian Negara Akibat Rokok Tahun 2015. Diakses di https://berkas.dpr.go.id/puskajianggaran/analisis-ringkas-cepat/public-file/analisis-ringkas-cepat-public-13.pdf
J. Patrick, et al. (2007). Public Managements as Ethics. New York, U.S.A: Oxford University Press
Kurniati, Dian. (2020). Sri Mulyani : Tarif Cukai Rokok 2021 Naik 12,5%! Ini Perinciannya. DDTCNews. https://news.ddtc.co.id/sri-mulyani-tarif-cukai-rokok-2021-naik-125-ini-perinciannya-26199?page_y=720 (10 Des. 2020)
Muchjidin. (2010). Pengembangan Ekonomi Tembakau Nasional: Kebijakan Negara Maju dan Pembelajaran bagi Indonesia. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian
Thompson. (1985). The Possibility of Administrative Ethics. Princeton, U.S.A: Wiley and ASPA
ADVERTISEMENT