Justice Collaborator

Konten dari Pengguna
27 Februari 2020 10:49 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Edwin Partogi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi palu hakim Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi palu hakim Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Pada kasus korupsi PT. Jiwasraya, Penyidik Kejaksaan Agung, telah mencegah 16 (enam belas) orang ke luar negeri, dan menetapkan 6 (enam) tersangka. Para tersangka 3 (tiga) dari pihak Jiwasraya dan 3 (tiga) dari pihak swasta.
ADVERTISEMENT
Jaksa Agung ST Burhanuddin (27/1) mengatakan jumlah tersangka masih terus bertambah. Bila di antara pelaku di luar pelaku pelaku utama mau bekerja sama dengan penyidik, maka mereka berpeluang mendapatkan keringanan tuntutan dan pidana ringan. Adakah diantara pelaku itu memenuhi syarat sebagai Saksi Pelaku yang bekerja sama (justice collaborator)?
Kasus korupsi Jiwasraya menarik perhatian publik. Daya tarik kasus ini tidak terlepas dari posisi Jiwasraya sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang kerugian negara akibat praktek lancung ini diperkirakan Jaksa Agung sebesar 13,7 triliun rupiah (18/12/2019). Jumlah yang jauh lebih besar bila dibandingkan ke kasus korupsi bank Century diperkirakan kerugiannya 7 triliun rupiah.
Di antara pelaku yang ditetapkan sebagai tersangka tentu ada di antaranya ada pelaku utama atau bukan pelaku utama. Dalam tindak pidana yang pelakunya lebih dari 1 (satu) orang, maka tingkat kesalahan ditentukan oleh peran masing-masing pelakunya. Dalam hukum pidana dikenal beberapa kategori pelaku di antaranya, mereka yang menyuruh melakukan perbuatan (doen plegen), mereka yang turut melakukan perbuatan (medeplegen), mereka yang membujuk supaya perbuatan dilakukan (uitlokken) atau mereka yang membantu perbuatan (medplichtig zihjn).
ADVERTISEMENT
Proses hukum yang berlangsung berpeluang mempidana para pelaku dengan hukuman maksimal. Namun bagi pelaku yang tidak masuk kategori pelaku utama masih terbuka peluang untuk mendapatkan keringanan hukuman. Bagaimana caranya?

Justice Collaborator

Saksi Pelaku yang popular disebut justice collaborator (JC), dikenal juga dengan istilah cooperative whistleblowers, participant whistblower, collaborator with justice atau pentiti (Italia) adalah tersangka, terdakwa atau narapidana yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana yang sama. Pengaturan tentang syarat dan hak yang diperoleh oleh JC telah diatur dalam UU 31 tahun 2014 tentang perubahan atas UU 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Syarat yang telah ditentukan dalam UU 31/2014 antara lain, tindak pidana yang diungkap merupakan tindak pidana dalam kasus tertentu (tindak pidana korupsi salah satunya) sesuai dengan keputusan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Saksi Pelaku memiliki keterangan penting mengungkap tindak pidana tersebut, bukan pelaku utama dari tindak pidana yang diungkapnya, kesediaan mengembalikan aset dari tindak pidana dan adanya ancaman, tekanan secara fisik atau psikis terhadap Saksi Pelaku atau Keluarganya jika tindak pidana tersebut diungkap menurut keadaan yang sebenarnya.
ADVERTISEMENT
Mereka yang ditetapkan sebagai Saksi Pelaku (JC) akan mendapatkan perlakuan khusus sesuai ketentuan UU 31/2014 dalam setiap proses peradilan. Antara lain, pemisahan tempat penahanan dengan tersangka, terdakwa, dan/atau narapidana yang diungkap tindak pidananya, pemisahan pemberkasan dengan pelaku lainnya dalam proses penyidikan dan penuntutan, dan/atau memberikan kesaksian tanpa berhadapan langsung dengan terdakwa.
Lalu penghargaan apa yang diperoleh JC? Pelaku yang mendapatkan status JC dapat memperoleh penghargaan dari kerja sama yang diberikannya berupa keringanan penjatuhan pidana dan pemenuhan hak-hak narapidana, seperti, pembebasan bersyarat, remisi tambahan, dan hak narapidana lainnya.
Terkait perlakuan khusus kepada JC ini, Lilik Mulyadi (Jurnal Hukum dan Peradilan, volume 3, 2 Juli 2014), mantan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Utara, mengatakan, konsep JC ini sesuai dengan pendekatan keadilan restroratif (restrorative justice). Menurut Lilik, dalam upaya penanggulangan organized crime, relatif tidak dapat diterapkan asas equality before the law dan asas non-impunity karena tindak pidana organized crime kompleks, multi dimensional dan melintasi batas negara.
ADVERTISEMENT
Sehingga konsekuensi logisnya tidak semua orang diperlakukan sama, karena ada aspek tertentu yang membedakan orang tersebut (JC) dengan orang lain sehingga perbedaan itu membuka ruang dan dimensi seseorang dapat saja tidak dijatuhi pidana asal bertanggung jawab atas perbuatannya dengan melakukan pemulihan keseimbangan seperti keadaan semula (restitution in integrum) akibat perbuatan yang telah dilakukannya.
Tegasnya, dalam hal ini diterapkan asas kesamaan hukum yang adil (equality before the justice). Pendekatan keadilan restoratif ini juga untuk menstimulus keberanian pelaku-pelaku minor untuk menjadi JC. Hal ini juga sejalan dengan konsep pemidanaan di Indonesia yang bukan berdasarkan filsafat retributif, tetapi integratif, di mana lembaga pemasyarakatan (lapas) merupakan tempat untuk membuat narapidana untuk menjadi orang baik.
ADVERTISEMENT
Bagaimana JC dapat memperoleh hak tersebut? UU 31/2014 telah mengatur bahwa LPSK yang berwenang untuk memberikan rekomendasi status JC kepada pelaku pidana. Kewenangan LPSK dalam memberikan rekomendasi JC kepada penegak hukum bisa dimulai dari proses penyidikan. Karena perlakuan khusus kepada JC telah dapat diberikan sejak proses penyidikan sebagaimana diuraikan di atas.
Rekomendasi LPSK agar JC memperoleh penghargaan berupa keringanan penjatuhan pidana disampaikan secara tertulis kepada penuntut umum untuk dimuat dalam tuntutannya kepada hakim. UU 31/2014 meminta hakim memperhatikan sungguh-sungguh rekomendasi dari LPSK yang dimuat dalam tuntutan penuntut umum.
Bila memperhatikan ketentuan dalam UU 31/2014 tersebut, dapat disimpulkan apabila penuntut umum dalam tuntutannya menyatakan terdakwa adalah JC tanpa didasari rekomendasi dari LPSK, maka hal tersebut tidak sejalan dengan hukum acara yang telah diatur dalam UU 31/2014, yang mensyaratkan rekomendasi LPSK.
ADVERTISEMENT
Dalam kesempatan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bertemu Pimpinan LPSK di Kantor LPSK (29/1), Wakil Ketua KPK Nahwawi Pomolango, mantan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Timur, mengatakan bahwa penuntut umum cukup mendasarkan rekomendasi LPSK dalam tuntutannya terkait dengan status JC. Bahkan menurutnya hakim harus memperhatikan rekomendasi LPSK itu dalam putusannya.
Sebagaimana juga telah diatur dalam Pasal 37 ayat 2 Konvensi PBB tentang Anti Korupsi yang diratifikasi menjadi Undang-Undang No. 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan United Nations Conventions Against Corruption yang berbunyi: “Setiap negara peserta wajib mempertimbangkan memberikan kemungkinan dalam kasus-kasus yang tertentu, mengurangi hukuman dari seorang pelaku yang memberikan kerja sama yang substansial dalam penyelidikan atau penuntutan suatu kejahatan yang ditetapkan berdasarkan Konvensi ini.” Pengurangan hukum tersebut hanya bisa dilakukan oleh hakim dalam putusannya.
ADVERTISEMENT
Hal ini sejalan dengan Rancangan Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (R-KUHP). Dalam Pasal 60 RKUHP tersebut telah dinyatakan, dalam pemidanaan wajib mempertimbangkan sikap dan tindakan pelaku kejahatan setelah melakukan tindak pidana. Menurut Marcus Priyo Gunarto, Guru Besar Ilmu Hukum Pidana UGM, dalam diskusi terbatas membahas tema JC pada 22 November 2019, di Yogyakarta, menjelaskan maksud dari pasal 60 ini ialah hakim mempertimbangkan, apakah ada penyesalan atau pelaku mau bekerja sama dengan penegak hukum (JC).
Dalam pemenuhan hak JC yang berstatus narapidana, LPSK memberikan rekomendasi tertulis kepada Menteri Hukum dan HAM (Menkumham), agar JC tersebut mendapatkan perhargaan berupa pembebasan bersyarat, remisi tambahan, dan hak narapidana lainnya. Dalam ketentuan ini UU 31/2014 memerintahkan Menkumham untuk menjalankan dengan sungguh-sungguh rekomendasi LPSK tersebut.
ADVERTISEMENT
Hak-hak narapidana di atas dapat sejalan dengan Peraturan Pemerintah No. 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan yang mensyaratkan terpidana pada perkara terorisme, narkotika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya.
Bila hendak mendapatkan remisi dikenai syarat tambahan berupa bersedia bekerja sama dengan penegakan hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya (JC), telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan untuk Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana korupsi, dengan syarat khusus kepada terpidana terorisme (ikrar setia kepada NKRI) dan narkotika (pidana penjara paling singkat 5 tahun) dan adanya surat penetapan JC dari instansi penegak hukum sesuai ketentuan perundang-undangan.
ADVERTISEMENT

Tantangan

Sebelum UU 31/2014 telah ada ketentuan tentang JC dalam Surat Edaran Agung (SEMA) nomor 4 tahun 2011, kemudian diikuti terbitnya Peraturan Bersama Menkumham, Jaksa Agung, Kapolri, KPK dan LPSK pada tahun yang sama yang mengatur tentang perlindungan bagi pelapor, saksi pelapor dan saksi pelaku yang bekerja sama, termasuk PP 99/2012. Menurut Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Benny K. Harman (22/11/2019), pengaturan tentang JC sebelum UU 31/2014 tersebut dapat dinilai sebagai peraturan yang mengisi kekosongan hukum ketika itu. Sehingga menurutnya, setelah terbitnya UU 31/ 2014, mengenai JC harus merujuk kepada UU tersebut. Dalam kesempatan yang sama, Anggota DPR, Arteria Dahlan, mengatakan kewenangan menetapkan JC berdasarkan UU adalah kewenangan LPSK.
ADVERTISEMENT
Namun, dalam penerapan JC ini dalam praktiknya masih memiliki tantangan. Pertama, istilah Saksi Pelaku tidak dikenal di Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). KUHAP hanya mengenal adanya kategori yaitu, Saksi Korban, Saksi A de Charge (saksi yang meringankan terdakwa), Saksi A Charge (saksi yang memberatkan terdakwa), dan Saksi de Auditu (saksi yang hanya mendengar dari orang lain). Dalam perkembangannya Saksi De Auditu ini sudah diakui statusnya sebagai saksi di putusan Mahkamah Konstitusi nomor 65/PUU-VIII/2010 dan diadopsi dalam UU 31/2014. Di luar KUHAP dikenal juga istilah Saksi Mahkota (crown witness) yang didasarkan putusan Mahkamah Agung No. 2437 K/Pid.Sus/2011. Dalam beberapa kesempatan, masih terdapat penyidik yang menolak adanya status Saksi Pelaku (JC) dengan dalih status tersebut tidak ada dalam KUHAP.
ADVERTISEMENT
Kedua, masih terdapat kesulitan LPSK untuk mendapatkan informasi penyidik terkait penyidikan yang dilakukannya, apabila ada permohonan dari pelaku kepada LPSK untuk mendapatkan rekomendasi sebagai JC. Ketiga, bila penetapan JC dilakukan oleh hakim tanpa diminta oleh penuntut umum dalam tuntutannya.
Terdapat ke engganan di oknum jaksa menyatakan dalam berita acara ke Lapas bahwa terpidana adalah JC dalam putusan pengadilan. Keempat, belum terkonsentrasi pemberian rekomendasi JC oleh LPSK, membuat terbitnya penetapan JC oleh penyidik, penuntut umum, bahkan Kalapas yang berpotensi konflik kepentingan bahkan hubungan yang koruptif.
Guna menyatukan pandangan terkait dengan JC ini LPSK telah meminta kepada Presiden melalui Menkumham untuk menerbitkan peraturan Presiden (Perpres) terkait koordinasi aparat penegak hukum (apgakum) dan LPSK dalam soal JC ini.
ADVERTISEMENT
Namun, tantangan juga ada pada posisi pelaku bila berperan sebagai JC. Tantangan itu antara lain, JC akan dimusuhi oleh rekan-rekannya sendiri. Ancaman keselamatan jiwa dan pembalasan fisik kepada dirinya atau keluarganya akan muncul. Para JC akan berpotensi dihabisi karier dan mata pencahariannya. Tantangan lainnya, JC akan berhadapan dengan kerumitan dan berbelitnya rentetan proses hukum yang seharusnya dilewatinya.
Para JC akan mendapat resiko hukum ditetapkan status hukumnya sebagai tersangka atau bahkan terdakwa dilakukan upaya paksa penangkapan dan penahanan, dituntut dan diadili serta divonis hukuman berikut ancaman denda dan ganti rugi yang beratnya seperti pelaku lain (Desmond Mahesa, 2019).
Rekomendasi JC sesungguhnya sangat ditentukan oleh kolaborasi pelaku kepada apgakum untuk membuat terang tindak pidana yang terjadi. Di sisi lain, apabila kolaborasi ini dinilai oleh apgakum tidak terwujud, maka rekomendasi JC juga dapat di evaluasi.
ADVERTISEMENT
Namun, pada intinya keberadaan JC akan memudahkan penyidik, penuntut umum, dan hakim dalam proses peradilan. Di sisi lain, status JC juga akan membuat Lapas lebih akuntabel dalam pemberian hak narapidana dalam tindak pidana tertentu.
Menjerat para pelaku tindak pidana terorganisir seperti korupsi tidaklah mudah. Negara juga membutuhkan pengembalian kerugian yang optimal dapat diselamatkan. Di sisi lain, efek jera serta peringatan kepada siapa pun untuk tidak melakukan kejahatan serupa harus menjadi pesan yang terang pada proses peradilan.
Keberanian para pelaku minor sebagai JC untuk mengungkap fakta-fakta atas peristiwa tersebut adalah salah satu kuncinya. Korupsi adalah ancaman serius bagi kelangsungan pembangunan, supremasi hukum, dan demokrasi. Karena itu upaya memerangi harus dengan strategi yang jitu termasuk berkolaborasi dengan pelaku minornya.
ADVERTISEMENT
Tulisan oleh: Edwin Partogi Pasaribu (Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban)