Banyak Perempuan Betah Menjomblo, Pertumbuhan Ritel Merosot?

11 Juli 2017 7:25 WIB
comment
8
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pasar Swalayan di Jakarta (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Pasar Swalayan di Jakarta (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
ADVERTISEMENT
Perdagangan elektronik atau e-commerce sering dijadikan "kambing hitam" melemahnya pertumbuhan ritel. Padahal, faktor yang paling mempengaruhi pertumbuhan ritel yaitu daya beli konsumen, ketimpangan, status perkawinan, hingga gaya hidup para kaum milenial.
ADVERTISEMENT
Dilansir Forbes, Selasa (11/7), Direktur Lusk Center for Real Estate Amerika Serikat Richard Green mengatakan, ketimpangan pendapatan semakin memburuk dalam 30 tahun terakhir. Bahkan rasio ketimpangan global pada 2013 mencapai 41 persen, semakin mendekati 100 persen maka semakin sedikit kesetaraan di suatu negara.
Dalam penelitiannya Green menyampaikan, jika masyarakat kaya diberikan uang sebesar 1 dolar AS atau Rp 13.300 (kurs Rp 13.300), akan digunakan untuk menabung. Berbeda jika masyarakat miskin diberikan uang Rp 13.300, maka uang tersebut akan digunakan untuk berbelanja.
Sementara jika masyarakat kelas menengah diberikan uang, maka orang tersebut akan menghabiskan 90 persennya untuk berbelanja dan 10 persen sisanya untuk ditabung.
"Ada 20 persen penghasilan kelas menengah dan orang kaya meningkat setiap tahunnya. Sementara 15 persen penghasilan masyarakat kelas bawah belum mengalami kenaikan pendapatan dalam 30 tahun terakhir," ujar Green.
ADVERTISEMENT
Selain itu, Green juga mengatakan status pernikahan pada perempuan bisa mempengaruhi pertumbuhan ritel. Sebab menurutnya saat ini semakin sedikit perempuan yang menikah dalam dua dekade terakhir. Sementara yang biasanya banyak belanja di ritel modern untuk kebutuhan keluarga atau pasangan adalah perempuan.
Pada 1990, ada 23 persen perempuan di umur 25-34 tahun belum menikah. Pada 2010, ada 42 persen perempuan belum menikah di usia tersebut.
Green pun menyebutkan alasan utama perempuan di seluruh dunia belum menemukan pasangannya karena belum menemukan laki-laki yang mapan secara ekonomi.
"Di suatu daerah, di mana laki-laki bisa kehilangan pekerjaannya karena pabrik tempatnya bekerja tutup, dan laki-laki tidak begitu percaya diri untuk mendekati perempuan secara mudah. Akibatnya, laki-laki itu berbelanja sendiri dan tidak berlama-lama di pusat perbelanjaan," katanya.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, gaya hidup milenial juga mempengaruhi pertumbuhan ritel. Mereka lebih banyak menghabiskan uang untuk berbelanja, namun generasi sebelum milenial justru kebalikannya.
"Orang-orang yang lahir pada tahun 1930an, sebelum generasi milenial, yang akhirnya menghasilkan banyak uang pada tahun 1970-an, masih belum menghabiskan banyak uangnya. Mereka menghabiskan lebih sedikit uang dari pada generasi yang datang sebelum dan sesudah mereka," jelasnya.