Siapa Sesungguhnya yang Hancurkan Peradaban (Melalui Pemilu ini)?

Konten dari Pengguna
27 April 2019 15:45 WIB
comment
13
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Effendi Gazali tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Pemilu. Foto: Sabryna Putri Muviola/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Pemilu. Foto: Sabryna Putri Muviola/kumparan
ADVERTISEMENT
Semula saya berusaha diam, agar tidak menambah konflik anak bangsa. Apalagi kita berduka cita mendalam, mendengar berpulangnya hampir 300 KPPS (dari 5.672.303 KPPS di 810.329 TPS).
ADVERTISEMENT
Namun belakangan, muncul beberapa pihak yang mengeluarkan kata-kata bijak, seakan dia lah yang paling tergerak cepat mengatasi keadaan. Padahal, jangan-jangan, mereka salah satu biang masalahnya.
Maka saya ajak untuk buka-bukaan. Kapan perlu dalam salah satu sesi terbuka, ilmiah, dan civilized, di KPU (asal jangan dengan niat menambah lagi konflik bangsa ini).
Tujuan pengajuan judicial review ke MK (awal tahun 2013), adalah menyelamatkan peradaban Indonesia. Sejak awal, kami akademisi sudah mencium gelagat buruk dari sekelompok orang yang akan mendesain agar Pilpres Indonesia hanya akan diikuti oleh dua capres atau bahkan calon tunggal!
ADVERTISEMENT
Bayangkan kami sudah mencium gelagat itu sejak tahun 2013!
Kenapa kami anggap itu akan 'merusak peradaban'?
Kalau anda memahami hancurnya peradaban karena potensi penyalahgunaan media sosial, pasti anda akan mencegah dengan segala upaya agar tidak terjadi Pilpres dengan hanya 2 capres. Apalagi calon tunggal!
Lihat apa yang terjadi? Sangat banyak: energi dan waktu KPU, Bawaslu, Polri, serta Politisi, terbuang untuk menangani hoaks, ujaran kebencian, dan pencemaran di media sosial. Yang terakhir ini, antara kubu "cebong" lawan "kampret".
Sangat terasa kurang waktu untuk sosialisasi Pemilu, apalagi simulasi!
Kalau simulasinya ilmiah, dengan mempertimbangkan segala kondisi, maka segala kelelahan dan gangguan kesehatan harus terdeteksi. Masa simulasi berbeda betul dengan kenyataan?
Waktu 5 tahun 2 bulan dibuang percuma oleh Pembuat Undang-Undang untuk menghasilkan Kodifikasi UU Pemilu. Ngotot-nya hanya untuk Presidential Threshold, sampai voting dini hari!
ADVERTISEMENT
Sebetulnya sejak 2015, kami sudah mengusulkan manajemen pemilu serentak. Antara lain, 1 Desember 2015, pada peluncuran Buku Mendagri, Tjahjo Kumolo, "Dasar Hukum Pemilu Serentak".
Kami usul agar Pemilu serentak dibagi menjadi dua, yaitu Pemilu nasional serentak (Presiden, DPR, DPD) dan Pemilu daerah serentak (Kepala Daerah, DPRD tingkat 1, DPRD tingkat 2). Jaraknya 2,5 tahun. Tapi sepertinya usul ini dan usul teman-teman civil society lain hilang di tengah hiruk-pikuk Presidential Threshold!
Apakah sesimpel itu masalah kita sekarang, hanya karena Presidential Threshold? Bukan sesimpel itu, tapi Pemilu serentak hanya salah satu metode untuk membuang Presidential Threshold; agar peradaban bangsa tidak dibiarkan hancur, karena keterbelahan, di depan mulut penghancur peradaban bernama "media sosial".
ADVERTISEMENT
Niat asli (original intent) Pembentuk UUD kita memang agar bangsa tidak terbelah, walau niat itu dirumuskan jauh sebelum era sisi kelam medsos.
Kalau sudah terbelah begitu dalam, apalagi bawaan luka lama sejak 2014, segala sesuatu dicurigai. Hampir tidak pernah kita bisa duduk bersama, mencari penyelesaian, secara beradab!
DPT tidak pernah diterima dengan baik, KTP elektronik juga belum pernah beres, kertas suara dicurigai tercoblos, setting website dicurigai, aparat dicurigai tidak netral, apalagi Quick Count dsb; apa-apa saja membelah dan dicurigai!
Tidak cukup lagi peradaban untuk bisa menyelesaikan masalah bersama!
Kami sudah memprediksikan sejak 2013!
Di mana posisi anda sesungguhnya? Anda jadi bagian yang menjaga peradaban atau yang merusaknya melalui Presidential Threshold? Anda tidak sadar, atau anda sengaja, mengumpankan bangsa yang jadi terbelah, ke depan mulut menganga perusak peradaban bernama "media sosial" ?
ADVERTISEMENT
(*Presidential Threshold: ambang batas pencalonan presiden; harus 20% kursi legislatif, hasil pemilu 5 tahun lalu. Syarat begini hanya ada pada Pemilu Serentak Indonesia. Gara-gara syarat ini, calon presiden pemilu 2019 sudah dihitung betul agar tersisa 2 pasangan saja).