Apakah Betul Indonesia Mengalami Krisis Kepemimpinan?

Asmiati Malik PhD
International Relations - International Political Economist - Young Scholars Initiative - Senior researcher at AsianScenarios - Dosen Hubungan Internasional Universitas Bakrie
Konten dari Pengguna
14 April 2018 5:59 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Asmiati Malik PhD tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Apakah Betul Indonesia Mengalami Krisis Kepemimpinan?
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Illustrasi, Photo: converus.com
Pernyataan Anis Matta yang diliput disalah satu media nasional menyatakan bahwa sekarang ini Indonesia mengalami krisis kepemimpinan dan mengharapkan negara dengan sosok kepemimpinan seperti di zaman Nabi Sulaiman menarik untuk diulas.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya kalau dilihat dari perspektif sejarah Indonesia, sudah banyak terjadi perubahan terutama keragaman aktor-aktor yang mengambil bagian dan peran diajang kompetisi politik dibandingkan dijaman orde lama, dimana orang yang memegang tampuk kepemimpinan hanya orang yang dekat dengan kaum elit.
Kemudian setelah terjadi transformasi demokrasi ke orde reformasi, dalam proses perubahan tersebut tidak terjadi dengan matang, sehingga secara sistem orang yang muncul diajang kontestasi politik hanyalah orang-orang yang memiliki kemampuan ekonomi atau dalam Bahasa ilmu politiknya disebut dengan oligarch dan memiliki kedekatan dengan elit politik. Sehingga keragaman aktor berubah menjadi orang yang dekat dengan elit dan orang yang memiliki uang.
Sistem politik Indonesia yang menganut demokrasi yang sepatutnya berdasar pada nilai-nilai Pancasila terutama unsur keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, tidak tercermin dengan baik pada setiap ajang kontestasi politik. Karena orang yang tidak memiliki kemampuan ekonomi jangan berharap bisa ikut dalam ajang ini.
ADVERTISEMENT
Mahalnya biaya politik menyebabkan orang yang memiliki kemampuan kepemimpinan, hati yang bersih tapi tanpa kemampuan keuangan tidak akan mampu ikut bersaing. Kalaupun dia sanggup ikut bersaing dengan bantuan dari kolega atau orang yang mendanainya, maka dia akan terikat untuk balas budi dan memenuhi kepentingan orang yang mendukungnya.
Oleh karena itu banyak kita lihat orang yang dulunya idealis, bersih, dan berkualitas, bahkan didukung dengan jenjang dan kemampuan akademis yang tinggi, seketika berubah ketika dia telah berada pada pusaran politik kepentingan.
Demokrasi Mahal
Sama saja ketika ketika muncul Partai politik baru yang membawa angin segar dan semangat perubahan pada awal-awalnya seperti ketika Demokrat, PKS, dan partai lainnya muncul, pada akhirnya juga terjerambab pada kepentingan pemilik uang dan partai. Oleh karena itu saya pesimis dengan munculnya partai baru sekarang ini seperti Partai Solidaritas Indonesia ataupun Partai Berkarya, mampu membawa perubahan selama sistem politik Indonesia secara design masih sangat mahal (Demokrasi Mahal). Karena sudah lazim, pemimpin partai atau pemilik partai sudah pasti orang-orang yang itu saja, kalaupun seperti orang baru, itu hanya bungkusnya saja.
ADVERTISEMENT
Ini kita belum berbicara tentang pemilihan Presiden, bahkan di pemilihan Kepala Daerah orang yang terpilih adalah orang yang memiliki kemampuan ekonomi, uang kas dan hubungan keterkaitan dekat secara kekeluargaan dengan pemimpin sebelumnya. Sehingga agendanya juga tidak akan jauh pada pemenuhan kepentingan pribadi dan golongannya.
Kalau sudah seperti ini, semua post-post penting akan diisi oleh orang-orang terdekatnya yang tentu bisa menjaga kepentingan dan melanggengkan kekuasaannya. Dalam praktek politik seperti ini, partisipasi masyarakat/publik sangat kecil sehingga kualitas layanan birokrasi juga sangat rendah.
Sistem ini kemudian berantai pada alokasi proyek pembangunan yang akan diberikan pada orang-orang terdekatnya. Sehingga jangan pernah berharap akan ada sistem check and balance, apalagi supervisi pada proyek yang dilaksanakan tersebut. Dan biasanya korupsi paling besar berada pada post pengadaan barang dan jasa.
ADVERTISEMENT
Kalau sudah begitu aktor-aktor ini akan mampu mengumpulkan pundi-pundi uang yang cukup untuk membiayai kontestasi politik mereka selanjutnya. Meskipun masa jabatan mereka sudah habis dan tidak bisa maju lagi (misalnya karena sudah dua kali priode pemerintahan), maka mereka akan mendorong keluarganya untuk maju, alasannya bukan lagi pada prinsip pengabdian pada masyrakat akan tetapi sudah dijadikan lapangan pendapatan.
Makanya tidak heran kalau KPK mampu menjaring 600 koruptor yang mana 146 diantaranya adalah Anggota DPR/DPRD, 19 Gubernur dan 82 Bupati, tinggal Presiden saja yang belum bisa terjaring. Saya sangat yakin bahwa praktek ini sampai pada pusaran kekuasaan yang paling tinggi, cuma saja besarnya tekanan dan pengaruh politik tidak memberikan celah untuk mengungkapnya. Ini juga terefleksi dari hasil penelitian CSIS ditahun 2016, dimana 66,4% dari keseluruhan sampel berpendapat bahwa terjadi peningkatan kasus korupsi.
ADVERTISEMENT
Nah faktor yang seperti inilah yang menyebabkan orang yang muncul diajang pemilihan hanya orang itu-itu saja. Tapi tidak berarti bahwa kita kekurangan orang-orang yang berkualitas. Cuma orang yang memiliki kualitas tersebut tidak mendapatkan kesempatan dan panggung karena kurangnya kemampuan ekonomi, dan idealisme yang menuntut dia tidak sanggup berkompromi dengan kepentingan golongan lain (Partai), yang menyebabkan dia memilih untuk menjadi pengamat gawang.