Protes Masyarakat Hong Kong, Bentuk Kecerdasan Kolektif

Asmiati Malik PhD
International Relations - International Political Economist - Young Scholars Initiative - Senior researcher at AsianScenarios - Dosen Hubungan Internasional Universitas Bakrie
Konten dari Pengguna
13 Agustus 2019 10:46 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Asmiati Malik PhD tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Protes warga Hong Kong (Foto: reuters)
zoom-in-whitePerbesar
Protes warga Hong Kong (Foto: reuters)
ADVERTISEMENT
Aksi demonstrasi di Hong Kong sudah berlangsung hampir 5 bulan. Protes sedemikian rupa merupakan salah satu aksi demonstrasi terlama dengan jumlah massa besar di dunia. Masalah ini berawal dari kasus pembunuhan yang dilakukan oleh seorang pria warga Hong Kong yang bernama Chan Tong-kai terhadap pacarnya ketika berlibur di Taiwan pada bulan 8 Februari 2018. Seminggu kemudian, Chan kembali ke Hong Kong dan sebulan setelah itu, ia mengaku telah membunuh pacarnya yang sedang hamil. Tetapi aparat keamanan Hong Kong tidak bisa menghukum Chan karena aksi pembunuhan tersebut terjadi di Taiwan di mana Hong Kong tidak memiliki perjanjian ekstradisi dengan Taiwan. Ini menyebabkan Chan bisa bebas tanpa hukuman yang sepantasnya.
ADVERTISEMENT
Kasus ini kemudian menyebabkan pemerintah Hong Kong membuka kerja sama dan perjanjian ekstradisi dengan Taiwan, tapi pada yang sama juga perjanjian ini membuka peluang ekstradisi dengan pemerintah Cina daratan. Perjanjian ekstradisi tersebut menyebabkan kegusaran bagi masyarakat Hong Kong karena Cina daratan dan Hong Kong pada dasarnya begitu berbeda baik dari aspek pemerintahan, sistem peradilan, dan bahkan ideologi. Pemerintah Cina daratan terkenal dengan sistem pemerintahan sosialis komunis dan cenderung otoriter, sedangkan Hong Kong menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan konsep liberalisme, kebebasan pers, dan berpendapat.
Meskipun pada dasarnya Hong Kong adalah wilayah bagian dari Cina daratan, tapi memiliki sistem semi otonomi yang dikenal dengan satu negara dua sistem setelah pemerintah Inggris menyerahkan Hong Kong pada pemerintah Cina pada tahun 1997 dan pada tahun 2049, Hong Kong akan berada pada total kontrol oleh Cina. Tetapi Cina dibawah pemerintahan Xie Jing Ping, secara politis sudah menggencarkan lobi-lobi dengan politisi Hong Kong untuk mempertajam pengaruh mereka di Hong Kong melalui Carrie Lam Cheng Yuet-ngor, selaku kepala eksekutif pemerintahan yang memiliki kedekatan khusus dengan pemerintahan Xie.
ADVERTISEMENT
Kedekatan Carrie dengan pemerintah Cina daratan menyebabkan ketidakpercayaan masyarakat Hong Kong pada niat baik Carrie untuk menunda pelaksanaan perjanjian ekstradisi tersebut. Di saat yang sama, masyarakat Hong Kong terutama penduduk berusia muda merasa mereka berbeda dengan Cina dan hanya 3.5% dari mereka yang merasa adalah bagian dari Cina dan sisanya merasa bagian dari masyarakat dunia. Mereka ini adalah generasi yang dibentuk berdasarkan prinsip kesamaan, kebebasan, dan jaminan hak sesuai dengan nilai-nilai demokrasi yang mengutamakan jaminan hak-hak asasi manusia.
Lam Wing-kee didepan toko bukunya yang sudah ditutup (Foto: Sim Chi Yin for The New York Times)
Kekhawatiran masyarakat Hong Kong terhadap kontrol pemerintah Cina sangatlah beralasan. Banyak kasus yang menunjukkan intervensi pemerintah Cina daratan terhadap penangkapan sembilan aktivis pro demokrasi di Hong Kong dan bahkan sudah dihukum selama 16 bulan penjara. Selain itu terdapat juga kasus penculikan sebuah pemilik toko buku, Lam Wing-kee, oleh aparat keamanan Cina karena dianggap menyebarkan dan menjual buku-buku yang dianggap bisa menjatuhkan kredibilitas dan citra pemerintah Cina. Selain itu, pemerintah Cina terkenal sangat represif terhadap kebebasan beragama dan menyensor konten berita dan sosial media secara besar-besaran untuk menjaga kelanggengan kekuasaan mereka. Ini bisa dilihat dari perbedaan media Cina memberitakan protes besar-besaran di Hong Kong bukan sebagai bentuk protes.
ADVERTISEMENT
Bentuk represi hak kebebasan semacam ini yang sangat dikhawatirkan oleh masyarakat Hong Kong. Kebebasan yang selama ini mereka nikmati bisa hilang sekejap apabila pemerintah Cina menerapkan total kontrol terhadap Hong Kong.
Pertanyaannya kemudian adalah, kapan demonstrasi ini berakhir? dan apakah pemerintah Cina daratan akan membiarkan protes ini terus berlangsung?
Pemerintah Cina secara jelas sudah menyampaikan pesan kepada pada pelaku aksi demonstrasi untuk tidak menganggap remeh kekuatan pemerintah pusat. Pada saat yang sama, Kementerian Luar Negeri Cina menuduh Amerika Serikat mempengaruhi peningkatan tingkat demonstrasi brutal di Hong Kong. Bahkan, sekutu dekat Cina yaitu Korea Utara juga turut memberitakan hal yang sama. Ini berarti pemerintah Cina berusaha untuk menutup kemungkinan adanya upaya-upaya dari negara luar untuk menyorot masalah yurisdiksi dan otoritas pemerintah Cina di Hong Kong. Selain itu, pemerintah Cina juga mengklaim bahwa bergabungnya Hong Kong sebagian bagian utuh dari Cina akan menyebabkan peningkatan ekonomi dari Hong Kong sendiri sebagaimana mereka membangun Shenzhen sebagai kota dengan GDP yang jauh lebih besar dari Hong Kong. Sangat jelas pemerintah Cina tidak akan membiarkan Hong Kong lepas kontrol begitu saja. Ini bukanlah sifat khas pemerintah Cina yang terkenal otoriter dan represif.
ADVERTISEMENT
Tetapi pada saat yang sama, aksi protes sepertinya tidak akan berakhir meskipun secara terang-terangan masyarakat Hong Kong meminta intervensi dunia internasional termasuk pemerintah Inggris untuk mendukung aksi mereka karena beberapa di antara mereka memiliki dual passport dan berkewarganegaraan Inggris. Tapi, tentunya ini sangat susah untuk terealisasi karena secara sah Hong Kong adalah teritori Cina. Campur tangan negara lain akan menyebabkan ketegangan yang besar, apalagi Cina sekarang memiliki kekuatan militer yang sejajar dengan Amerika.
Ketegangan di Asia akan merusak stabilitas ekonomi dunia secara keseluruhan. Namun demikian, sangat susah bagi masyarakat Hong Kong untuk menerima fakta legal bahwa pada tahun 2047 mereka akan menjadi bagian keseluruhan dan kehilangan otonomi spesial yang selama ini disematkan. Perbedaan ideologi dan kualitas pendidikan yang membawa kesadaran pada hak-hak dasar dan kesamaan nilai menjadi pemersatu para peserta demonstrasi untuk terus menolak segala bentuk represi dari pemerintah Cina.
ADVERTISEMENT
Opini: Asmiati Malik