'Goyang Dangdut' di Atas Perahu Kayu Melintasi Tonle Sap Lake, Kamboja

Eka Situmorang
Curious soul who loves travelling and food. Mom of one. Travel Blogger. Instagram : ceritaeka. Blog at http://ceritaeka.com and http://ekalagi.com
Konten dari Pengguna
12 September 2019 14:44 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Eka Situmorang tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Perahu kayu di Tonle Sap Lake. (Foto: Dok. Eka Situmorang-Sir)
zoom-in-whitePerbesar
Perahu kayu di Tonle Sap Lake. (Foto: Dok. Eka Situmorang-Sir)
ADVERTISEMENT
Pemandu wisata di Siem Reap menyarankan kami untuk memasukkan Chong Kneas Floating Village di Tonle Sap Lake dalam itinerary liburan di Kamboja. Saya menyetujui usulnya karena kata kunci yang saya pegang adalah floating village. Saya pikir akan seseksi dan seeksotis Pasar Terapung di Banjarmasin.
ADVERTISEMENT
Untuk sampai di Chong Kneas Village, kami perlu mengarungi sungai besar bernama Tonle Sap Lake, sungai dengan air berwarna cokelat muda yang mengingatkan saya pada kopi susu dingin kekinian. Kenapa saya sampai ingat kopi susu?
Karena waktu itu Kamboja sedang panas-panasnya, kami sampai bersimbah keringat sepanjang waktu. Jadi, jangan salahkan saya kalau sampai berhalusinasi es kopi deh, ya. Hehehe.
Keunikan Tonle Sap Lake
Tonle sendiri artinya sungai besar air tawar yang dalam penerjemahannya ke dalam Bahasa Inggris dan bahasa lainnya menjadi danau. Penerjemahan ini bukan karena salah tafsir tapi karena Tonle Sap Lake ini memang unik, luasnya dapat mengembang dan mengecil sesuai musim.
Pada musim panas, sungai akan menyurut hingga terlihat seperti sungai dengan kedalaman satu meter saja. Sementara saat musim hujan, debit air melebar hingga sungai menjelma seperti danau yang sangat luas dengan kedalaman air hingga sembilan meter. Menarik, ya?
ADVERTISEMENT
Selain itu, arus di sungai ini juga bisa berubah arah sesuai dengan musimnya. Luar biasa, saya baru mendengar arus sungai berubah arah tuh, ya, di sini.
Goyang Dangdut di Atas Perahu Kayu
Setelah membayar tiket seharga USD 15 per orang alias sekitar Rp 210.000, kami pun menunggu giliran untuk bisa naik ke atas perahu. Melewati jembatan kayu yang lumayan bikin deg-degan, kami turun ke dermaga bagian bawah.
Saya langsung senang saat pengemudi perahu memberikan jaket pelampung. Yeay! Keselamatan diperhatikan juga.
Dermaga kayu di Tonle Sap Lake. (Foto: Dok. Eka Situmorang-Sir)
Tanpa menunggu lebih lama, pengemudi perahu langsung tancap gas setelah kami semua naik ke dalam kapal. Kami datang di musim kemarau sehingga Tonle Sap Lake sedang surut-surutnya.
Informasi yang kami dapatkan dari pengemudi kapal, saat itu kedalaman air hanya 1,5 meter dan di beberapa bagian sungai bahkan lebih dangkal lagi. Alhasil, entah berapa kali kapal kayu yang kami tumpangi sedikit tersendat karena bagian bawah kapal nyangkut di dasar sungai.
ADVERTISEMENT
Namun biar begitu, karena perahunya yang mungil dan sungainya yang tidak terlalu lebar, bisa dipastikan riak air berkecipuk setiap kali kami berpapasan dengan perahu lain. Ombaknya cukup membuat perahu kami bergoyang-goyang. Belum lagi kecipratan air sungainya. Bikin jantungan! Ya ampun, ngeri terbalik.
Muka mama saya selalu cemas setiap kali ada perahu lain lewat sementara wajahnya Basti sih malah senang dan riang gembira. Namanya juga anak kecil. Lihat perahu lain malah happy. Hahaha.
By the way, saking kecilnya perahu kami dan dangkalnya sungai saat itu, beberapa kali kami harus berganti posisi duduk agar perahu menjadi ringan di beberapa sisi. Persis di angkot gitu, deh. Hahaha. Wah, pokoknya lumayan bikin capek! Meskipun seru juga sih. Hihihi.
Tonle Sap Lake di musim kemarau. Jika musim hujan volume air bisa menutupi dataran tinggi di belakang perahu. (Foto: Dok. Eka Situmorang-Sir)
Setelah perahu melaju sekitar 15 menit, sampailah kami di bagian luar desa terapung. Pengemudi kapal menurunkan kami di sebuah restoran dan bilang, kalau kami mau berkeliling masuk ke dalam desanya, maka perlu berganti ke sampan yang lebih kecil dan membayar ekstra.
ADVERTISEMENT
Saya diam seribu bahasa. Ya ampun harga tiket yang hampir 200 ribu per orang itu ternyata belum all in, masih harus tambah lagi. Alamak, Kamboja ini memang pintar mengemas wisata (dengan mahal), ya. Tapi namanya lagi liburan keluarga, apalagi bawa orang tua, maka saya tawarkan opsi itu ke mama. Dan beliau menolak.
“Naik perahu kayu tadi aja udah deg-degan apalagi ganti naik sampan yang lebih kecil lagi, mama bisa jantungan!” Begitu rutuknya. Hahaha. Saya tertawa mendengarnya, memang goyangan di perahu kayu tadi lumayan wow, ngalahin hebohnya penyanyi dangdut.
Saying Goodbye ke Desa Terapung
Ya sudah, kami putuskan untuk melupakan tujuan utama menjelajah desa terapung dan menghabiskan waktu di restoran terapung saja. Rencana awal, kami mau makan di restoran ini tapi begitu melihat harga menunya, kok, bikin mengelus dada, ya. Nasi goreng dijual seharga USD 8 alias Rp 100 ribu-an, rasanya pun belum terjamin lezat.
ADVERTISEMENT
Berhubung kami masih agak kenyang dari sarapan di hotel tadi pagi, jadi kami urungkan niat tersebut. Ya, daripada kecewa sudah bayar mahal tapi rasanya belum tentu enak, 'kan?
Restoran terapung dengan Chong Kneas Floating Village sebagai latarnya. (Foto: Dok. Eka Situmorang-Sir)
Lalu kami pun beralih ke toko suvenir. Kali saja ada barang yang lucu buat oleh-oleh. Oops, setali tiga uang, harganya gila. Hahaha. Akhirnya kami cuma keliling saja melihat-lihat restorannya dan memandangi desa terapung yang ada di kejauhan.
Setelah 30 menit berada di sana, pengemudi kapal kami datang menjemput dan membawa kami kembali ke dermaga awal. Kami semua duduk dalam diam ditemani bunyi mesin perahu yang bising di bagian belakang. Tentu saja sambil tetap waspada dari cipratan air serta goyang dangdut saat berpapasan dengan perahu lain.
ADVERTISEMENT
Begitu sampai di dermaga dan hendak turun, pengemudi perahu dengan sedikit memaksa meminta tip kepada kami. Saya beri USD 1 tapi ia menolak, ia minta USD 2. Warbiyasak, rasanya saya kayak dipalak. Hahaha. Berhubung saya enggak mau berdebat, jadi langsung saya berikan saja keinginannya meskipun kata pemandu wisata kami, tip tidak wajib diberikan di sini.
Kemudian saya teringat pada Pasar Terapung yang ada di Sungai Martapura dan terbayang keeksotisannya. Bagaimana hangatnya interaksi antarpenduduk juga kepada turis. Betapa seksinya melihat kapal besar hilir mudik di sepanjang sungai. Perahu dibayar di muka dan tidak ada jebakan lagi setelahnya.
Ah, saya jadi kangen Banjarmasin. Hahaha. Semoga wisata terapung di Banjarmasin juga bisa dikelola dengan baik, ya. Menang jauhlah dari yang di Kamboja sini soalnya. Hehehe.
ADVERTISEMENT
Teman kumparan, sudah pernah menjelajah desa atau pasar terapung?
Salam,
Eka Situmorang-Sir