Menjelajah Gardens by the Bay, Taman Futuristik Singapura

Eka Situmorang
Curious soul who loves travelling and food. Mom of one. Travel Blogger. Instagram : ceritaeka. Blog at http://ceritaeka.com and http://ekalagi.com
Konten dari Pengguna
2 Oktober 2018 16:14 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Eka Situmorang tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Rasanya belum lengkap ke Singapura kalau belum mampir ke Gardens by the Bay. Taman yang dibangun sebagai paru-paru negara kota ini lokasinya tidak jauh dari Singapore Flyer yang kami sambangi sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Hanya sekitar 500 meter jalan kaki saja dipisahkan oleh sebuah sungai yang bermuara ke laut. Nah, sebagai mamak-mamak yang ogah rugi, sekali keluar hotel kalau bisa mampir ke beberapa tempat sekaligus dong.
Jadi, selesai dari Singapore Flyer kami mantapkan kaki menuju Gardens by the Bay walau malam sudah menjelang. Niatnya pengen sekalian melihat Garden Rhapsody, alias pertunjukkan musikal dengan lampu-lampu yang terkenal itu.
Gardens by the Bay di malam hari. (Foto: Eka Situmorang-Sir)
Sesungguhnya Gardens by the Bay yang futuristik ini makin terlihat mewah di malam hari. Kami pernah berkunjung ke sini di tengah hari bolong lalu malah nggak bisa nikmatin tempatnya karena sibuk cari tempat ngadem. Panasnya pol! Hahaha.
ADVERTISEMENT
Nah, berhubung sekarang bawa balita maka main ke sini di malam hari pun bisa jadi alternatif biar si bocah enggak cranky. Ada apa aja sih di Gardens by the Bay? Cuss baca terus sampai habis.
Sejuknya Cloud Forrest
“Now what, Mami?” Tanya Basti sedikit bosan setelah kami berjalan kaki sekitar 15 menit dari Singapore Flyer.
“Kita mau ke Gardens by the Bay. Di sana main ke Cloud Forrest, ada air terjunnya, lho.”
“Asyik enggak tempatnya? Is it more awesome than the waterfall in Bali?,” Basti merujuk ke Air Tejun Banyumala yang kami kunjungi sebelumnya.
“Well, depends on what you mean by awesome it self. This is an educative place, you will find lots of plants there and some information next to it.”
ADVERTISEMENT
“But, I can’t read!,” protes Basti keras yang bikin saya garuk-garuk kepala. Hahaha. Kadang saya lupa kalau anak saya ini masih balita.
“Well, Papi will read it for you then,” kata saya memindahkan tanggung jawab ke Adrian yang disambut dengan pelototan kocak. Hahaha. Pliiiiis, pinta saya ke Adrian tanpa bersuara. Untungnya Adrian mengiyakan.
Air Terjun buatan di Cloud Forrest. (Foto: Eka Situmorang-Sir)
Begitu kami masuk ke Cloud Forrest, udara dingin langsung menyergap. Beruntung saya selalu menyediakan jaket buat Basti jadi sejuknya udara di ruangan ini enggak terlalu menusuk tulang. Cloud Forrest adalah salah dua konservatori yang ada di Gardens by The Bay selain Flower Dome.
Terdapat sebuah air terjun buatan setinggi 35 meter di pintu masuk yang menjadi pembuka ke jalan-jalan rahasia di belakangnya yang disebut Cloud Walk. Jalanan ini melingkar ke atas mengelilingi gunung buatan yang penuh dengan tanaman khas negara-negara khatulistiwa di sisi kiri dan kanannya.
Cloud walk mengitari gunung tropis buatan. (Foto: Eka Situmorang-Sir)
ADVERTISEMENT
Pengunjung bisa melihat tipikal tanaman negara-negara tropis seperti Anggrek, Pakis bahkan Bunga Dahlia sepanjang jalan. Cloud Forrest yang tidak terlalu luas ini selesai kami jelajahi dalam waktu 30 menit saja, kemudian kami beranjak ke konservatori yang satunya lagi.
Terpikat Cantiknya Bunga-bunga di Flower Dome
Flower Dome yang terletak persis di depan Cloud Forrest merupakan konservatori lainnya di Gardens by the Bay. Di konservatori ini pengunjung bisa melihat koleksi bunga-bunga yang berganti tema setiap beberapa bulan.
Berhubung kami datang berkunjung di bulan Oktober maka tema yang diusung adalah Halloween. Setiap sudut Flower Dome penuh dengan labu besar dan dekorasi terkait perayaan yang berasal dari bangsa Celtic tersebut.
Koleksi bunga yang dipertunjukkan di Flower Dome berganti-ganti sesuai tema yang diusung saat itu. (Foto: Eka Situmorang-Sir)
ADVERTISEMENT
Flower Dome ini memang menggemaskan. Pernah kami mampir ke sini saat Natal dan dekorasinya semarak sama rusa. Hahaha.
Jadi datang berkali-kali ke Flower Dome pun enggak akan bosan karena koleksi bunganya ganti-ganti.
Kelelahan di Flower Dome. (Foto: Eka Situmorang-Sir)
Namun sayang, yang senang kayaknya cuma saya aja. Basti terlihat kurang antusias di dalam konservatori, entah karena sudah capek atau memang dia enggak tertarik sama tanaman. Akhirnya kami enggak berlama-lama di dalam sini.
Tiket masuk ke Konservatori Cloud Forrest dan Flower Dome
Masuk ke area Gardens by the Bay yang luas itu tidak dikenakan biaya. Makanya kalau hari Minggu banyak ART yang ngumpul di sini buat refreshing. Enggak bakal heran deh kalau dengar orang bicara logat Jawa yang kental dari penjuru taman ini.
ADVERTISEMENT
Biasanya mereka saling curhat tentang beban kerja atau ngomongin majikannya. Kok saya tahu? Karena saya pernah ke sini pas hari Minggu dan mendengar curhat colongan mereka. Hehehe. Lucu-lucu gimana gitu.
Walaupun mampir ke Gardens by the Bay gratis, tapi tidak dengan konservatorinya. Untuk masuk ke Cloud Forrest dan Flower Dome yang tadi saya ceritakan, orang dewasa harus membayar SGD 28 per orang dan SGD 15 untuk anak-anak berusia 3-12 tahun. Usia di bawah 3 tahun enggak perlu beli tiket.
Ohya, jangan khawatir, harga ini untuk tiket terusan alias berlaku untuk dua konservatori sekaligus yang buka mulai dari jam 09.00 - 21.00. Kalau cuma mau mengunjungi satu aja, boleh? Boleh banget tapi bayarnya sama :D
ADVERTISEMENT
Supertree Groove yang Modern
Selesai dari konservatori, kami bergegas menuju Supertree Groove. Maksud hati pengen nonton Garden Rhapsody yang cantik itu, tapi ternyata begitu keluar dari Flower Dome pertunjukkannya udah kelar. Hahaha. Nasib, nasib, udah 3 kali ke sini dan selalu aja ketinggalan.
Jadwal pertunjukkan Garden Rhapsody adalah setiap pukul 19.45 dan 20.45 malam waktu Singapura dan setiap pertunjukkan berlangsung selama 15 menit. Sial, karena keasyikan di Flower Dome saya sampai lupa lihat jam. Duh!
“Where’s the show, Mom? I wanna see it.” Rajuk Basti manja saat kami sampai di Supertree Groove.
“Sorry Basti, we missed it.” Jawab saya pendek bersiap mendengar omelannya atau bahkan tangisannya.
Namun ternyata Basti cuma diam mengangguk tanpa bertanya lagi. Nampaknya dia sudah lelah sedari siang kami ajak kelayapan keliling Singapura. Untuk menghibur diri, akhirnya kami pun berjalan-jalan di antara pepohonan buatan setinggi 25 – 50 meter ini.
Feeling small between the Super Groove trees. (Foto: Eka Situmorang-Sir)
ADVERTISEMENT
Melihat kerlap-kerlip lampu dan desain mentereng dari Supertree Groove membuat saya seolah melaju ke kota masa depan yang modern. Rancangan pepohonan yang tinggi menjulang dengan formasi seperti jamur mekar membuat saya merasa sangat kecil namun di saat bersamaan penasaran untuk terus menjelajah.
Terdapat sebuah skywalk setinggi 22 meter di antara Supertree Groove namun kami enggak berhasil menemukan jalan naiknya. Berhubung enggak tahu juga apakah stroller bisa naik atau tidak, maka kami pun melipir, enggak ngotot naik ke skywalk walaupun nampaknya bakal seru.
Gardens by the Bay, tempat wisata wajib kunjung di Singapura (Foto: Eka Situmorang-Sir)
Hari sudah malam di Gardens by the Bay namun orang terus saja lalu lalang. Taman kota yang dibuka mulai dari jam 5 pagi dan ditutup jam 2 dini hari ini memang menjadi tempat favorit banyak orang.
ADVERTISEMENT
Bukan hanya warga Singapura saja namun juga pelancong dari mancanegara. Walaupun artifisial, konsepnya memang keren sih. Hampir 1 jam kami strolling around tempat ini sampai akhirnya Basti mengucapkan sebuah kalimat sakti.
“I’m sleepy, Mom. Can we go back to the hotel now?”
Kalimat keramat yang bikin kami langsung cuss ke stasiun MRT terdekat. Ah, Garden Rhapsody, tunggu kami ya. Semoga lain kali kami ke Singapura bisa berkesempatan melihat pertunjukan spektakuler ini.
Eka Situmorang-Sir