Ngabuburit di Masjid Buatan Raffles di Singapura

Eka Situmorang
Curious soul who loves travelling and food. Mom of one. Travel Blogger. Instagram : ceritaeka. Blog at http://ceritaeka.com and http://ekalagi.com
Konten dari Pengguna
13 Mei 2019 18:26 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Eka Situmorang tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Suara kicau burung terdengar sayup-sayup di kejauhan, awalnya pelan tapi makin lama makin riuh mencuri perhatian dan saya pun mendongak ke atas. Sekawanan burung liar terbang melintasi langit Singapura yang mendung. Tampak kontras di antara gedung-gedung pencakar langit negara kota pimpinan PM Lee Hsien Loong seluas 581 kilometer itu.
ADVERTISEMENT
Pagi itu saya dan keluarga mampir ke Masjid Sultan yang ada di Kampung Glam. Masjid yang menjadi poros utama masyarakat Muslim di Singapura ini sudah berdiri lebih dari satu abad lalu. Melewati beberapa bangunan tua dengan jendela-jendela besar yang terbuka lebar di sepanjang Kampung Arab, kami berjalan pelan di trotoar yang diapit beberapa Pohon Palem yang berjajar teratur.
Masjid Sultan, Singapura. (Foto: dokumentasi Eka Situmorang-Sir)
Dari kejauhan kubah berwarna emas terlihat menjulang tinggi dengan sangat kokoh. Di bagian luar terlihat beberapa orang sedang merapikan tenda besar berwarna putih.
“Tenda ini untuk apa, Pak? Apa sedang ada renovasi?” tanya saya kepada petugas yang berdiri di depan masjid yang kemudian mengenalkan dirinya dengan nama Arief.
“Oh bukan, ini menyambut bulan Ramadan. Biasanya kami iftar atau berbuka puasa bersama di sini,” jawabnya ramah.
ADVERTISEMENT
“Ooh,” saya menggumam pelan.
“Dari mana? Tampak bukan orang sini?” sang bapak bertanya lebih lanjut.
“Indonesia,” balas saya sambil tersenyum.
“Sudah reda suasana di Jakarta setelah pemilu?” tanyanya lagi. Kali ini dengan bola mata yang membesar penuh rasa ingin tahu. Saya tergelak, tak menyangka kalau akan ditanyai soal politik oleh orang asing di luar negeri.
“Sudah adem kok, Pak, tinggal tunggu pengumuman resmi saja.”
Kite ini bertetangga, panas hawe politik di Indonesia terasa sampai Singapura,” ucapnya lagi.
Sile, sile masuk tapi jangan ambil video ya. Potret boleh,” ujarnya mempersilakan masuk.
Sambil berjalan mengantarkan kami ke dalam, Pak Arief bercerita bahwa ia memiliki darah Bugis dari kakek buyutnya yang dulu merantau ke sini. Saya mengangguk-angguk. Tak heran, suku Bugis kan memang terkenal sebagai pelaut ulung yang melanglang buana. Di Indonesia saja populasinya tersebar di mana-mana, sementara di Singapura sendiri bahkan ada sebuah daerah yang dinamakan Bugis tak jauh dari Kampung Arab ini.
ADVERTISEMENT
Oh ya, tidak ada pungutan biaya untuk masuk ke Masjid Sultan, tapi kesopanan pakaian menjadi syarat utama. Bahu perempuan atau lelaki harus tertutup dan panjang rok/celana adalah di bawah lutut. Namun jangan khawatir, kalau sudah terlanjur pakai celana pendek dan baju ketiak tetap bisa masuk ke dalam masjid, namun mengenakan jubah yang sudah disediakan oleh pengurus di depan masjid.
Jubah yang disediakan di Masjid Sultan untuk pengunjung. (Foto: dokumentasi Eka Situmorang-Sir)
Suasana teduh yang menenangkan hati langsung menyapa begitu memasuki masjid yang berdiri pada tahun 1826 itu. Suasana yang sulit dideskripsikan tapi mudah dirasakan. Selain karena langit-langitnya yang tinggi dan jendela-jendela besarnya yang memudahkan sirkulasi angin, namun pada dasarnya atmosfer di sini membuat jiwa terasa sejuk.
Masjid yang mampu menampung 5.000 orang ini dibangun oleh Sir Stamford Raffles atas kehendak Sultan Hussein yang menginginkan sebuah tempat ibadah di dekat istananya di Kampung Glam. Awalnya Masjid Sultan dikelola oleh keluarga kerajaan, namun seiring waktu diserahkan kepada Tunku Alauddin Alam Shah yang kemudian membuat komite yang terdiri dari beberapa orang untuk membantu mengelola masjid.
ADVERTISEMENT
Tentu saja Masjid Sultan sudah mengalami banyak sekali renovasi dan perombakan. Yang memukau adalah interior bagian dalam yang menunjukkan kekhasan Islam di Singapura dengan dominasi warna hijau dan kuning emas. Sederhana namun cantik.
Interior Masjid Sultan. (Foto: dokumentasi Eka Situmorang-Sir)
Terdapat sebuah pojok interaktif berisikan sejarah Islam secara general dan relevansinya dengan zaman modern saat ini. Pojok ini menurut saya bermanfaat sekali bagi para pengunjung non-Muslim yang ingin tahu lebih dalam mengenai Islam.
Di depan pojok interaktif terdapat sebuah layar besar yang menampilkan sejarah Masjid Sultan mulai dari awal pembangunan, renovasi hingga sekarang. Penjelasan tersedia dalam dua bahasa yaitu Inggris dan Melayu.
Wah, tak hanya sekadar tempat ibadah, namun pengelola masjid sadar betul bahwa Masjid Sultan saat ini merupakan tujuan wisata religi sehingga masjid pun berbenah. Dibuat informatif agar menarik bagi para wisatawan.
Pojok interaktif yang menyediakan informasi mengenai Islam. (Foto: dokumentasi Eka Situmorang-Sir)
Tak jauh dari layar, sebuah rak kayu yang kuat berdiri tegak berisikan puluhan Alquran tersusun rapi. Beberapa orang yang selesai berwudu kemudian mengambil Alquran, melangkah ke bagian dalam, lalu khusyuk membacanya. Lantunan suaranya lembut dan sangat teduh. Untuk sesaat, momen itu membuat saya terpana saking syahdunya.
ADVERTISEMENT
Bapak Arief sang penjaga masjid datang menghampiri kami lagi. Entah mengapa tampaknya ia senang berbincang-bincang dengan kami, dan tentu saja kami sambut dengan ramah juga. Orang bersilaturahmi kan enggak boleh ditolak, toh?
Ia menjelaskan bahwa pada bulan Ramadan, banyak orang yang berkunjung ke masjid dan menyibukkan diri dengan membaca Alquran. Semakin sore akan semakin banyak yang datang, menunggu berbuka atau bahasanya 'ngabuburit' sambil melihat berbagai macam pertunjukkan budaya seperti menganyam ketupat, melihat zappin, musik gambus, atau sekadar menyambangi bazar makanan yang ramai di jalan Muscaat.
Itu tadi beberapa kegiatan ngabuburit yang biasa dilakukan di Masjid Sultan, Singapura. Nah, kalau kamu bagaimana? Apa yang dilakukan sambil menunggu suara beduk berkumandang untuk berbuka puasa?
ADVERTISEMENT
Salam,