DIGRADASI MENTAL MILENIAL

Owner METAFORMA CREATIVE COMMUNICATIONS, former journalist, experienced creative director
Konten dari Pengguna
16 Februari 2019 15:59 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari User Dinonaktifkan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sepasang remaja yang sedang naik motor di tilang Polisi, Si cowok tidak terima ditindak petugas polisi, karena dirinya tidak memakai helm, melawan arus dan tidak membawa surat kendaraan. Saking kesalnya remaja itu merusak motornya dengan membabi buta. Unggahan video itu menjadi viral, ditonton banyak orang melalui berbagai memberitaan di media digital, secara cepat menyebar ke bermacam media sosial.
ADVERTISEMENT
Perilaku remaja bernama AS yang usia 21 tahun sangatlah disayangkan, peristiwa itu mengundang komentar dan menjadi renungan berbagai pihak. Hal itu tidak liput dari pemantauan bagi seorang psikologi yang mengerti ilmu psikologi. Betapa miris situasi seperti itu, bagaimana sikap dan perilakunya kelak, saat ia berada di lingkungan kerja yang berinteraksi banyak orang, yang berlainan karakternya. Hal ini menjadi perhatian Tyo, yang bekerja di salah satu start up bergengsi bagian rekrutmen karyawan.
Tyo yang pernah mengadakan penelitian kepada generasi milenial, khususny anak-anak SLA, ketika diminta remaja berseragam abu-abu ini disuruh menggambar peta Indonesia, banyak yang tidak mampu memvisualkan dengan baik dan benar. Padahal ada lima pulau yang mudah dipahami, tetapi tenyata ada yang meletakan pulau Sulawesi di atas pulau Kalimatan. “Itu artinya mereka tidak paham letak geografis negara Indonesia yang memiliki ribuan pulau yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Bagaimana mungkin nilai-nila kecintaan kepada Negara merasuk dalam dada Kid Jaman Now.” katanya sembari mengibaskan rambut dengan tangannya.
ADVERTISEMENT
Tyo yang tamatan Fakultas Psikologi Univeritas Indonesia menilai, digradasi mental dan etika menurun dikalangan anak-anak itu disebabkan karena faktor orang tua yang memanjakan putra-putrinya, bagaimana anak membiarkan teknologi mempengaruhi pikiran anak-anak, pengaruh tontonan yang tidak sesuai konten dari nalar kapasitas anak. Sementara si orang tua tidak mau memantau atau memonitor jumlah waktu, kapan saat menonton, kapan waktu belajar dan berinteraksi dengan orang tua. Biar bagaimana pun tidak boleh lose control, tidak boleh dibiarkan bebas tanpa terkendali.
Belum lagi kalau di riset lebih detail lagi, seperti nilai-nilai Pancasila, UUD 45 atau tentang ideologi negara dan yang lain, tentu generasi milenial banyak yang tidak paham. Ketidakpahaman tersebut bisa jadi menimbulkan digradasi kecintaan terhadap nilai nasionalisme dan patriotisme. Ketidakpahaman arti persatuan dan kesatuan, memudahkan mereka terobang-ambing oleh isu-isu yang bersileweran di media sosial. Dampaknya, mereka gampang termakan oleh hoax dan mudah menyebarkannya lagi ke netizen lain, tanpa mengecek kebenarannya.
ADVERTISEMENT
Nah... disinilah peranan orang tua atau pihak pendidik juga harus dan terus balajar mengetahui perkembangan teknologi digital yang cepat merubah. Walaupun gaptek (gagap teknologi) orang tua sebaiknya interaksi dan diskusi dengan anak-anak mereka, sehingga jalinan komunikasi tetap cair, dan menimbulkan dialog dua arah yang saling memahami, saling mengerti untuk mengantisapasi dampak yang ditimbulkan. Begitu kata Tyo mengakhiri obrolan singkat pada pagi hari di Komunitas Salihara 16 Pasarminggu. (EQ)
Eki Thadan saat ngobrol dengan Tyo..