Surat-surat Kartini Menjadi Monolog

Owner METAFORMA CREATIVE COMMUNICATIONS, former journalist, experienced creative director
Konten dari Pengguna
19 April 2019 18:50 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari User Dinonaktifkan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Maya Azeezah sedang bermonolog di hadapan peserta, (Foto: Eki Thadan)
Peringatan Hari Kartini pada bulan April di sekolah-sekolah tidak harus dirayakan dengan mengenakan busana budaya tradisional dari daerah-daerah. Perhelatan mengenang perjuangan pahlawan emansipasi wanita dirasakan agak beda bagi siswa siswi dari sekolah SMK Tanjung Priok II dan SMAN 110 Jakarta Utara, 18/4/2019.
ADVERTISEMENT
Siswa siswi SMK dan SMA peserta generasi milineal ini selama 5 jam, mendapat Workshop Reusing dan Writing “Surat-surat Kartini Menjadi Monolog”, yang diadakan oleh Dinas Suku Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Administrasi Jakarta Utara, dengan pembicara Maya Azeezah, Sofyan RH. Zaid, Heru Antoni, Askar KRT dan Eki Thadan sebagai moderator.
“Generasi milenial perlu diperkenalkan lagi tokoh-tokoh pahlawan bangsa, tidak saja peranannya tetapi juga pemikiran dan gagasan yang akan menjadi inspirasi pelajar. Harapannya mereka mencontoh semangat belajar, membaca literasi, karena para pahlawan adalah orang-orang yang mau belajar,” kata Jeje Nurjaman Kepala Suku Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Administrasi Jakarta Utara dalam sambutannya yang diwakili oleh Sopian.
“Bagaimana Raden Adjeng Kartini lahir di Jepara 21 April 1879, meninggal pada usia 25 tahun, dalam usia yang masih belia, dengan waktu singkat ia mampu mengungkapkan pemikiran kondisi status dan strata perempuan pada masa itu, melalui surat yang ditulis kepada sahabatnya, Rosa Abendanon di Balanda,” kata Maya Azeezah sebagai pembicara dalam pengantarnya.
ADVERTISEMENT
Sementara Sofyan RH. Zaid memaparkan, bahwa surat-surat RA Kartini juga merupakan monolog tentang diri sendiri terhadap masyarakatnya. Monolog yang ditulis itu menjadi karya sastra, sedangkan monolog yang dibacakan sebagai seni pertunjukan.
Bagaimana membuat karya monolog dengan mempraktikkannya sekaligus di hadapan siswa-siswi klas 10, Heru Antoni dan Askar KRT memberi pelatihan cara menulis naskah monolog yang singat, padat dan memikat, demikian pula saat mementaskannya, mereka dilatih memahami karakter dengan intonasi suara yang berbeda-beda, sehingga sesuai dengan tokoh yang diperankan. Pada kesempatan tersebut, pembicara dan moderator membacakan karya monolongnya masing-masing.
Kegaiatan yang diselenggarakan di aula Dinas Suku Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Administrasi Jakarta Utara, bekerjasama dengan Maura Lintas Seni dan Metaformaura Literasi & Edukasi dihadiri Komunitas bacatulis.org, Teater Rajut dan salah satu keturunan RA Kartini, cicitnya yang bernama R.A.Trinilia Diah Kusuma Ningrum, mahasiswi disalah satu perguruan tinggi di Bekasi, jurusan Farmasi. (EQ)
ADVERTISEMENT
Cicit RA Kartini bernama RA Trinilia Diah Kusuma Ningrum. (Foto. Eki Thadan)