Mau Belajar Lewat Game, Indonesia Harus ke Amerika Dulu? #ngobrolgame

Eko Nugroho
CEO Kummara Group (Kummara.com), Game Designer/Consultant, Game-based Learning Expert, Gamification World Award Finalist, Co-founder Ludenara Foundation (Ludenara.org)
Konten dari Pengguna
31 Juli 2018 18:56 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Eko Nugroho tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Mau Belajar Lewat Game, Indonesia Harus ke Amerika Dulu? #ngobrolgame
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Apakah game benar-benar efektif untuk proses pembelajaran? Apakah pendekatan game-based learning sungguh bisa diimplementasikan oleh guru/orang tua? Apakah game bisa dikembangkan untuk mendukung kurikulum yang ada?
ADVERTISEMENT
Di banyak kesempatan saya selalu mendapat pertanyaan tersebut, menariknya pertanyaan tersebut sudah saya dapat sejak beberapa tahun lalu ketika pertama kali kembali ke Indonesia dan masih saya dapat hingga saat ini. Apakah ini artinya kita belum cukup bukti, atau mungkin kita hanya berkeras hati - karena hal tersebut belum jadi sesuatu yang trendi?
Seminggu kemarin adalah minggu pertama kunjungan saya di MIT education arcade, sebuah program khusus yang dikembangkan oleh Massachusetts Institute of Technology (MIT) untuk melakukan penelitian dan pengembangan berbagai game dan metode pembelajaran interaktif. Diinisiasi sejak 2001, MIT education arcade telah terlibat di banyak pengembangan game edukasi, pemberdayaan guru, serta berbagai pengembangan teknologi edukasi baik di U.S juga di berbagai negara lainnya.
ADVERTISEMENT
Selama satu minggu kemarin beruntung bisa belajar dan terlibat banyak diskusi dengan Scot Osterweil, Creative Director dari MIT Education Arcade, berdiskusi dengan beberapa partner, juga terlibat di salah satu seminar ilmiah mereka.
Di hari ketiga, misalnya, saya berkesempatan hadir dalam sebuah simposium di MIT Media Lab yang secara khusus membahas banyak hal terkait tema, narasi, dan konten kolonialisme pada berbagai judul board game. Simposium tersebut secara umum memberikan penekanan bagaimana elemen-elemen pada sebuah game bisa jadi ruang untuk menyampaikan sebuah pesan secara efektif atau malah menyamarkannya. Simposium ini dihadiri banyak pihak dari mulai para peneliti, praktisi pendidikan, juga profesional termasuk juga Sydney Engelstein, salah satu desainer game terkenal Space Cadet. Banyak diskusi yang menarik dan bisa jadi bekal untuk memperkaya apa yang telah dilakukan di Indonesia.
Mau Belajar Lewat Game, Indonesia Harus ke Amerika Dulu? #ngobrolgame (1)
zoom-in-whitePerbesar
Fakta bahwa MIT, sebuah institusi pendidikan terbaik di dunia mengembangkan program khusus dengan fokus pada game untuk pembelajaran, pengembangan proses pembelajaran interaktif, serta pemberdayaan guru sesungguhnya memberikan jawaban terhadap berbagai pertanyaan di atas.
ADVERTISEMENT
Bahwa kemudian mereka juga terlibat di berbagai program pengembangan potensi game dan kapasitas guru di berbagai negara - juga merupakan sebuah sinyal bahwa banyak negara telah melihat hal yang sama.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Kenapa kita belum mulai benar-benar memanfaatkan game untuk meningkatkan kualitas pendidikan kita? Mengapa kita belum sungguh-sungguh melatih guru untuk mampu mengoptimalkan potensi game?
Mau Belajar Lewat Game, Indonesia Harus ke Amerika Dulu? #ngobrolgame (2)
zoom-in-whitePerbesar
Bisa hadir di MIT adalah bentuk pengakuan bahwa Indonesia memiliki kemampuan untuk menghadirkan game serta program game-based learning yang terbukti memberi dampak positif. Bahwa implementasi game-based learning belum mendapatkan dukungan penuh di Indonesia - mungkin hanya soal waktu.
Saya selalu percaya bahwa Indonesia adalah negara besar, sehingga kadang lebih mudah mendapatkan pengakuan dari negara lain lebih dulu. Atau mungkin kita perlu minta bantuan inces Syahrini? Agar pendekatan game-based learning segera bisa jadi sesuatu yang trendi dan memotivasi lebih banyak pihak untuk ikut berpartisipasi.
ADVERTISEMENT
*Kunjungan penulis ke MIT berkat dukungan dari U.S. Embassy Jakarta, Peace-Generation, dan Kummara.