Antara Religiusitas dan Stereotipe Waria dalam Film On Friday Noon

Marina Elis Galista
Adalah seorang mahasiswi Ilmu Komunikasi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta yang suka menulis dan berharap tulisannya dapat bermanfaat baik bagi diri sendiri maupun publik
Konten dari Pengguna
30 Desember 2020 16:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Marina Elis Galista tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Marina Elis Galista, Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta

                                                     Sumber : Viddsee
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : Viddsee
ADVERTISEMENT
Gender masih menjadi isu yang tak pernah usai untuk dibahas. Isu ini juga tidak jarang menjadi subjek sebuah industri hiburan, baik film, web series, sinetron, ataupun industri hiburan lainnya. Film On Friday Noon adalah salah satu film pendek yang mengangkat isu waria. film pendek ini berkisah tentang kehidupan seorang lelaki yang menghadapi stigma dari masyarakat terhadap dirinya sebagai seorang waria. Film ini dibintangi oleh Satriyo Hanindhito yang berperan sebagai seorang waria yang bernama Wina. Meskipun seorang waria, Wina tetap ingin mempraktikkan ajaran agama (sholat jum’at) sesuai anatomi fisik dirinya, yaitu laki-laki. Film garapan sutradara Luhki Herwanayogi pada tahun 2016 ini telah meraih banyak penghargaan Internasional.
ADVERTISEMENT
Wina yang ingin menunaikan sholat jum’at melarikan diri dari satpol PP dan sembunyi di area makam. Setelah dirasa aman, Wina pun berjalan menuju perkampungan untuk mencari masjid. Kemudian Wina singgah di sebuah warung dan bertanya keberadaan masjid terdekat. Scene ini menggambarkan sebagai seorang waria, Wina tidak diperlakukan dengan baik oleh penjaga warung. Wina yang telah mendapat informasi melanjutkan perjalanannya mencari masjid. Sekelompok anak-anak desa yang melihat Wina terus melontarkan olokan dan melemparinya batu. Tidak hanya itu, Wina juga mengalami pelecehan seksual. Wina yang ingin masuk ke toilet umum untuk buang hajat, malah dipermainkan oleh penjaga toilet dan kemudian memberi syarat kepada Wina jika ingin masuk ke toilet, yaitu Wina harus menghisap kemaluan penjaga tersebut. Wina terus berjalan hingga tersesat dan membawanya sampai di bangunan yang sudah rusak. Disana Wina menemukan kain jarit yang dapat difungsikan sebagai sarung. Setelah perjalanan panjang yang dilalui, akhirnya Wina menemukan sebuah masjid. Ending dari film ini menggambarkan kesedihan yang dirasakan oleh Wina mengetahui bahwasanya dirinya tidak bisa mengikuti sholat jum’at, karena ibadah sholat jum’at telah selesai ditunaikan.
ADVERTISEMENT
Dengan latar tempat yang panas, kering, dan sepi dalam film tersebut dapat menjadi simbol kuat yang merepresentasikan emosi seorang waria, dimana mereka merasa sepi karena ditinggalkan dan tidak dianggap, kering karena tidak diperhatikan, dan panas atas diskriminasi dan masalah sosial yang dihadapi. Menjalani kehidupan sebagai seorang waria tidaklah mudah, kejelasan identitas menjadi suatu hal yang kompleks yang berdampak pada status sosial di masyarakat. Firman Arfanda dan Dr. Sakaria dalam artikel yang berjudul Konstruksi Sosial Masyarakat terhadap Waria pada tahun 2015 yang dimuat dalam Jurnal Sosial Ilmu Politik No. 1 Vo. 1 tahun 2017 menyebutkan bahwa identitas gender juga menyebabkan waria mengalami konflik psikologis yang berkaitan dengan keinginan yang berlainan dengan fisiknya dan konflik sosial karena tersingkir dari keluarga dan terasingkan dari pergaulan sosial. Jangankan perhatian, untuk mendapatkan hak-hak sebagai manusia saja terkadang tidak memiliki akses, termasuk menjadi hamba yang menjalankan kewajiban kepada Tuhannya. Diskriminasi dan pelecehan seksual juga menjadi ujian waria dalam menjalani kehidupannya.
ADVERTISEMENT
Stereotipe dan stigma masyarakat terhadap waria yang sudah terlanjur buruk menjadikan waria dipandang sebelah mata dan bahkan tidak memiliki social freedom space. Waria sering dianggap sebagai seorang yang memiliki orientasi seks menyimpang, tidak mempraktikkan agamanya, pekerja seks komersial, dan lain-lain. Kemanapun waria berjalan selalu dibentrokkan dengan stigma, sehingga seolah tidak ada kebaikan pada manusia yang memilih identitas gender sebagai waria.
Stereotipe terhadap waria yang telah melekat di masyarakat perlahan harus diluruskan, menimbang setiap kepala memiliki pemikiran dan setiap diri memiliki keputusan atas pilihan hidupnya. Film ini mencoba mendatangkan simpatisan dari para penonton untuk lebih menghargai waria, karena tidak semua waria dapat dipukul rata satu sama lain. Waria berhak mendapatkan kemudahan untuk mengakses hak-haknya sebagai seorang manusia seperti mendapatkan perlindungan dan rasa aman, fasilitas publik, pengakuan sosial, dan sujud di hadapan Tuhannya. Masalah antara agama dan waria memang masih kerap menjadi perdebatan, bagaimana hukumnya ibadahnya. Perihal bagaimana status ibadahnya, biarlah menjadi urusan dia dan Tuhan. Sebagai sesama manusia tidaklah layak untuk memberi penilaian atas ibadah manusia lainnya.
ADVERTISEMENT