Menjadi Wartawan kumparan: Nyaris 'Ditenggelamkan' Bu Susi

Elsa Toruan
By Grace Through Faith
Konten dari Pengguna
12 November 2018 10:35 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Elsa Toruan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Menjadi Wartawan kumparan: Nyaris 'Ditenggelamkan' Bu Susi
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Tidak pernah ada yang terluka dari kerja keras. Begitulah pelajaran hidup yang saya peroleh selama menjadi seorang wartawan. Mulai dari wartawan majalah lokal sampai bergabung di kumparan.
ADVERTISEMENT
Tepat pada akhir April lalu, saya resmi bergabung di tim ekonomi kumparan. Ini merupakan anugerah, mengingat sejak awal masuk saya memang ingin sekali masuk ke tim ekonomi. Sebab, sebelum masuk tim ekonomi, saya harus terlebih dahulu mencicipi nyamannya bangku tim milenial selama 6 bulan.
Setelah satu bulan bergabung di tim ekonomi, saya ditugaskan untuk melakukan perjalanan dinas ke Bali untuk meliput kegiatan Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti.
"Sa, pergi ke Bali gantikan saya untuk meliput acara konferensi tuna internasional, ya," tulis salah satu redaktur ekonomi kumparan, Mas Wiji.
Saya kaget. Bukan karena acara atau lokasi liputannya di Bali, tetapi karena Menteri Susi dikonfirmasi hadir pada kegiatan itu. Maklum, sepanjang menjadi wartawan, orang paling hebat yang pernah saya liput adalah Rektor Universitas Sumatera Utara (USU). Meliput rektor pun saya grogi setengah mati.
ADVERTISEMENT
"Konon lagi Bu Susi," kata saya membatin waktu itu.
Hari berganti, tibalah pada 31 Mei 2018, di mana gelaran Konferensi Tuna Internasional dimulai. Hari itu saya masih sedikit beruntung, Bu Susi berhalangan hadir karena masih berada di Jepang. Akan tetapi, saya tetap masih belum tenang sampai beliau hadir dan memberikan sejumlah komentar di acara tersebut. Ini karena bintang utama dari acara tersebut adalah Susi.
"Apa yang akan dikomentari Susi kali ini?" masih batin saya bertanya-tanya.
Dua hari kemudian merupakan penutupan konferensi itu, Susi dikonfirmasi hadir. Saya benar-benar menyiapkan mental dan fisik saat itu. Sebab, selain harus mengetik dengan cepat semua yang diucapkan Susi dalam Bahasa Inggris, saya juga harus mencari cela supaya Susi bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang akan saya tanyakan.
ADVERTISEMENT
Nasib saya mungkin sedang mujur, Susi mengadakan konferensi pers setelah menutup konferensi. Telapak tangan saya dipenuhi keringat dingin, saya grogi, tetapi berusaha untuk terus memperhatikan Susi dari jarak sekitar 5 meter. Saya ada di barisan paling depan malam itu karena saya tidak mau melewatkan satu kata pun yang diucapkan Susi.
Setelah Susi memberi paparan tentang konferensi, saya mengajukan pertanyaan. Di sini proses 'penenggelaman' saya dimulai. Saya hanya bertanya, "Bu, kenapa jumlah tangkapan ikan tuna kita tidak bertambah dari tahun ke tahun, hanya 1,2 juta ton ikan saja? Kita kan konsisten memberantas IUU Fishing (Illegal, Unreported, Unregulated Fishing), Bu?"
Setelah menanyakan itu, saya disemprot. Kira-kira begini jawaban Ibu Susi waktu itu.
ADVERTISEMENT
"Kamu tahu enggak, 1,2 juta ton itu dinikmati semuanya sama nelayan kita. Dulu itu dinikmati oleh kapal asing (yang melakukan illegal fishing) tapi sekarang sudah bisa dirasakan oleh nelayan kita. Kamu harusnya bangga dengan negaramu sendiri, bukan justru bertanya kok enggak bertambah," semprotnya dengan nada tinggi waktu itu.
Menjadi Wartawan kumparan: Nyaris 'Ditenggelamkan' Bu Susi (1)
zoom-in-whitePerbesar
Dengan rasa malu, saya berusaha tersenyum saat Susi nyaris 'menenggelamkan' saya. Semua mata wartawan tertuju kepada saya. Bahkan, Bu Susi sampai berbisik kepada Dirjen Perikanan Tangkap, Zulficar Mochtar, yang saat itu mendampinginya, "Itu wartawan dari mana?" Begitu kurang lebih yang saya tangkap dari membaca gerak bibir Susi.
Dua bulan berselang, saya kembali nyaris 'ditenggelamkan' Susi. Kejadian kali ini berlangsung di Gedung Mina Baahari IV Kementerian Kelautan dan Perikanan di Jakarta Pusat. Bu Susi menggelar konferensi pers terkait kapal yang terbakar di Tanjung Benoa.
ADVERTISEMENT
Saat acara konferensi pers berakhir, sebenarnya tidak ada sesi doorstop dengan Susi, hanya saja saya nekat menanyakan titipan pertanyaan dari redaktur soal nasib 4 kapal asing yang ada di Pelabuhan Muara Baru. Kali ini, Susi juga menyemprot saya. Bedanya, dia tersenyum kali ini.
"Tanyakan saja pada yang menyuruh kamu bertanya soal kapal itu ke saya. Kamu disuruh kan sama orangnya?" semprotnya sebelum masuk ke ruangan.
Saya hanya heran kenapa Bu Susi begitu sensitif dengan pertanyaan saya. Sampai-sampai saya disemprot di depan banyak orang. Rasa penasaran tersebut juga saya rasakan saat ditugaskan melakukan liputan ke pasar tradisional.
Setiap kali agenda liputan keluar, tidak jarang nama Elsa ditugaskan untuk pergi ke pasar dan mengecek harga bahan pangan. Atau setiap isu harga pangan naik, sering nama Elsa yang disuruh ke pasar untuk mencari tahu kebenarannya.
ADVERTISEMENT
"Sa, harga jagung lagi naik, besok cek ke pasar ya pagi-pagi," begitu kira-kira pesan yang saya terima saat disuruh liputan ke pasar.
Makanya, mulai dari Pasar Minggu, Pasar Palmerah, Pasar Induk Cipinang, dan pasar-pasar lainnya pasti sudah pernah dikunjungi oleh saya. Di pasar, saya merasakan banyak hal, digoda pedagang, mendengar curhatan pedagang yang tidak untung saat harga naik, sampai mengamati seorang ibu yang marah saat harga daging ayam naik.
Menjadi Wartawan kumparan: Nyaris 'Ditenggelamkan' Bu Susi (2)
zoom-in-whitePerbesar
Iya, semua itu yang saya dapatkan di pasar. Meskipun harus mencium bau tak sedap, mendengar godaan abang-abang pedagang, dan menjalani jalanan becek dengan flatshoes, tetapi tetap saya jalani. Saya sempat malu karena tak sedikit teman wartawan lain mengejek saya saat liputan di pasar.
ADVERTISEMENT
Maklum saja, wartawan ekonomi terkenal dengan liputan yang serba mewah, di dalam gedung elite dengan banyak makanan enak tersaji.
"Ya ampun Elsa, hidupmu pasar-pasar aja," atau "Sa, aku lagi di pasar nih, kok aku nyium ada bau-bau lo ya sa," begitu bunyi candaan teman kepada saya.
Menjadi Wartawan kumparan: Nyaris 'Ditenggelamkan' Bu Susi (3)
zoom-in-whitePerbesar
Sampai pada akhirnya, saya menyadari, semua itu saya lakukan hanya agar suara para pedagang ataupun masyarakat biasa bisa didengar oleh para menteri. Saya menyadari ini saat melakukan liputan ke Pasar Senen. Saat itu, harga daging ayam melambung hingga Rp 60 ribu per kilogram. Tentu saya langsung tulis beritanya.
Setengah jam setelah berita harga ayam saya naik, Kementerian Pertanian (Kementan) langsung menggelar konferensi pers. Mereka menjelaskan alasan di balik naiknya harga ayam dan upaya yang akan dilakukan untuk menurunkan harga kembali.
ADVERTISEMENT
Gila! Saya sampai duduk di pinggir jalan sambil menyeruput es teh manis saat membaca agenda konferensi pers Kementan yang digelar tiba-tiba itu. "Jadi ini tujuannya," gumam saya.
Menjadi Wartawan kumparan: Nyaris 'Ditenggelamkan' Bu Susi (4)
zoom-in-whitePerbesar
Saya puas, meski dengan dandanan rapi tapi harus ke pasar asal suara para pedagang, peternak, dan petani didengar. Saya juga tidak peduli kalaupun harus dicap sebagai duta pasar atau duta ayam, yang penting pemerintah bisa melihat penderitaan mereka.
Saya rela melakukan liputan ke 1.000 pasar lainnya untuk melihat keluhan-keluhan lain dari warga di pasar. Saya juga ikhlas saat nyaris 'ditenggelamkan' Bu Susi supaya nasib nelayan lebih jelas dan lebih sejahtera lagi.
Karena coba bayangkan, kalau tidak ada pemberitaan soal harga daging ayam yang naik, pemerintah akan tahu dari mana kalau ada masalah harga melambung di pasar? Ujungnya, kalau mereka tidak tahu, mereka tidak akan melakukan apapun untuk para peternak, pedagang, petani, dan nelayan itu, kan?
ADVERTISEMENT