Revolusi Mengemis

Elsa Toruan
By Grace Through Faith
Konten dari Pengguna
7 November 2017 16:05 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Elsa Toruan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
"Buat saya, jika dibandingkan harus melakukan hal-hal memalukan seperti maling atau merampok, lebih baik saya jalanin ondel-ondel," tutur Lia  Mulyani saat tengah mempersiapkan pasukan Ondel-Ondel nya untuk mencari nafkah. Kumparan menemuinya siang ini (07/11) di Jalan Kembang Pacar, Kramat, Jakarta Pusat. 
ADVERTISEMENT
Lia mengatur grup ondel-ondel yang bernama Irama Betawi. Sebelum Lia, kedua orang tuanya telah lebih dulu mengurus grup ini pada 2004 silam. Total boneka ondel-ondel yang ia punya ada 10 pasang. Suami Lia, juga ikut bergabung dalam pertunjukan jalanan ondel-ondel ini. 
Tiap harinya, pertunjukan ondel-ondel ini memulai pentas mulai Pukul 13.00 WIB hingga Pukul 22.00 WIB. Untung yang diperoleh saat satu kali pentas juga tidak main, bisa menembus Rp 1.000.000 per hari. 
"Itu kan uangnya nanti dibagi-bagi mbak. Pertama, untuk uang siraman, itu uang yang dipinjam untuk ongkos berangkat ke lokasi pertunjukan. Lalu mereka ada setorannya sama kami, satu boneka ondel-ondel gitu setorannya Rp 70.000, tapi kalau sepasang Rp 100.000, sisanya baru bagi ke anggota yang nampil tadi," lanjutnya. 
ADVERTISEMENT
Menelisik kembali, ondel-ondel adalah boneka asli Betawi, dibuat dari anyaman bambu setinggi 2,5 meter dan berdiameter 80 cm. Rambutnya terbuat dari ijuk dan kertas warna-warni. Boneka ondel-ondel pria ditandai dengan warna mejah pada wajahnya, dan putih untuk si wanita.
Jika dulu boneka khas Betawi ini terasa seram, bengis, bercakil, kini ondel-ondel tampil lebih manis, tanpa cakil, dan mudah ditemui, khususnya pada malam Sabtu dan malam Minggu. Arak-arakannya juga lebih sederhana. Untuk mengarak sepasang ondel-ondel zaman dulu, setidaknya dibutuhkan delapan orang. Tujuh orang memegang komponen musiknya, yaitu tehyan, gendang, gong besar, gong sedang, kenong, dan kecrek. Sisanya menjadi ondel-ondel. Namun, saat ini, posisi pemegang alat musik telah digantikan oleh rekaman kaset. 
ADVERTISEMENT
Lia sempat menuturkan bahwa empat orang anggotanya pernah ditahan di balik jeruji besi akibat melanggar aturan bermain. Para pemain ondel-ondel ini hanya dizinkan mementaskan pertunjukannya di gang atau jalan-jalan kecil Jakarta. Sementara untuk memasuki jalanan besar sangat dilarang. 
Kumparan lalu menanyakan alasan dari penangkapan dan dilarangnya ondel-ondel bermain di jalanan besar Jakarta kepada Dinas Sosial DKI Jakarta. Jawabannya cukup membuat kita sadar bahwa selama ini, pertunjukan ondel-ondel adalah salah satu revolusi mengemis yang terjadi saat ini. 
"Berdasarkan Perda Nomor 8 tahun 2007, mengganggu ketertiban umum. Seperti pejalan kaki, pengguna motor atau mobil di jalan. Mereka juga itu tergolong pengemis, karena biarpun mereka latihan tapi kan tidak profesional. Kami tetap menganggapnya pengemis," ungkap Mifathul Huda, Kepala Seksi Informasi Dinas Sosial DKI Jakarta. 
ADVERTISEMENT
Alwi Shihab, pencatat kebudayaan Betawi, mengatakan bahwa ada orang Betawi yang menganggap cara "mengemis" menggunakan kebudayaan Betawi, ondel-ondel, tersebut sebagai degradasi budaya.
Ia melanjutkan, sebagai seni yang adilihung, ondel-ondel tak seharusnya dijadikan alat untuk mencari uang seperti itu. Lalu, peran pemain musik telah digantikan oleh rekaman, sehingga cita rasa seninya hilang. 
"Kelompok tersebut menganggap ondel-ondel sebagai bagian sejarah. Jadi akan lebih baik jika tidak digunakan seperti itu," tutur Alwi. 
Sejauh ini, beberapa warga yang menjadi sasaran pertunjukan ondel-ondel tersebut tidak merasa keberatan atas hadirnya ondel-ondel ini. Sebagian ada yang mengaku terhibur, sebagian lain menyatakan bahwa hadirnya ondel-ondel bisa membuat suasana menjadi ramai. 
"Warga kampung sini, apalagi anak-anak, kalo itu (Ondel-Ondel) lewat pasti langsung joget. Apagi kalau mereka pakai lagu kekinian gitu," ungkap Rizal, warga Jalan Kramat Pulo.
ADVERTISEMENT
Ternyata modernisasi telah berdampak pada berbagai bidang kehidupan manusia, termasuk mengemis. Revolusi mengemis setelah mengharap belas kasih kepada Ibu dan Anak, kini masyarakat menggunakan kebuudayaan untuk meraup pundi-pundi uang. Maka selanjutnya, apalagi yang akan dilakukan guna memperoleh sebutir koin dijalanan? Entah lah. Kita nantikan saja.