Melepaskan Diri dari Cengkeraman Hubungan Asmara yang Posesif

Konten dari Pengguna
13 November 2017 12:36 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ema Fitriyani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Posesif​. (Foto: Shutterstock)
zoom-in-whitePerbesar
Posesif​. (Foto: Shutterstock)
ADVERTISEMENT
Awalnya hari-hari penuh dengan senyuman. Si dia begitu perhatian dalam banyak hal yang kita lakukan, tapi kebahagiaan itu rupanya hanya sebentar karena larangan dan rasa cemburu berlebihan. Begitulah kesaksian Lina (nama samaran), perempuan 24 tahun yang berpacaran dengan laki-laki posesif selama tiga tahun.
ADVERTISEMENT
Lina awalnya bertemu dengan kekasihnya lalu jatuh cinta. Jarak tempuh Bandung-Jogjakarta pun dijalani. Demi memuaskan dahaga rindu akibat menjalani hubungan jarak jauh. Selama tiga tahun, setiap dua minggu sekali ia meninggalkan Bandung menuju Jogja.
Sambil diiiringi lagu ‘Nothing Can Stop Us’ karya Dipha Barus, semua tampak indah bak kisah cinta remaja. Tak ada yang mampu menghalangi mereka, tapi cerita ini hanya berlangsung sebentar saja.
Mahasiswi salah satu Perguruan Tinggi Negeri di Bandung itu memang punya rutinitas padat. Belum lagi ia butuh bersosialisasi bersama teman-temannya sepulang kuliah.
“Kadang sampai larut malam sama teman-teman kelompok buat ngerjain tugas kuliah ya kan. Sejak saat itulah pacar gue merasa dinomorduakan,” katanya ketika berbincang dengan kumparan di Sarinah Thamrin, Jakarta, Sabtu (5/11).
ADVERTISEMENT
Cerita pun makin tajam. Lina menjalani hari-harinya dengan keterbatasan yang ditetapkan kekasihnya. Tidak boleh lama membalas pesan, harus laporan tiap pergi bersama teman-teman, dan begitulah keadaan terus berjalan.
“Kalau chat enggak dibalas dalam waktu lima menit, dia suka marah-marah gitu dan berpasangka buruk gue beginilah, gue begitulah,” lanjut Lina yang merasa kekasihnya itu menjadi posesif pada banyak kegiatannya di kampus.
Kisah serupa lainnya juga bisa kita dapatkan akhir-akhir ini di bioskop. Sebuah film anak bangsa yang baru saja memenangkan beberapa penghargaan Festival Film Indonesia (FFI) 2017, ‘Posesif’, menggambarkan sebuah hubungan dua insan dimabuk kepayang yang berakhir pada kecemburuan dan pelarangan-pelarangan pada pasangannya.
“Dua bulan ini waktu kamu pagi-sore cuma buat latihan, La,” begitu salah satu kutipan Yudhis (Adipati Dolken), tokoh utama laki-laki yang berperan sebagai pacar Lala (Putri Marino).
ADVERTISEMENT
“Kamu sudah meninggalkan Ayahmu sejak lama, La. Aku yang selalu ada buat kamu,” teriak Yudhis pada Lala di adegan lain dalam film yang baru saja tayang di bioskop 26 Oktober 2017 lalu ini.
Lina dan Lala menjadi dua contoh dalam kehidupan nyata dan layar kaca tentang fenomena posesif yang terjadi dalam hubungan pacaran, baik itu di kalangan remaja ataupun di tingkat yang sudah dewasa. Sayangnya, pasangan yang mengalami tindakan posesif seringkali menerima keadaan itu di awal hubungan mereka. Alih-alih perhatian pada pasangan, posesif justru menjadi awal mula berbagai tindakan yang tidak sehat dan beracun dalam sebuah hubungan.
Salah Kaprah Posesif sama dengan Kasih Sayang
Dalam berpacaran, korban yang diliputi hubungan posesif sering memaklumi tindakan tersebut. Mereka merasa jika sang pacar mengekangnya lantaran didasari kasih sayang.
ADVERTISEMENT
“Ya sempet terima sih tindakan dia yang posesif gitu karena gue merasa dia sayang sama gue, makanya begitu,” kata Lina yang mengaku pernah dipukuli, dijambak, dan diseret oleh pacarnya yang posesif.
Pemakluman seperti yang dilakukan Lina, menurut Wakil Komnas Perempuan, Dr. Dra. Budi Wahyuni MM., MA., terjadi karena anggapan di masyarakat, bahwa perempuan adalah objek yang harus dilindungi laki-laki.
“Tujuan awalnya biasanya untuk melindungi perempuan karena ada stigma seperti itu di masyarakat kita. Padahal, perempuan bisa mandiri kok,” katanya saat ditemui kumparan di Hotel Cemara, Jumat (10/11).
Fenomena yang sama juga ditampilkan dalam potongan film ‘Posesif’. Yudhis yang merasa sudah merelakan banyak waktunya untuk menemani Lala latihan loncat indah merasa diabaikan karena sang pacar terlalu sibuk. Padahal, Lala merasa apa yang dia lakukan adalah rutinitasnya selama ini menuju kompetisi sebagai atlet.
ADVERTISEMENT
Yang terjadi setelahnya, lanjut Lina, biasanya memaafkan sikap posesif itu. Sampai di sini, ada garis yang bias antara posesif dan kasih sayang yang dianggapnya wajar dilakukan. Padahal tindakan posesif bukan lagi bagian dari rasa sayang pasangan terhadap Lina atau Lala, tapi rasa ingin mengusai dan memiliki yang berlebihan dari pasangan mereka.
Psikolog Klinis Pingkan Cynthia Belinda Rumondor S.Psi., M.Psi. menjelaskan, rasa menyayangi dalam sudut pandang psikologi merupakan perasaan dekat secara emosional dengan seseorang. Ditandai dengan perilaku yang berusaha mencari kedekatan dan rasa sedih saat berpisah.
Rasa sayang idealnya memiliki tiga komponen, yakni passion, intimacy, dan commitment. Ketiga hal ini bertentangan dengan makna posesif.
“Sayang yang seharusnya tidak akan pernah membuat Anda merasa terkekang, terdominasi, atau bahkan sampai mengalami tindak kekerasan fisik,” ujar wanita yang juga menjadi Dosen di Fakultas Psikologi Universitas Bina Nusantara (Binus) itu.
ADVERTISEMENT
Sementara posesif sendiri merupakan usaha berlebihan untuk memiliki terhadap sesuatu. Dalam konteks hubungan, lanjut Pingkan, ada kecenderungan untuk mengontrol atau mendominasi seseorang yang ditandai pembatasan hubungan sosial pasangannya. Si posesif ini bisa tergolong salah satu bentuk kecemburuan.
Sejalan dengan Pingkan, Dosen Psikologi Universitas Indonesia, Sri Juwita Kusumawardhani M.Psi. mengatakan, rasa sayang artinya ada kedekatan emosional yang mana akan membuat kita peduli kepada yang bersangkutan (pasangan).
“Harapannya, hubungan bukan hanya didasari oleh rasa sayang, tapi juga kepercayaan satu sama lain, jujur, saling mendukung, terbangun komunikasi yang baik, serta ada kesetaraan,” tutur wanita yang juga merupakan Psikolog di Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia dan Tiga Generasi di Klinik Brawijaya.
Sementara itu, lanjut Sri, posesif adalah usaha untuk mengatur atau mengontrol orang lain karena dianggap sebagai kepunyaan atau barang miliknya. “Jadi sudah kelihatan ya beda di antara keduanya? Kasih sayang itu saling mendukung, sementara posesif penuh dominasi,” tuturnya.
ADVERTISEMENT
Sekalipun telah menunjukkan gejala posesif di awal hubungan, tidak jarang hubungan berjalan hingga bertahun-tahun seperti yang dilakukan Lina. Beberapa korban menganggap bahwa perilaku posesif sang kekasih bisa diubah.
Tetapi, tunggu dulu, mengubah seseorang yang memiliki sifat posesif bukan perkara semudah membalikkan telapak tangan. Budi menyampaikan, bahwa tindakan posesif ternyata sudah dilakukan sejak masih kanak-kanak.
“Dominasi seseorang atau sekelompok dalam sebuah permainan anak sejak kecil bisa juga masuk dalam tindakan posesif, tanpa kita sadari itu sudah terjadi sejak kecil,” katanya.
Hal ini diamini oleh Pingkan. Dia mengatakan biasanya rasa sayang “tidak sehat” terbentuk karena pengasuh yang tidak responsif.
“Artinya saat masih bayi dan tidak berdaya, kebutuhannya kurang diperhatikan. Demikian juga seiring ia beranjak dewasa, kemungkinan juga ia merasa ditolak dan diabaikan,” tuturnya.
ADVERTISEMENT
Ibarat sudah mendarah daging, sifat posesif tidak akan mudah Anda lepaskan dari orang tercinta. Satu, dua, atau bahkan tiga tahun tidak akan mampu melepaskan jerat posesif dalam diri seseorang. Justru sebaliknya, Anda hanya akan semakin memperpanjang lingkaran setan itu, termasuk melakukan tindak kekerasan.
Pasangan yang Posesif Mengarah pada Kekerasan Bisa Melapor
Komnas Perempuan merilis data kekerasan pada perempuan dalam hubungan berpacaran menduduki peringkat kedua setelah kekerasan dalam rumah tangga. Data yang dikeluarkan pada tahun 2016 menyebutkan bahwa terjadi 2171 kasus kekerasan dalam pacaran atau sekitar 21 persen.
Pakar Hukum Pidana Universitas Bina Nusantara, Dr. Ahmad Sofian, SH, MH, mengatakan dalam berpacaran, tindakan pasangan yang posesif bisa dianalisis secara hukum. “Sikap posesif tidak selamanya harus memiliki implikasi pidana, karena ada masa di mana perbuatan tersebut tidak disengaja sehingga unsur kesalahannya bisa dimaafkan oleh hukum,” paparnya.
ADVERTISEMENT
Ia kemudian menjelaskan bahwa dalam perspektif hukum, posesif tergolong ke dalam dua bagian, yakni deviant dan non-deviant. Dikatakan gejala deviant saat pelaku melakukan tindak kekerasan dengan maksud menyakiti korban.
Sementara itu, sang pelaku masuk ke dalam gejala non-deviant saat ia tidak memiliki niat menyakiti korban, sekalipun perbuatannya melampaui batas.
“Jadi, ada tiga unsur yang menjadi indikasi tindak kekerasan pelaku posesif bisa dipidanakan, yaitu niat, perbuatan, dan akibat dari perbuatan tersebut,” ujar Ahmad pada kumparan pada Jumat malam (3/11).
Dalam sebuah hubungan posesif, selain dampak secara fisik, juga akan ada dampak secara psikis. Dampak psikis ini nantinya juga dapat dilaporkan ke pihak berwajib.
“Sepanjang bisa dibuktikan oleh keterangan tertulis psikolog atau psikiater, itu bisa,” kata Ahmad.Setelah ada barang bukti berupa keterangan tertulis psikolog, maka ini bisa dijadikan bukti awal yang shahih. Pelaku nantinya juga akan dikenakan delik biasa. Kasus kekerasan dalam hubungan posesif ini bisa dilaporkan oleh teman korban atau siapa saja yang mengetahui peristiwa tersebut.
ADVERTISEMENT
Memang benar kata orang tua dulu, selain pekerjaan, teman hidup adalah hal yang harus dipertimbangkan sangat matang. Coba bayangkan Anda bersama orang yang dicintai tapi selalu terkungkung? Atau bahkan selalu dipukul! Selain akan merusak jiwa, pasti akan merusak anak-anak Anda nantinya. Jadi, be smart dalam membedakan rasa sayang dan posesif, ya!
Pada akhirnya, kita sama-sama melihat, Lina dan Lala, dalam peran yang mereka jalani di hidupnya memilih meninggalkan kekasih masing-masing karena hidup bukan seperti lagu Naif, “Bila Ku Mati, Kau Juga Mati”.
Infografis Alasan Seseorang Posesif terhadap Pasangannya
1. Dihinggapi rasa cemburu berlebihan
2. Ingin memiliki seutuhnya pasangan
3. Takut kehilangan
4. Kekecewaan di Masa Lalu tentang Hubungan Dua Arah
ADVERTISEMENT
5. Didikan Orangtua yang Terlalu Protektif Membuatnya Melampiaskan ke Pasangannya
*Analisis data dari berbagai narasumber
Hasil liputan khusus: Elsa Touran, Ema Fitriyani, Fachrizal Hutabarat, Rizki Mubarok, dan Winda Dwiastuti
Mentor: Andari Novianti