Tiap 17 Agustus, sejak masuk sekolah dasar sampai kuliah, aku sering dipaksa merasa waswas dengan kebebasan, tapi dibuat merasa aman dengan kemerdekaan. Aku mencoba menggeledah apa yang aku alami terhadap dua kata itu. Aku menemukan bahwa bangsa Indonesia fobia pada kebebasan, yang sebetulnya sangat dibutuhkan masyarakat untuk merdeka secara politik.
Entah sejak kapan, aku punya kesadaran bahwa kata kemerdekaan sering bersanding dengan kata-kata positif, tapi kata kebebasan malah bersanding dengan kata-kata negatif, tercela, bahkan berbahaya. Perhatikan kata-kata ini: seks bebas, kebebasan berpikir, kebebasan berpendapat, kebebasan berserikat, kebebasan beragama, kebebasan bertuhan, kebebasan ilmiah/akademik... Ada semacam konotasi bahaya, menerobos batas, melanggar moralitas, menyerempet bahaya, menantang otoritas. Aku terlarang untuk menjadi manusia bebas.
Berbeda dengan kebebasan, kata kemerdekaan lebih bernuansa positif, baik, bahkan luhur. Dalam khazanah kosakata, kata “kemerdekaan” sangat sering bersanding dengan “Indonesia”: kemerdekaan Indonesia. Kata “kemerdekaan” jadi sangat eksklusif, hanya milik kata “Indonesia”. Orang Indonesia seakan dilarang menggunakan frasa kemerdekaan seks/seks merdeka atau kemerdekaan beragama/bertuhan, meski kemerdekaan berekspresi, kemerdekaan berbicara tampaknya jauh lebih halus. Dua pembedaan itu hanya bersifat artifisial linguistik, utak-atik kata belaka, tapi keduanya punya kuasa dalam tata sosial dan keilmuan kita.
Lanjut membaca konten eksklusif ini dengan berlangganan
Keuntungan berlangganan kumparanPLUS
Ribuan konten eksklusif dari kreator terbaik
Bebas iklan mengganggu
Berlangganan ke newsletters kumparanPLUS
Gratis akses ke event spesial kumparan
Bebas akses di web dan aplikasi
Kendala berlangganan hubungi [email protected] atau whatsapp +6281295655814