Pendidikan dan Perkawinannya dengan Kapitalisme

Gusti Bagus Candra Wibawa
Mahasiswa Gizi Universitas Airlangga
Konten dari Pengguna
22 Mei 2024 10:50 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Gusti Bagus Candra Wibawa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto oleh Pixabay: https://www.pexels.com/id-id/foto/interior-gedung-terbengkalai-256395/
zoom-in-whitePerbesar
Foto oleh Pixabay: https://www.pexels.com/id-id/foto/interior-gedung-terbengkalai-256395/
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Manusia mempunyai segudang potensi untuk dikembangkan. Sebagai makhluk yang berakal, manusia akan mencari cara untuk mewujudkan potensi yang ia miliki. Upaya pengembangan potensi manusia dapat ditempuh melalui
ADVERTISEMENT
pendidikan. Pendidikan adalah upaya yang disengaja, sistematis, dan berkelanjutan untuk menularkan, memprovokasi atau memperoleh pengetahuan, nilai, sikap, keterampilan atau kepekaan serta pembelajaran apa pun yang dihasilkan dari upaya tersebut (Cremin dalam Chazan, 2022). Pendidikan dimaksudkan sebagai upaya manusia untuk menjadi dirinya yang utuh dan mampu memahami berbagai dinamika alam
dan sosial yang terjadi di sekitarnya. Utuh disini berarti mampu memanfaatkan akal dan budi secara maksimal dan merdeka sebagai sarana pengembangan potensi yang dimiliki.
Sebagai proses untuk mengembangkan potensi baik dalam diri manusia, kondisi dunia pendidikan ternyata tidak selalu baik - baik saja. Pendidikan, baik di dunia maupun di Indonesia masih mengalami masalah - masalah yang menunggu untuk dipecahkan. Satu diantaranya adalah pendidikan dijadikan sebagai ajang mengeruk untung. Hal ini biasa disebut sebagai komersialisasi pendidikan. Komersialisasi pendidikan dapat diartikan dalam dua pengertian berbeda. Menurut Agus Wibowo, sebagaimana dikutip oleh Sulfasyah dan Arifin (2016) komersialisasi pendidikan dapat dibedakan menjadi dua. Pertama, sebuah lembaga pendidikan yang menarik uang pendidikan tinggi dari peserta didik, namun mengabaikan kewajiban yang seharusnya diberikan pada peserta didik. Kewajiban yang dimaksud adalah sarana prasarana, layanan pendidikan yang memadai. Ini merupakan cara “mencuri” uang berkedok ilmu pengetahuan. Jenis kedua, lembaga pendidikan yang mematok harga tinggi, namun dengan fasilitas dan kualitas yang unggul sehingga sebanding dengan harga yang dibayarkan. Jenis kedua tidak dapat dikatakan sebagai “pencurian”, sebab apa yang dibayar sesuai dengan yang didapat oleh para peserta didik. Namun, akses pendidikan yang layak menjadi sulit bagi kalangan menengah ke bawah. Kesetaraan akses pendidikan sampai saat ini masih menjadi mimpi anak - anak Indonesia.
ADVERTISEMENT
Mimpi untuk mewujudkan akses yang setara terbendung oleh sistem ekonomi kapitalis yang pada masa kini, telah menancap kokoh di seluruh dunia. Kapitalisme telah menang pada perang dingin dan kini seolah - olah ia adalah jawaban tunggal terhadap persoalan ekonomi umat manusia. Di bawah kuk kapitalisme, manusia dipersilahkan untuk menumpuk dan mengumpulkan modal sebanyak - banyaknya (walau hampir tidak ada negara yang ekonominya benar - benar laissez-faire). Menurut filsuf Jerman, Max Horkheimer yang dikutip oleh (Sindhunata, 2019), bahwa bentuk - bentuk aktivitas masyarakat dalam bentuk ekonomi borjuis adalah buta tapi konkret. Disebut konkret karena aktivitas ini benar - benar menentukan aktivitas individu karena ia harus menyesuaikan diri, tetapi buta karena segala aktivitas ini dikendalikan oleh modal. Kebebasan individu menjadi semu, sebab segala hal termasuk masyarakat kini digerakkan oleh modal.
ADVERTISEMENT
Dampak kapitalisme sebagai penyebab berkuasanya modal atas masyarakat inilah yang menjadikan pendidikan dapat dikomersialisasi. Institusi - institusi pendidikan berlomba mengumpulkan keuntungan karena hanya dengan itulah ia mampu bertahan dalam sistem dengan berdasarkan modal yang buta. Pemerintah, yang seharusnya turun tangan membantu untuk menyelamatkan pendidikan dari rongrongan ketergantungan akan modal, nyatanya malah mendorong dunia pendidikan ke dalam arus kapitalistis.
Dorongan pemerintah tampak salah satunya melalui UU No.12 Tahun 2012, dimana pemerintah memberikan kesempatan bagi perguruan tinggi negeri untuk mendapat status Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH). PTN-BH lebih memiliki keleluasaan untuk mengatur keuangan secara mandiri. Adapun wewenang PTN-BH menurut Pasal 65 ayat 3 adalah :
ADVERTISEMENT
Pemberian otonomi yang lebih luas kepada perguruan tinggi berstatus badan hukum menghadirkan peluang bagi perguruan tinggi untuk mencoba mencari untung sebanyak - banyaknya. Walau menurut pasal 63 di UU No.12 Tahun 2012, pelaksanaan otonomi perguruan tinggi dilaksanakan dengan prinsip nirlaba, hal ini tetap tidak menjamin pelaksanaan di lapangan akan sesuai. Munculnya kekhawatiran diantara masyarakat awam, dimana menurut Anggraini (2019) praduga semacam ini sangat beralasan mengingat gambaran buruk tentang penyelenggaraan universitas yang selama ini terjadi, sistem dan kebijakan pendidikan tinggi tidak jelas arahnya, ketiadaan tata kelola bahkan penyalahgunaan kewenangan dan korupsi dalam birokrasi pendidikan secara menyeluruh, sudah menjadi rahasia umum. Apabila karena penerapan PTN-BH uang kuliah tunggal dan biaya lain yang ditetapkan kampus untuk perkuliahan terus merangkak naik, kiranya hal ini perlu mendapat evaluasi.
ADVERTISEMENT
Perkawinan antara sistem yang mengarah pada kapitalisme pasar bebas dengan dunia pendidikan memang perlu dijadikan perhatian. Modal pada sistem kapitalis akan mengerucut kepemilikannya kepada sekelompok elit saja. Para pemodal membutuhkan sumber daya manusia dalam jumlah besar yang memiliki keterampilan dasar berhitung dan melek huruf, tidak lebih dari itu, di samping pelatihan pendidikan berteknologi tinggi (Robinson, 2016). Pengajaran nilai - nilai luhur yang berorientasi pada pembangunan peradaban yang manusiawi dapat digantikan oleh nilai - nilai korporasi yang hanya mementingkan produktivitas dan menganggap individu sebagai alat dalam sebuah sistem besar pengeruk modal. Orientasi pada modal membuat kualitas lulusan pendidikan menjadi tumpul daya kritisnya terhadap persoalan - persoalan di luar mencari keuntungan bagi kelangsungan hidup di bawah kolong langit kapitalisme dimana modal menjadi satu - satunya alat bertahan hidup.
ADVERTISEMENT
Keadaan seperti ini tidak untuk ditonton saja. Negara harus mengambil peran aktif apabila kondisi dunia pendidikan mulai mengarah kepada keuntungan material sebagai tujuan utama. Pendidikan adalah kunci keberlangsungan suatu negara. Tanpa pendidikan, tidak akan ada peradaban.
Gusti Bagus Candra Wibawa, mahasiswa S1 Program Studi Gizi Universitas Airlangga